CARITAU JAKARTA - Kemerdekaan yang diraih oleh perjuangan tanpa henti pada tahun 1945 silam, sejatinya belum membebaskan Indonesia dari cengkraman kuat negara penjajah. Tantangan dan hambatan usai Soekarno-Hatta mendeklarasikan proklamasi Indonesia tetap ada, bahkan menempuh jalan berliku.
Negara Indonesia yang baru terlahir menghadapi berbagai macam persoalan; menyusun pemerintahan dan sistem yang baru, membenahi kondisi genting rakyat pasca dijajah, hingga mempertahankan dan menunjukkan kedaulatan bangsa yang kembali ingin digerogoti oleh negara kolonial. Di periode itulah, Indonesia disinggahi oleh Negara Sekutu yang diwakili oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang turut diboncengi Serdadu Belanda atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Baca Juga: Mural Festival AMUK 1812
G.A Warmansjah dkk, dalam Sejarah Revolusi Fisik Daerah DKI Jakarta (1997) menerangkan rombongan Wakil tentara Sekutu yang pertama-tama datang di Jakarta ialah regu kecil yang dipimpin oleh Mayor Greenhalg. Rombongan ini mendarat dengan parasut di Jakarta pada tanggal 8 September 1945. Tujuannya ialah untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan pimpinan tentara Jepang di Jakarta, juga bertugas untuk melihat dari dekat perkembangan terakhir di Indonesia.
Sementara itu, Sidik Kertapati dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (2000) menjelaskan Indonesia dalam kondisi kalut di masa-masa awal menjadi negara baru. Pada tanggal 16 September 1945, W.R Patterson, Wakil Utama Panglima SEAC (South East Asia Command) mendarat di Tanjung Priuk dengan kapal Cumberland.
Dalam kapal itu, ternyata turut serta bekas Gubernur Jawa Timur Era Kolonial, Charles Van Der Plas dalam kedudukannya sebagai kepada NICA dan juga sebagai wakil utama dari Jenderal Van Mook. Hal inilah yang menyulut kemarahan di kalangan rakyat setelah melihat kedaulatan tanah airnya dianggap remeh oleh sekutu.
Momen tersebut menjadi awal pergejolakan di Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Sejumlah peristiwa dan ketegangan pun terjadi di berbagai daerah di tanah air, termasuk di Jakarta.
Pada 29 September 1945, tentara Belanda atau NICA bahkan sudah menjajaki kembali Jakarta. Menurut laporan Kemendikbud dalam artikel berjudul Mencekamnya Tahun Baru Pasca Merdeka: Pindahnya Ibukota (2018), menyebut dampak kehadirnya NICA di ibu kota sangat mengkhawatirkan. Setiap hari terjadi pembunuhan atau penambakkan yang dilakukan oleh NICA atas penduduk yang tidak bersalah.
Jakarta sebagai ibu kota pemerintahan pasca proklamasi kemerdekaan ternyata menjadi wilayah yang keamanannya semakin tidak terkendali.
Jakarta Bergejolak
Suasana Jakarta periode Oktober hingga akhir 1945 sedang gawat. Di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison, panglima besar AFNEI mengklaim bahwa kedatangannya ke tanah air tidak mempunyai maksud mencampuri politik dalam negeri Indonesia.
Sementara Belanda yang datang hampir bersamaan dengan Negara Sekutu ke Indonesia, diam-diam bermaksud untuk mengembalikan kekuasaannya di bumi pertiwi. Belanda menganggap bahwa Indonesia masih merupakan negara jajahannya.
Merespon segala ancaman yang ada, pada tanggal 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang meliputi bagian-bagian darat, laut dan udara. Sementara itu, keadaan kota Jakarta semakin kacau, pihak sekutu yang diboncengi Belanda mengacak-acak ibu kota. Tak sampai di situ, Jepang juga masih bersikap seperti penguasa, padahal mereka di Indonesia, khususnya di Jakarta saat itu hanyalah sebagai alat sekutu belaka (G.A Warmansjah dkk, Sejarah Revolusi Fisik Daerah DKI Jakarta: 1997, hal.105)
Aksi teror dari gerombolan NICA di Jakarta terus berjalan dan diiringi perlawanan rakyat yang terjadi di mana-mana. Pada tanggal 11 Oktober 1945, terjadi pertempuran di daerah Kebayoran Baru, Klender, Cawang, Pondok Gede dan Pasar Minggu. Pertempuran ini terus ke Gang Kemolong dan Gang Listrik di lingkungan Kramat.
Di tanggal 4 November, rakyat Jakarta dengan semangat meluap-luap melancarkan perjuangan penyerangan terhadap kedudukan serdadu Belanda di Kemayoran. Serangan ini banyak menimbulkan korban, tentara Belanda melancarkan serangan balasan kepada rakyat di Jaga Monyet dan Harmoni, beberapa rumah penduduk dan langgar di Petojo Binatu dibakar.
Kemudian pada 12 November 1945, Serdadu-serdadu Belanda mulai melakukan teror terhadap rakyat Tanjung Priok dengan mengadakan penculikan-penculikan terhadap beberapa orang yang dianggap mencurigakan.
Perjuangan rakyat pun membuncah sehingga membuat Tentara Sekutu dan NICA kewalahan. Namun, hal ini yang memantik NICA semakin membabi buta dan beringas. Hingga pada akhirnya, Pemerintah mengeluarkan intruksi yang ditujukan kepada TKR dan laskar-laskar perjuangan di Jakarta, bahwa pada tanggal 19 November 1945 mesti meninggalkan kota Jakarta dan masuk ke daerah pedalaman.
Kendati demikian, pada tanggal 28 November 1945, laskar-laskar rakyat yang masih tinggal di Jakarta sempat melakukan perlawanan kepada pihak sekutu dan NICA di daerah Tanah Tinggi, Senen, Kramat, Salemba dan Matraman. Kedua belah pihak saling bentrok dan menimbulkan korban jiwa. Tak hanya itu, Serdadu Belanda di Batalion X terus menembaki rakyat di sepanjang daerah konflik tersebut, sehingga keadaan Jakarta makin bertambah panas dan kacau. (G.A Warmansjah dkk, 1997: 126)
Sementara itu, Walikota Suwiryo pada tanggal 13 Desember 1945 menyatakan bahwa Pemerintah Nasional Kota tetap akan ada di Jakarta dan sanggup menjalankan roda pemerintahan sebagaimana mestinya, kendati ada gangguan musuh. Namun sehari berselang, tentara Inggris malah menduduki Kantor Keresidenan Republik Indonesia di Jakarta Kota.
Situasi ini seperti konflik bersenjata, penggeledahan dan pemberlakuan jam malam membuat pemerintah Republik Indonesia melalukan protes kepada Negara Sekutu yang ikut serta dan dianggap tidak menghormati kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Negara Sekutu dinilai telah mengingkari kesepakatan awal yang hanya ingin membebaskan para tawanan perang dan pemulangan dan pelucutan senjata tentara Jepang.
Tak hanya itu, korban penembakan dan pembunuhan bukan saja menimpa rakyat dan pemuda saja, namun pemimpin dan penjabat penyelenggara negara pun tak luput dari sasaran pasukan NICA. Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mendapat percobaan pembunuhan dengan tembakan yang melesat di kakinya pada 21 November 1945. Dia harus mendapat perawatan di rumah sakit akibat luka tembak yang serius.
Di penghujung tahun, giliran Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin mendapat teror di Pengangsaan Timur pada 28 Desember 1945. Teror juga menimpa Perdana Menteri Sutan Sjahrir, bahkan mendapat percobaan pembunuhan sebanyak dua kali (26 Desember 1945 dan 2 Januari 1946).
Pada tanggal 2 Januari 1946, Serdadu NICA semakin beringas dengan membakar rumah-rumah di Jatinegara, Kemuning, Gang Ambon dan beberapa daerah lainnya. Melihat kondisi tersebut Jakarta sebagai ibukota tidak mungkin dapat menjalankan fungsinya dengan lancar. Selain itu, kondisi keamanan yang tidak stabil tersebut dapat mengancam jiwa para pemimpin negara.
Oleh karena itu, diadakan Sidang Kabinet pada 3 Januari 1946 yang memutuskan untuk mencari wilayah yang relatif kondusif dari sisi keamanan agar roda pemerintahan dapat dijalankan dengan baik. Maka pada tanggal 4 Januari 1946, Pusat Pemerintahan Republik dipindahkan ke Daerah Istimewa Yogyakarta. (Kemdikbud dalam artikel berjudul Mencekamnya Tahun Baru Pasca Merdeka: Pindahnya Ibukota, 2018)
Dari Jakarta Menuju Yogyakarta
Diketahui, sebelum Sidang Kabinet pada 3 Januari, Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII pada 2 Januari 1946 telah mengirimkan seseorang ke Jakarta untuk menyampaikan pesan kepada Presiden Soekarno. Isi dari surat itu adalah apabila Pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali.
Presiden Soekarno pun menyambut baik tawaran tersebut. Hasil perundingan di sidang kabinet 3 Januari pun setuju untuk memindahkan sementara ibu kota. "Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak," kata Presiden Soekarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Di tanggal yang sama, Presiden Soekarno dengan mengendap-ngendap melakukan upaya evakuasi. Pasalnya, Jakarta telah diawasi secara ketat oleh NICA, maka salah satunya akses untuk bisa melancarkan aksi tersebut lewat jalur kereta api.
Malam hari, sederetan gerbong kereta api yang kosong perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara, ditarik oleh lokomotif dari Stasiun Manggarai lalu berhenti di rel Pengangsaan Timur, tepat di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pengangsaan Timur 56. Sebuah gerbong sengaja dipisah, untuk memberi kesan seolah-olah gerbong paling belakang yang dianggap tak penting dibandingkan gerbong lainnya. Beberapa komponen pun diperhatikan detail, seperti lampu kereta dan gerbong dimatikan.
Soekarno, Hatta dan pemimpin penting lainnya beserta anggota keluarga secara diam-diam memasuki gerbong. Adapun Presiden mengintruksikkan untuk semua orang yang di dalam gerbong tidak membawa barang apa-apa. Kereta pun berjalan lambat, terstruktur dan sebisa mungkin tidak tercium pergerakannya oleh NICA. Perlahan tapi pasti, kecepatan kereta yang awal hanya menyentuh 5 km/jam, mulai ditingkatkan di daerah-daerah yang telah dikatakan aman.
Di kegelapan malam yang sunyi diliputi suasana tegang, pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan gerbong rahasia itu di Yogyakarta dengan selamat. Kedatangan mereka disambut oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Sri Pakualam VII dan rakyat Yogyakarta. Seusai upacara penerimaan di Stasiun Tugu, rombongan menuju Pura Pakualaman yang merupakan Istana dari Sri Pakualam.
Sejak saat itulah, upaya mempertahankan kembali Negara Indonesia di ibukota yang baru Yogyakarta. Kendati demikian, Perdana Menteri Sutan Sjahrir tetap berkantor di Jakarta untuk menjaga komunikasi dengan pihak internasional untuk kepentingan perjuangan.
Yogyakarta menjadi ibukota Indonesia, setidaknya sampai 17 Desember 1948. Di mana Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta, yang membuat hampir seluruh pemimpin Indonesia ditangkap dan diasingkan.
Akibatnya, Ibukota Indonesia pun pindah lagi, yakni ke Bukittinggi. Situasi yang mendesak membuat Pemerintah RI terpaksa membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat. PDRI yang dikomandoi Syafruddin Prawiranegara berhasil melakukan perang gerilya dari hutan ke hutan di belantara pedalaman Sumatera. Setelah sukses bertahan dari gempuran Belanda, Ibukota Indonesia ditempatkan kembali di Yogyakarta pada 6 Juli 1949, sebelum dipindahkan lagi ke Jakarta pada 17 Agustus 1950. (Rahma Dhoni)
Baca Juga: 'Bersih-bersih' BUMD, Pj Heru Copot Tujuh Pejabat di Jakpro dan JXB
sejarah 4 januari 1946 ibu kota negara indonesia jakarta yogyakarta kapan yogyakarta jadi ibukota indonesia?
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...