CARITAU JAKARTA – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana Bonaprapta, menilai publik harus mewaspadai serta melakukan kontroling terhadap pemerintah yang hingga saat ini dinilai tertutup terkait draft Rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) jelang pengesahan Juli mendatang.
Ganjar mengatakan, berdasarkan pengalaman, dalam proses merancang sebuah aturan, pemerintah sering kali mengingkari keterlibatan partisipasi publik yang seharusnya menjadi salah satu pilar utama di dalam negara demokrasi.
Baca Juga: Ke Ibu Kota Negara Baru, DPR Perlu Siapkan Skenario Pindahan
"Rekam jejak pemerintah yang diam-diam menyusun dan mengesahkan UU harus diwaspadai. Walhasil semua yang prosesnya seperti itu cuma menimbulkan masalah," kata Ganjar kepada caritau.com, Jumat (17/6/2022).
Ganjar mengungkapkan, selain sulitnya mengakses draft final RKUHP, sejumlah pasal yang tertulis pada draft RKUHP versi 2019 yang beredar hari ini juga ramai menuai penolakan. Beberapa pasal dalam aturan tersebut dianggap rentan dengan kepentingan politik serta membungkam kebebasan berekspresi masyarakat.
"Kondisi saat ini, terutama mengingat kesulitan mengakses draft final yang konon akan disahkan, dan beberapa pasal yang penafsirannya berpotensi menimbulkan perdebatan panjang bahkan terlalu represif, menimbulkan kecurigaan bahwa RKUHP jadi alat politik ke depan," ungkap Ganjar.
Menurut Ganjar, sikap pemerintah yang terkesan jumawa dengan tidak mengedepankan keterbukaan informasi mengenai baleid pasal RKUHP tidak dapat dibenarkan, karena hal itu telah diatur di dalam konstitusi.
"Pemerintah terlanjur “pede” dengan sikap kerasnya selama ini. Beberapa UU yang dibentuk dengan proses serupa seperti diam-diam, tertutup, ngebut, terbukti bermasalah. Tidak boleh dibiarkan," imbuh Ganjar.
Apabila hal ini terus dibiarkan, menurut Ganjar ke depan bukan tidak mungkin dalam setiap pembuatan produk undang-undang, nilai-nilai partisipasi publik yang menjadi gerbang utama demokrasi akan tergantikan dan akan menimbulkan persepsi masyarakat akan bangkitnya otoritarianisme.
"Menyangkut indeks demokrasi, saya kurang paham, tapi tentu mempengaruhi karena ada poin 'partisipasi publik' sebagai salah satu ukuran, Bila Kondisinya akan terus begini, maka akan menimbulkan kekacauan," imbuh Ganjar.
Sementara itu, caritau.com sudah berusaha meminta pendapat anggota Komisi III DPR mengenai polemik penolakan RKUHP kepada Benny K Harman dari Fraksi Demokrat dan Asrul Sani dari Fraksi PPP.
Saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Benny mengatakan, perihal penjelasan mengenai Draft KUHP sebaiknya ditanyakan langsung kepada pimpinan komisi III DPR.
"Jangan ke saya tapi pimpinan," ucap Benny.
Senada dengan Benny, Asrul Sani yang dihubungi lewat Whatsapp pun enggan berkomentar.
"Mohon maaf saya lagi fokus dengan kegiatan ujian saya besok, maap jadi gak bisa jawab dulu ya," ucap Asrul Sani.
Selain Rancangan KUHP, proses pembuatan undang-undang yang dinilai tertutup dan terburu-buru tanpa melibatkan partisipasi publik acap kali dikritik oleh sejumlah elemen masyarakat hingga berujung pada aksi demonstrasi besar-besaran.
"Ini yang saya maksud. Terlepas dari isinya, proses diam-diam dan kecenderungan meminta masyarakat ajukan Judicial Review bila tidak setuju, sebagai contoh jadi preseden buruk dalam pembentukan UU," ucap Ganjar.
Sebagai contoh, produk undang-undang yang belum lama ini juga mendapat penolakan keras dari masyarakat antara lain UU KPK, UU Minerba, hingga UU Cipta Kerja Omnibus Law.
Meski mendapat kritik tajam hingga aksi demonstrasi berjilid-jilid, pemerintah tetap melanjutkan undang-undang tersebut hingga hari ini tetap berjalan sebagai produk hukum.
Tak ayal, berbagai upaya jalur penolakan terhadap produk undang-undang yang telah disahkan itu pun ditempuh oleh masyarakat. Salah satunya melalui judicial review (gugatan) ke Mahkamah Konstitusi.
Berkaca dari hal itu, Ganjar mengatakan, kritik dan perlawanan publik, aksi unjuk rasa hingga berujung tindakan represif aparat serta gugatan peninjauan kembali yang dilakukan rakyat ke Mahkamah Konstitusi sering kali tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.
Ganjar menambahkan, dua institusi hukum seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi hari ini belum dapat menunjukan integritasnya. Hal itu menurut Ganjar, dapat dilihat dari beberapa kasus gugatan masyarakat terhadap undang-undang yang juga kerap bermasalah, apalagi dalam keputusannya kedua lembaga tersebut cenderung berpihak ke pemerintah.
"Kalo kita mengacu ke berbagai putusan gugatan. Ketika rakyat menggugat judicial review ke Mahkamah Konstitusi, justru pemerintah yang menang, selain itu aparatur penegak hukum hari ini juga terkesan represif terhadap penentang kebijakan," ungkap Ganjar.
Meski banyak penolakan pasal-pasal yang dinilai kontroversi, Ganjar mengaku dirinya termasuk yang mendukung terkait Rancangan KUHP.
"Sebetulnya saya termasuk yang mendukung R-KUHP tahun 2019. Indonesia butuh aturan pidana yang lebih berjiwa ke-Indonesia-an," tegas Ganjar.
Alasannya, karena Indonesia harus memiliki aturan pidana sendiri dan tidak lagi mengadopsi aturan yang lama yang merupakan produk hukum Belanda.
"Perlu melihat dan memahami secara lebih bijak pasal-pasal tertentu. Saya termasuk yang setuju ada pasal penghinaan, tapi sikap aparat penegak hukum yang seenaknya menafsirkan membuat penegakan hukum jadi kontraproduktif dengan rasa keadilan," bebernya.
Meski setuju dengan RKUHP, bukan berarti dirinya tidak mengkritik hal yang dianggap merugikan rakyat. Beberapa pasal yang berpotensi jadi perdebatan panjang jadi sorotan Ganjar. Karena itu ia meminta pemerintah untuk transparan membuka ke publik terkait baleid-baleid yang tercantum dalam Draft RKUHP.
"Jadi menurut saya, buka dulu draft finalnya. Kalau bicara 'seharusnya', ya mesti buka dulu ke publik. Bahwa ada perbedaan pendapat, bahkan secara tajam, adalah hal biasa. Tidak mungkin juga 100% disepakati, Kritik dan menghina tentu berbeda, maka setiap orang harus paham. Masalahnya: penegak hukum menafsirkannya menurut kacamata kepentingannya bukan dengan kacamata keadilan," pungkasnya. (GIBS)
Baca juga :
Partai Buruh: RKUHP Melegalisasi Otoritarian
RKUHP Disahkan Paling Lambat Juni 2022, Wamenkumham: Tak Mungkin Puaskan Semua Pihak
Aliansi BEM se-UI Minta Pemerintah Buka Draf Terbaru RKUHP, Berdampak pada Kehidupan Masyarakat Luas
Batasan Kritik dan Penghinaan Tipis, Ancaman Pidana Penghina Pejabat di RKUHP Diminta Dihapus
Kontroversi RKUHP, Ancaman Penjara 1,5 Tahun untuk Penghina DPR, Jaksa, Polisi, hingga Walkot
Baca Juga: Rapat Komisi III DPR dan Mahfud Soal Rp349 T Kemenkeu
rkuhp dpr penghina pejabat dipidana penjara demonstrasi otoritarianisme kontroversi rkuhp
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...