CARITAU JAKARTA - Pernyataan bakal calon presiden (Bacapres) Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto yang menyarankan agar masyarakat menerima politik uang atau money politic, menimbulkan polemik di masyarakat.
Hal itu dikatakan Prabowo saat menyampaikan orasi dalam acara Milad 11 Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta, pimpinan Miftah Maulana Habiburahman atau Gus Miftah pada Jumat (8/9/2023) malam.
Baca Juga: Tim Hukum Prabowo: Dalil Tim Ganjar dan Anies Keluar dari Hukum Acara
Dalam acara tersebut, Prabowo menyinggung terkait politik uang atau money politics yang sering terjadi saat pemilihan umum di Indonesia. Lalu Prabowo menyarankan masyarakat menerima uang tersebut.
Menurut Ketum Partai Gerindra itu, jika ada yang bagi-bagi uang jelang pemilu, rakyat terima saja. Karena uang yang diberikan itu juga uang rakyat.
Pernyataan Prabowo mendapat tanggapan Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro. Menurut Herdiansyah, Prabowo tak memahami esensi politik uang dan korupsi dalam pemilihan umum (pemilu).
Herdiansyah menilai, bakal calon presiden (capres) Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto untuk memahami makna suap dalam pemilu.
"Apa pun alasannya, pemberi maupun penerima secara simbiosis mutualisme terlibat dalam mata rantai politik uang. Pernyataan ini pertanda ‘dangkalnya’ pemahaman soal esensi politik uang," kata Herdiansyah di Jakarta, Rabu (13/9/2023).
Dia menyatakan, politik uang merupakan tindakan yang selama ini membuat ongkos politik elektoral di Indonesia sangat mahal (high cost politics).
"Saya pikir Prabowo mesti belajar kembali bagaimana politik uang itu bekerja. Jangan sampai justru membuat politik uang makin subur," ungkap dia.
Dia menjelaskan, pernyataan yang disampaikan Prabowo itu secara tidak langsung justru permisif terhadap praktik politik uang, termasuk serangan fajar.
Kondisi itu, sambung Herdiansyah, dikhawatirkan akan berdampak semakin membuat kesadaran publik kian terbelakang. Dia khawatir publik akan terus terjebak dengan pragmatisme politik, siapa yg bayar maka akan dipilih.
“Padahal kita butuh pemilih cerdas yang memilih karena ide dan gagasan para calon, bukan karena isi kantungnya,” kata dia.
Mahalnya ongkos politik, kata dia, akan memicu pada tindakan korupsi. Herdiansyah mengungkapkan, bahwa berbagai riset sudah dijelaskan terkait biaya yang harus dikeluarkan politisi ketika mengikuti pemilu.
Di tingkat DPRD kabupaten/kota misalnya, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp15-20 miliar, lalu Rp20-100 miliar di tingkat provinsi dan akan meningkat dalam kontestasi pemilu presiden (pilpres).
Sementara itu, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menegaskan bahwa sikap masyarakat yang menerima serangan fajar atau politik uang adalah sikap koruptif.
"Kepada masyarakat, bahwa serangan fajar yang dimaksudkan, misalnya dengan bagi-bagi uang dan sebagainya dalam proses-proses yang sedang berjalan, itu tindakan koruptif," kata Ali Fikri.
Ali menambahkan bahwa dengan menerima uang serangan fajar adalah bibit dari tindak pidana korupsi. Menurut dia, pihak yang membagi-bagikan uang tersebut pasti akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya dengan cara korupsi.
"Pada ujungnya, pada gilirannya, dari hasil kajian dan beberapa perkara yang ditangani oleh KPK, itu motifnya sama, untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Saya kira tidak ingin terjadi kembali hal-hal seperti itu," jelasnya. (DID)
Baca Juga: Tak Perlu Izin Jokowi, Istana Persilahkan Menteri Penuhi Panggilan MK
prabowo subianto politik uang money politic pilpres 2024 pemilu 2024
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...