CARITAU JAKARTA – Sejumlah aksi menuntut agar disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) mewarnai peringatan Hari Ibu, beberapa waktu yang lalu.
Hal tersebut terlihat di pelbagai kota di Indonesia. Di Jakarta, puluhan ibu-ibu maupun aktivis perempuan memadati depan Istana Negara Republik Indonesia, Jakarta Pusat. Sementara di Yogyakarta, payung-payung hitam bertuliskan #SahkanRUUPPRT terpampang di halaman beranda Gedung DPRD DIY.
Baca Juga: Pengadilan Malaysia Tolak Banding Mantan Dewan Perkosa PRT Indonesia
Adapun di Jawa Tengah, belasan pembantu rumah tangga mendatangi DPRD Jawa Tengah. Tujuan mereka sama; Sahkan RUU PPRT dan hentikan kekerasan yang mendera mereka.
"Kami datang untuk mendesak anggota dewan supaya membahas RUU PRT ini menjadi RUU yang segera disahkan," ujar Ketua Serikat PRT Merdeka, Nur Khasanah saat melakukan audiensi di Gedung DPRD Jateng, Rabu (21/12/2022).
Bagaimana tidak, sambung dia, UU PRT ini telah tertahan selama 2,5 tahun di meja pimpinan DPR RI. Jika ditinjau lebih jauh, RUU PPRT sejatinya telah mangkrak sejak 19 tahun silam.
Sejak pertama kali diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004 silam, RUU PPRT masih belum menemukan jalannya untuk jadi payung hukum bagi para pekerja rumah tangga. Meski belakangan sudah masuk ke Prolegnas Prioritas, namun nasibnya masih juga tak jelas.
PRT adalah Pekerja, Bukan Budak
Dewasa ini, penyebutan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang digelorakan oleh sejumlah aktivis, masih terdengar asing. Masyarakat masih lazim memanggil profesi tersebut sebagai pembantu, atau asisten rumah tangga. Meskipun kata-kata tersebut hampir sama, namun ada sejarah panjang di baliknya.
Secara resmi, tidak diketahui secara pasti kapan profesi PRT ada di muka bumi. Yang jelas, profesi itu bermunculan seiring penghapusan sistem perbudakan yang mulai menggelora di abad ke-19 oleh Abraham Lincoln. Sebagai gantinya, para budak menjadi manusia merdeka dan bekerja dengan memperoleh imbalan, meskipun kecil.
Sementara di Nusantara, sebelum munculnya istilah PRT, masyarakat kita mengenal istilah abdi, babu, jongos, serta pembantu dan emban. Dilihat dari sisi peran, istilah-istilah tersebut memiliki kecendrungan yang sama; orang yang bekerja seperti bersih-bersih, mencuci, memasak, mengasuh anak, tukang kebun dan bekerja untuk keluarga lain dari kelas sosial yang berbeda.
Namun, istilah-istilah itu memiliki perbedaan dari sisi sejarah, serta menunjukkan hubungan sosial yang berbeda pula. Misalnya, istilah abdi berkembang pada masa Indonesia masih berbentuk kerajaan. Para abdi merupakan orang yang bekerja terhadap sang raja dalam bentuk pengabdian, dan tidak digaji. Namun perlu dipahami, perbedaan abdi dan budak terletak dari tujuan orang tersebut: abdi bersifat kerelaan, sementara budak bersifat keterpaksaan.
Beranjak di era kolonial, istilah babu dan jongos mulai dikenal. Babu sebutan untuk pembantu perempuan, sedang jongos sebutan pembantu laki-laki. Kendati relasi kerja babu dan jongos dengan majikan sudah mendekati relasi upah, tapi perlakuan yang mereka terima buruk dan tak adil dari majikan Belanda. Biasanya mereka diupah kecil, jam kerja panjang dan tak ada hari libur. Secara politik perlakuan tak adil dan semena-mena tersebut dipengaruhi oleh rasisme Belanda yang merupakan anak kandung dari sistem kapitalisme.
Barulah pasca kemerdekaan, istilah babu dan jongos diganti istilah pembantu. Alih-alih mengubah warisan kolonial, secara makna istilah babu dan pembantu masih sama-sama merendahkan PRT. Masyarakat masih belum bisa lepas dari kontruksi yang lekat pada pembantu tempo dulu. Pembantu masih dianggap sebagai orang yang harus melayani majikan. Mereka tidak dianggap sebagai pekerja.
Hal ini berdampak, majikan seolah memiliki kekuasaan penuh atas diri pembantu. Para pembantu harus menuruti perintah majikan untuk berbagai macam jenis pekerjaan.
Barulah sejumlah aktivis dan sekelompok pembantu sadar, bahwa mereka mempunyai hak merdeka dan memiliki kesetaraan dengan profesi apapun. Mereka mengenalkan istilah pekerja, yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Istilah Pekerja Rumah Tangga bertujuan untuk menghapus makna negatif yang tersemat pada kata 'pembantu'. Istilah pekerja dirasa lebih pantas secara politis untuk mendorong pemerintah mengakui bahwa pembantu adalah sebuah pekerjaan.
Oleh karena itu, tujuan RUU PPRT disahkan ialah, menganggap bahwa Pekerja Rumah Tangga patut disetarakan dengan profesi pekerjaan yang lain.
Angka Mengkhawatirkan Kekerasan Terhadap PRT
Di Indonesia, angka kekerasan terhadap PRT masih terbilang tinggi. PRT kerap menjadi objek sasaran kekesalan majikan yang berujung penganiayaan.
Menurut data, sepanjang 2015-2022 Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat 3.225 kasus kekerasan yang dialami PRT di Indonesia. Temuan ini terus meningkat setiap tahunnya, di mana tahun 2018 JALA PRT mencatat 434 kasus, sedang di tahun 2019 meningkat menjadi 467 kasus. Kekerasan yang diterima PRT pun beragam, mulai dari psikis, fisik, ekonomi, perdagangan manusia hingga pelecehan seksual.
Selain itu, terkait dengan proses penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan, JALA PRT menyebut hanya 15 hingga 20% kasus PRT yang diproses hukum sampai selesai. Sisanya, atau sekitar 80 hingga 85% berhenti di penegak hukum sendiri.
Adapun, profesi PRT di tanah air sendiri menjadi salah satu posisi jumlah tenaga kerja terbesar di Indonesia. Hal tersebut merujuk pada data International Labour Organitation (ILO) dalam laporan bertajuk 'Pekerja Rumah Tangga di Indonesia' pada tahun 2015 lalu, bahwa sebanyak 4,2 juta orang terindentifikasi sebagai PRT, 84% di antaranya merupakan perempuan. ILO juga menjelaskan, kebutuhan akan PRT diprediksi bakal terus meningkat setiap tahunnya.
Kemudian, ILO mengungkap ada dua karakteristik tentang permasalahan PRT. Pertama, bekerja tanpa hari libur atau 6 sampai 7 hari per minggu. Mereka adalah 81% PRT dewasa dan 92% PRT anak. Karakteristik kedua yaitu bekerja 40 jam atau lebih per minggu. Dari karakteristik ini ditemukan pekerja rumah tangga anak (PRTA) masih lebih banyak dibanding PRT dewasa yaitu, 60% PRT dewasa dan 76% PRT anak.
Laporan tersebut juga mengungkap lima provinsi dengan jumlah PRT tertinggi yaitu Jawa Barat 859.000, Jawa Timur 779.000, Jawa Tengah 630.000, Jakarta 481.000, dan Banten 244.000.
Jalan Buntu Pengesahaan RUU PRT
Di Indonesia, sampai tulisan ini diturunkan belum ada regulasi yang menjamin perlindungan dan pengakuan PRT sebagai pekerja. Adapun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendefinisikan pekerja sebagai; seseorang yang bekerja dan mendapat upah dan atau bentuk upah lainnya.
RUU PPRT dapat disebut sebagai RUU yang paling lama diproses di DPR, serta tidak begitu populer dari RUU lainnya yang berhasil jebol di Senayan, seperti Omnibus Law, UU Minerba dan UU KUHP. Padahal, RUU PPRT sama pentingnya dengan UU lainnya.
Perjalanan RUU PPRT telah menghabiskan waktu hampir 19 tahun, atau pertama kali diusulkan pada tahun 2004 silam. Kendati telah masuk pimpinan DPR selama 2,5 tahun terakhir, ironisnya RUU tersebut hingga kini tak kunjung menjadi RUU inisiatif di lembaga legislatif itu.
Sebagai informasi, RUU PPRT terdiri atas 12 bab dan 34 pasal. Sepanjang 2011 hingga 2012, Komisi Ketenagakerjaan DPR itu telah melakukan riset di 10 kabupaten/ kota, uji publik di 3 kota, hingga studi banding ke dua negara. Pada 2013, draf RUU akhirnya diserahkan ke Baleg.
RUU Perlindungan PRT saat ini sudah menjadi RUU usul inisiatif DPR pascadisetujui Badan Legislasi (Baleg) DPR pada rapat Panja RUU Perlindungan PRT, Rabu (1/7/2020).
"Kalau hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan itu kerjanya delapan jam sehari. Selama ini, PRT tidak ada jam kerja," terang salah satu orator Aksi Tuntut Pengesahan RUU PPRT di depan Istana Negara, Rabu (21/12/2022) lalu.
Kendati demikian, upaya Koalisi Sipil untuk UU PPRT tak berhenti sampai di sini. Advokasi dan lobi terus dilakukan. Upaya membangun kesadaran publik terus pula digalang.
Hal ini diungkapkan oleh Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Eva Kusuma Sundari. Dia mengatakan, RUU tersebut mesti disahkan mengingat maraknya kasus penyiksaan terhadap PRT di berbagai wilayah di Indonesia.
"RUU PPRT harus disahkan, untuk mengatur hulu hingga hilir dari pekerja rumah tangga di Indonesia," kata Eva beberapa waktu yang lalu.
Dia mendesak Presiden Joko Widodo dan Puan Maharani sebagai Pimpinan DPR, untuk merespon terkait kejelasan nasib RUU PPRT. Baginya, jaminan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga amat penting. Sebab, potensi mengalami kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di antara tembok yang tak terlihat. Pemerintah dan DPR dinilai masih abai terhadap sejumlah realita yang terjadi di masyarakat.
"Mendesak Presiden dan Ketua DPR bersuara mendukung pengesahan UU PPRT demi menghentikan kekerasan dan praktek perbudakan modern terhadap ibu-ibu PRT," tandasnya.
Apa Kata Wakil Rakyat?
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Abdul Muhaimin Iskandar juga menyebut RUU PPRT bersifat mendesak untuk segera disahkan menjadi undang-undang.
"Bicara menyangkut UU PPRT yang telah sekian lama stagnan pembicaraannya, baik di level pemerintah maupun di level DPR, ini perlu kita lihat secara utuh apa yang terjadi sehingga mengalami stagnasi pembahasan. Saya mendukung RUU ini segera disahkan," kata pria yang akrab disapa Cak Imin, dilansir situs resmi DPR RI.
Dia mengatakan, ada tiga aspek urgensi untuk pengesahan RUU PPRT. Pertama, menyangkut tata hubungan kultural yang menyatu dalam satu hubungan kerja. Kedua, menyangkut perlindungan dan pemberian hak-hak PRT.
"Ini yang pokok dan perlu mendapat perhatian kita semua karena ini menjadi kebutuhan utama karena terjadi banyak penindasan, kekerasan, eksploitasi serta tidak dipenuhinya hak-hak mereka," tuturnya.
Ketiga, lanjut Gus Muhaimin, menyangkut pola hubungan kerja. Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini kembali menekankan bahwa pola hubungan kerja PRT tentu berbeda dengan hubungan industrial.
Adapaun menurut penuturan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, November lalu mengatakan RUU PPRT bisa dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Sehingga, Pimpinang DPR bisa segera menindaklanjuti hasil kerja Baleg tersebut.
“Mudah-mudahan pada kesempatan berikut, UU tersebut dapat diusulkan kembali untuk masuk Prolegnas Prioritas, sehingga nanti kami tinggal akan membagi atau memberikan kepada Komisi teknis yang cocok untuk membahas RUU tersebut,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Dia menyebut, ada beberapa faktor yang membuat RUU PPRT ini masih menggantung. Salah satunya, RUU PPRT belum ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas pada masa sidang sekarang.
"Yang kita tahu bahwa UU PPRT itu ada usul yang sedang dibahas di Badan Legislasi dan memang karena belum ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas karena memang agendanya belum ada pada saat masa sidang ini," papar dia.
Lantas, akankah DPR RI akan membahas secara serius RUU PPRT, seperti pengesahan UU lainnya. Sebab, Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, atau golongan masyarakat kecil lainnya mesti mendapat payung hukum yang jelas agar tidak ada lagi kisah-kisah memilukan yang mendera para Pekerja Rumah Tangga di Indonesia.
Penulis: Rahma Dhoni
Baca Juga: Sudah 19 Tahun Mandek, Presiden Jokowi Dorong RUU PPRT Segera Disahkan
nasib miris prt di indonesia harapan semu pengesahan ruu pprt penyiksaan terhadap prt pembantu rumah tangga art
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...
Pj Teguh Instruksikan Perangkat Daerah Bersinergi...