CARITAU OPINI – Sempat muncul pertanyaan dari beberapa sejawat: apa benar Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo saat ini sedang berkonflik? Atau pertanyaan: konflik di antara keduanya yang terkesan semakin memanas di jagad politik nasional itu memang beneran atau sekadar sandiwara?
Memang susah untuk menggambarkan hubungan mutakhir antara Jokowi dan Megawati –kebetulan PDI-P merupakan partai pengusung Jokowi sebagai calon presiden pada periode 2014-2019 dan 2019-2024— jika tidak menelisik riwayat kesejarahan hubungan keduanya.
Baca Juga: Wacana Pemakzulan Jokowi
Jokowi jika dilihat dalam konteks sebagai kader PDI Perjuangan, mantan Wali Kota Solo dan mantan Gubernur DKI Jakarta ini memang tergolong outsider alias orang luar. Namun jika menelisik jejaring relasi Megawati dengan beberapa sesepuh nasionalis di Jawa Tengah, faktanya telah memunculkan duet Jokowi-Felix Rudiatmo sebagai Wali Kota dan Wawali Solo.
Jika dilihat dari sudut pendang ini, maka saya berani menyimpulkan bahwa di tataran hubungan personal, Megawati dan Jokowi sejatinya tetap solid. Perjalanan karier politik Jokowi yang lancar jaya dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden RI, bisa terjelaskan melalui adanya hubungan erat Megawati dengan beberapa tokoh senior dan sesepuh PNI Jawa Tengah, khususnya Surakarta yang sebenarnya secara organik berada di luar PDI-P.
Artinya, Jokowi dua kali menjadi presiden merupakan buah dari kerja politik jejaring Megawati dari non-organik PDIP sebagai partai pengusung Jokowi, yang sebelumnya berhasil mengantarnya sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
Oleh sebab itu, jika hendak menyorot sinyalemen adanya konflik internal antara PDI-P (baca: Megawati) versus Jokowi sebagai presiden, maka yang harus disorot pertama adalah konflik Mega-Jokowi dalam konteks Megawati sebagai apa? Apakah Megawati sebagai representasi organik PDI-P, atau Megawati sebagai entitas politik non-organik PDI-P?
Konflik Mega-Jokowi dalam sudut pandang non-organik PDI-P, saya kira Mega-Jokowi tetap solid, mengingat fakta bahwa karier politik Jokowi bisa lancar jaya karena buah kerja politik jejaring politik Mega yang non-organik PDI-P ini.
Lantas, bagaimana kalau dipandang dalam konteks konflik antara PDI-P (baca: Megawati representasi organik partai) versus Jokowi? Nah dari sudut pandang ini, maka konflik sangat mungkin terjadi, mengingat fakta tidak sedikit yang dulu menentang keras pencalonan Jokowi sebagai capres, atau bahkan kini Ganjar Pranowo.
Apalagi kalau kita telisik secara lebih jeli, berbagai faksi internal PDI-P yang sejatinya dulu termasuk gerbongnya alm. Taufik Kiemas, suami Megawati, saat ini mereka bertumpu pada Puan Maharani sebagai lokomotif. Tentu saja mereka sebenarnya lebih senang kalau Megawati mencapreskan Puan Maharani daripada Ganjar.
Bahkan mereka ini sebenarnya sudah cukup puas bila Puan menjadi cawapres pendamping capres kubu lain, seperti menjadi pendamping Anies Baswedan atau Prabowo Subianto.
Namun kenyataannya, Megawati selaku Ketua Umum PDI-P telah mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres. Maka pupuslah sudah angan-angan bebeberapa politisi senior PDI-P untuk menyandingkan cucu Bung Karno itu sebagai cawapres pendamping Prabowo atau Anies.
Maka dari sinilah bisa dijawab pertanyaan awal tadi, apakah konflik Mega-Jokowi memang beneran atau cuma sandiwara?
Jika mengikuti alur kisah saya tadi, maka di tingkat pucuk pimpinan, yaitu Mega dan Jokowi secara pribadi, bisa jadi sengaja atau tidak, kesan adanya konflik yang bergulir di antara keduanya bisa saja cuma sandiwara. Sekadar untuk memanaskah suhu politik yang sumber sebenarnya bukan pada kedua sosok tersebut. Tapi ternyata gayung bersambut karena adanya kegelisahan dan kegalauan di kalangan elite partai-partai oligarki yang sedang kebingungan karena mereka merasa opsi cuma dua, pilih Ganjar atau pilih Prabowo.
Nah kegalauan elite partai-partai seperti Golkar, PAN dan Demokrat yang seakan dipaksa harus milih antara Ganjar atau Prabowo, bersinggungan dengan para politisi PDIP organik yang sebenarnya memendam keberatan atas diusungnya Ganjar sebagai capres. Sehingga para politisi PDIP dari gerbong warisan Taufik Kiemas yang saat ini dipimpin Puan, melakukan tek-tok dengan para politisi parpol jumbo seperti Demokrat, Golkar dan PAN yang menghendaki adanya perubahan atau kocok ulang untuk meninjau kembali pencalonan Ganjar. Atau setidaknya, mengupayakan pengkondisian agar cawapres pendamping Ganjar mengakomodasi sosok yang mewakili kepentingan partai-partai oligarki tersebut.
Alhasil, perseteruan Mega-Jokowi terkesan muncul lantaran penyikapan Jokowi yang dinilai PDI-P lebih cenderung pro-Prabowo ketimbang Ganjar.
Padahal akibat fokus menyorot episode konflik Megawati-Jokowi tersebut, kita justru mengabaikan sebuah fakta penting bahwa selain Ganjar dan Prabowo, masih ada capres lain di luar Ganjar dan Prabowo, yaitu Anies Baswedan yang hingga kini tetap solid dengan dukungan koalisi perubahan yang terdiri dari Nasdem, PKS dan Demokrat.
Pada tataran ini, semua pemerhati politik dan media justru tidak membaca secara jeli perundingan-perundingan politik yang sedang berproses antara Puan sebagai representasi PDI-P dan AHY sebagai representasi Demokrat. Padahal secara de fakto, perundingan sesungguhnya berjalan antara Megawati dan SBY. Menariknya, keduanya berunding bukan untuk power sharing, melainkan menyelaraskan agenda.
Mungkinkah agenda strategis keduanya bisa menyatu? Justru di sinilah dinamika politik nasional yang sesungguhnya. Katakanlah SBY dan Megawati --melalui AHY dan Puan sebagai proxy-- keduanya mencapai mufakat, bagaimana nasib Anies Baswedan?
Di sinilah politik sebagai seni membuka kemungkinan baru bisa tercipta. Jika Megawati dan SBY mencapai mufakat pada tataran agenda, maka antara Koalisi Perubahan dan PDI-P pun terjalin sebuah aliansi strategis yang solid dan bukan sekadar koalisi taktis jangka pendek bagi-bagi kue kekuasaan.
Ketika Mega dan SBY mencapai mufakat, maka Puan dan AHY bisa menyepakati munculnya Anies Baswedan. Ketika kita sepakat bahwa politik tidak sama dengan hitungan matematika dan politik menjadi seni membuka berbagai kemungkinan baru, maka duet Ganjar-Anies atau Anies-Ganjar bukan sesuatu yang mustahil. Dan jangan lupa, keduanya sama-sama memiliki latar belakang aktivis UGM.
Penulis: Hendrajit (pengkaji geopolitik dan wartawan senior)
Artikel penulis tidak mewakili pandangan dari Caritau.com.
Baca Juga: Satu Meja dengan Megawati Saat Hari Nasional Arab, Ini Kata Prabowo
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024