CARITAU JAKARTA – Menilik sejarah penjajahan di Indonesia tentu tak lepas dari masa kolonial Belanda. Masa penjajahan di Indonesia tidak langsung dimulai saat orang-orang dari Belanda menjejakan kaki untuk kali pertama di Tanah Nusantara pada abad ke-16. Penjajahan di Indonesia berlangsung secara bertahap dan berabad-abad.
Masa tersebut juga erat kaitannya dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang dikenal dikenal sebagai Perserikatan Dagang Hindia Timur Belanda, yang berdiri pada 20 Maret 1602. VOC berusaha memonopoli perdagangan di kawasan Asia pada era kolonialisme Eropa. Saat itu, tujuan pendirian VOC adalah mencegah kerugian akibat persaingan dagang dengan Portugis di Nusantara.
Baca Juga: LGI Bantah Koreo 'Bendera Belanda' Berkibar di Laga Indonesia vs Vietnam
Sebelum VOC berdiri sebenarnya sudah ada beberapa perusahaan dagang Belanda yang melakukan perdagangan di Nusantara. Salah satunya Compagnie van Verre asal Amsterdam, Belanda, yang melakukan pelayaran ke Asia pada 1595-1597. Mereka melihat bahwa ada prospek menggiurkan dalam perdagangan, khususnya rempah.
Belanda pertama kali datang ke Nusantara pada abad ke-16. Mereka melakukan ekspedisi pelayaran untuk mencari kepulauan rempah-rempah, atau yang kini kita kenal dengan kepulauan Maluku. Mereka membawa 249 awak dengan 64 pucuk meriam yang dipimpin oleh Cornelis De Houtman.
Tak hanya lanskap alamnya yang memesona, sejak abad ke-16, kepulauan Maluku telah mencuri perhatian dunia dengan rempah-rempahnya seperti cengkeh dan pala. Nama Maluku sangat terkenal di penjuru dunia, hingga membuat Ferdinand Magellan, yang menurut buku sejarah adalah orang pertama berkeliling dunia, merencanakan sebuah ekspedisi untuk mencapai kepulauan ini.
Bicara tentang Nusantara (Indonesia), kawasan ini adalah surga bagi keanekaragaman hayati dunia. Menurut catatan, sekitar 11% jenis tumbuhan dunia ada di hutan tropis Nusantara. Jumlahnya lebih dari 30.000 spesies, yang sebagian di antaranya dipergunakan dan dikenal sebagai rempah.
Nusantara adalah “ibu rempah” yang melahirkan jenis rempah yang dikenal sebagai ‘Rempah Raja’, seperti cengkih, pala, dan cendana. Rempah tersebut merupakan rempah utama dunia, yang pada masanya bernilai lebih mahal dari emas. Dikutip dari berbagai sumber, Pulau Run di Maluku yang kaya akan rempah pala pernah ditukar dengan Pulau Manhattan, yang saat ini dikenal sebagai New York.
Dikutip dari jalurrempah.kemdikbud.go.id, pohon cengkih (Syzygium aromaticum) adalah tanaman asli (endemik) Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan, sedangkan pohon pala (Myristica fragrans) adalah endemik Pulau Banda.
Tak kalah penting, jenis rempah aromatik dari getah tanaman pohon endemik Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax benzoin) dan kamper/kapur (Cinnamomum camphora dan Dryobalanops aromaticum). Beberapa komoditas penting lainnya, seperti kayu manis (Cinnamomum burmanii), lada (Piper nigrum) banyak dihasilkan di Sumatera.
Demikian pula cendana (Santalum album) yang banyak tumbuh di kepulauan bagian timur Nusantara. Tak heran pada masa tersebut, ragam jenis rempah khas Nusantara menjadi bahan perburuan dunia.
Pada perjalannya, De Houtman berhasil sampai ke Banten pada Juni 1596. Saat itu, Banten merupakan pelabuhan dengan penjualan lada terbesar di Jawa Barat.
Setibanya di Banten, De Houtman menjadi awal informasi untuk Belanda memperluas wilayah yang dijelajahinya. Akhirnya, pada Maret 1599 Jacob Van Neck tiba di kepulauan Rempah-rempah yang dimaksud yaitu Maluku.
Dengan didapatkannya pulau rempah tersebut, Jacob Van Neck membawa banyak rempah ke Belanda. Hal tersebut membuat banyak pengusaha di Belanda yang tertarik dengan pulau rempah tersebut hingga kemudian timbul persaingan yang membuat keuntungan menjadi mengecil.
Untuk mengurangi persaingan antara pemerintah dan serikat dagang yang semakin liar, VOC didirikan oleh perkumpulan saudagar Belanda yang berada di bawah pemerintah Belanda pada tahun 1602 yang berpusat di Amsterdam.
Hal tersebut juga berbarengan dengan kondisi politik serta konflik yang sedang terjadi antara Belanda, Spanyol, dan Portugis. Pada 1600, Belanda sedang berperang dengan Raja Spanyol dan Portugal yang tengah bersatu menguasai perdagangan di Asia. Oleh karena itu, Belanda memanfaatkan persatuan dagang ini dapat menguntungkan, baik militer maupun ekonomi. Dukungan politik pemerintah Belanda ini sesuai dengan tujuan VOC untuk menguasai jalur perdagangan dan pasar di Asia.
Kongsi dagang bertujuan untuk meminimalisir kerugian seluruh pedagang Belanda yang bersaing dengan Portugis dan Spanyol di Asia serta merebut laba setinggi-tingginya demi keperluan perang Belanda melawan Spanyol. Melalui bukunya, F.S. Gaastra, menyebutkan, jika VOC adalah gabungan dari enam perusahaan kecil Belanda yang diinisiasi oleh pemerintah Belanda (Staten-Generaal). Saat pendiriannya, terdapat 17 tuan yang memimpinnya.
Posisi VOC semakin kuat setelah pemerintah Belanda mengeluarkan hak istimewa (oktroi) kepada VOC yang baru terbentuk pada 20 Maret 1602, di dalamnya, tercantum bahwa hanya perusahaan VOC yang boleh berlayar ke daerah timur, Tanjung Harapan dan barat, Selat Magellan. F.S. Gaastra juga menuliskan, isi lain dari oktroi adalah tata cara kompeni (militer dan kolonialisasi), kedudukan para direktur (pemimpin masing-masing daerah), partisipan dagang (mata uang), dan cara pengumpulan modal (pajak).
VOC terbilang sangat sukses. Kesuksesan VOC dapat menekan para pedagang Inggris dan portugis yang sebenarnya sudah lebih dulu mencapai Nusantara.
Pada tahun 1610, di Nusantara Indonesia, Gubernur Jenderal pertama VOC, Pieter Both, menetapkan Ambon sebagai pusat pemerintahan kongsi dagang Belanda tersebut.
Belanda menempatkan seorang Gubernur Jenderal di Batavia untuk menangani urusan dagang dan ekspansi. Selain di Batavia, Gubernur Jendral juga ditempatkan di Ambon yaitu Frederik de Houtman. Dengan adanya hak istimewa, VOC tak hanya memonopoli rempah. Perusahaan dagang Belanda mulai campur tangan dalam politik pribumi di Pulau Jawa demi meningkatkan kekuasaannya pada ekonomi lokal.
Setelah masa kepemimpinan Pieter (1618), Jan Pieterszoon Coen bertugas sebagai Gubernur Jendral VOC baru. Di awal, masa kepemimpinanya, ia langsung membangun benteng setinggi tujuh meter di Jayakarta (Batavia). Bangunan tersebut dilengkapi meriam untuk pertahanan dalam persiapan perang merebut Jayakarta.
Berdasarkan banyak catatan, pada 30 Mei 1619 VOC berhasil mengambil alih pelabuhan di Jayakarta. Setelah mendapatkan wilayah tersebut, VOC menjadikannya sebagai pelabuhan permanen, tempat galangan kapal, gudang pusat perdagangan, serta pusat pemerintahan dan administrasi. Batavia juga saat itu dijadikan pusat pemerintahan dari wilayah Asia, bukan hanya Nusantara.
VOC yang awalnya bertujuan hanya untuk mengumpulkan dana perang serta memenangkan persaingan dagang, ternyata juga ikut andil dalam berbagai aspek kehidupan di Nusantara terutama proses kolonialisasi. Mereka menggunakan oktroi (hak istimewa dari pemerintah Belanda) sebagai landasan atas apa yang mereka lakukan.
Sejalan dengan kesuksesannya, VOC memiliki hak dagang yang meliputi wilayah yang sangat luas. Mulai dari Amerika, Afrika, Jepang hingga ke Hindia Timur. Walaupun VOC mempunyai hak istimewa, VOC kala itu harus melaporkan semua keuntungannya kepada Parlemen Belanda.
Pada masa kejayaannya, VOC berhasil meraup keuntungan 78 juta Gulden Belanda atau sekitar lebih dari USD7,9 triliun atau jika dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs saat ini (Rp15.526) mencapai Rp112,64 kuadriliun.
Menilik angka yang luar biasa tersebut, pantas jika VOC adalah perusahaan terbesar dalam sejarah karena mampu menghasilkan uang sebanyak itu. Dengan perbandingan lain, pendapatan VOC baru bisa disamai jika kita menggabungkan kekayaan dari 20 perusahaan modern berskala multinasional atau pun yang berstatus unicorn yang ada saat ini.
Selain itu, pada masa kejayaannya, VOC memiliki lebih dari 150 armada kapal dagang, dan 40 armada kapal perang. Saat itu mereka menerima pembayaran dividen sebesar 40% dari investasi awal. VOC sendiri menurut banyak sumber punya lebih dari 50.000 karyawan pada saat itu.
Namun, kebangkrutan mulai melanda perusahaan ini pada akhir abad ke-18. Dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009), Mc Ricklefs menjelaskan jika VOC menemui kemundurannya.
Hal tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, keletihan berperang melawan daerah-daerah Nusantara yang menolak dieksploitasi. Kemudian, korupsi yang menyebabkan krisis keuangan perusahaan. Hingga 31 Desember 1799, VOC bangkrut dan kemudian dibubarkan. Seluruh utang dan aset yang ada diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Menjadi perusahaan dagang dengan harta paling mahsyur dalam sejarah, tentu menyisakan banyak cerita tentang harta peninggalan VOC. Harta tersebut pernah ditemukan oleh tim arkeolog laut Hindia. Harta tersebut ditemukan pada bangkai kapal Belanda yang tenggelam di perairan Brasil yang karam sekitar 300 tahun silam.
Kapal milik VOC tersebut memiliki nama lambung kapal Voetboog. Menurut kepala tim arkeolog, Voetboog membawa 109 awak kapal. Mereka ingin meninggalkan Batavia yang kini adalah Jakarta menuju Brasil. Kemudian mereka terjebak badai di Samudera Atlantik dan akhirnya karam di sekitaran pantai Brasil, tepatnya pantai Pernambuco pada 29 mei 1700.
Di kapal tersebut ditemukan kain sutera, rempah-rempah, teh, keramik China dan Jepang, lalu 180.000 keping uang emas atau setara dengan Rp9,5 triliun. Penemuan harta karun tersebut akhirnya diangkat dan disimpan sesuai dengan hukum Brasil.
Di Indonesia sendiri, penemuan harta peninggalan dari kapal VOC ada di wilayah perairan Pantai Tangkolak, Desa Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan. Awal penemuannya bermula saat program pengembangan wisata bahari terpadu di Karawang.
Penemuan harta peninggalan berupa sejumlah koin dari kapal VOC yang tenggelam di wilayah Karawang diduga untuk membayar buruh tanam paksa di wilayah Karawang, Subang, serta wilayah Priangan lainnya.
Diketahui, lokasi penemuan harta peninggalan VOC tersebut sudah diketahui oleh orang banyak. Menurut keterangan Kepala Desa Sukakerta, Bukhori, sejak bahwa 1995 penjarahan harta berharga peninggalan VOC sering dilakukan masyarakat, dan juga sejumlah kolektor. Namun, seiring waktu hal tersebut mendapat penindakan tegas dari pemerintah.
Selain di Karawang, disinyalir lokasi harta peninggalan VOC banyak berkembang di tengah masyarakat. Kabarnya hilir mudik di banyak blog hingga forum-forum terbatas para pegiat harta karun yang terobsesi dengan hal tersebut. Salah satu nama yang kerap kali disebut adalah keberadaan harta VOC di Pulau Onrust
Pulau Onrust sendiri terletak di Teluk Jakarta yang dapat ditempuh dengan tiga jam perjalanan melalui Muara Karang dengan menggunakan kapal motor. Pada zaman VOC, Pulau Onrust merupakan pintu masuk kapal yang datang dari luar negeri ke Batavia.
Cerita Pulau Onrust sebagai tempat VOC menyimpan hartanya berawal dari pertanyaan para ahli. Di penghujung masa kejayaan VOC, perusahaan tersebut tidak bisa lagi membayar dividen tahunan pada para investor. Padahal, bisnis dan pengiriman rempah-rempah masih berjalan dengan baik dan menunjukan tingkat keuntungan yang masih tinggi. Munculah isu bahwa jutaan kekayaan gulden harta VOC telah digelapkan oleh para pejabat di VOC.
Para pejabat VOC menggelapkan harta VOC berupa emas batangan di Nusantara karena tidak sempat membawanya kembali ke Belanda.
Pada tahun 1986 ditemukan bangkai kapal De Geldermalsen, yaitu kapal dagang VOC yang tenggelam di selat Malaka pada tahun 1751. Dalam kapal tersebut ditemukan 126 batang emas dan 160.000 benda keramik dari masa Dinasti Ming dan Ching.
Selain di Pulau Onrust, beberapa titik di Jakarta kerap diisukan sebagai tempat penyimpanan harta-harta VOC. Beberapa di antaranya seperti kawasan sekitar Jembatan Kota Intan, Kali Besar kawasan kota tua, Tanjung Priok, Kawasan Kramat, Kebon sirih, hingga Jatinegara.
Beberapa lokasi tersebut diduga menjadi tempat penyimpanan harta peninggalan VOC karena terdapat bunker di bawahnya. Bungker-bungker tersebut dibangun karena pada masa perang dunia kedua, pemerintah Belanda mengharuskan seluruh bangunan pemerintahan Belanda wajib membangun bunker. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pernah dilakukan pencarian harta karun di Pulau Onrust, tapi tidak ditemukan apa apa.
Namun, Kepulauan Seribu belum sepenuhnya tereksplorasi secara arkeologis karena keterbatasan dana. Sehingga, sampai saat ini masih banyak dugaan terkait bunker-bunker yang belum tereksplorasi. Ada kabar yang mengatakan jika terdapat bunker bawah laut yang menghubungkan Pulau Onrust dan Pulau Kelor.
Data sejarah menyebutkan ada ratusan bangkai kapal dagang VOC yang tidak pernah ditemukan hingga saat ini. Kurang lebih terdapat 105 kapal VOC yang tenggelam medio tahun 1602 hingga 1795.
Haruskah pemerintah melanjutkan upaya eksplorasi peninggalan harta karun VOC di Indonesia, atau biarkan saja tenggelam bersama peradaban sejarah? (IRN)
Baca Juga: Korupsi Proyek Pakaian Seragam Gratis di Maluku Rugikan Negara Rp1,081 Miliar
voc sejarah voc di indonesia kekayaan voc harta peninggalan voc hindia belanda rempah penjajahan jalur rempah nusantara belanda batavia maluku
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...