CARITAU JAKARTA – Ombudsman menyampaikan laporan hasil temuan mereka terkait penyebab kelangkaan minyak goreng di pasaran, ada lima dugaan dan salah satunya akibat perbedaan data kebutuhan minyak goreng di dalam negeri (domestic market obligation/DMO) yang dilaporkan dengan realisasinya
"Ini adalah upaya pengumpulan dan pencarian informasi untuk pemeriksaan oleh Ombudsman pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu penyebab kelangkaan ini sifatnya masih dugaan," ungkap Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman dalam konferensi pers, Selasa (15/3/2022).
Baca Juga: Polemik Jalur Sepeda Dibawa ke Ombudsman, Jakarta Barometer: Keliru Sejak Era Anies
Hasil riset Ombudsman selama kurun Februari hingga Maret 2022 menunjukkan, kebutuhan pasar terhadap penetapan HET minyak goreng semakin meningkat. Riset yang dilakukan pada 274 pasar di seluruh Indonesia ini mencatat kepatuhan pasar modern pada 22 Februari hanya 69,85%, namun pada 14 Maret meningkat menjadi 78,94%. Sedangkan ritel tradisional dari 57,14% menjadi 74,19%.
Yeka mengungkapkan, sebelumnya Kementerian Perdagangan mengklaim telah berhasil mendistribusikan minyak goreng curah dan kemasan sebanyak 415.787 ton ke masyarakat dan angka itu dilaporkan melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi minyak goreng satu bulan yang hanya 327.321 ton.
Namun kenyataanya, minyak goreng masih langka di pasaran.
"Realisasi DMO hanya akan terkonfirmasi dengan data yang mestinya dikumpulkan dari distributor," kata Yeka.
Sementara dugaan Ombudsman kedua, pelaksanaan DMO tanpa diikuti dengan pemasangan antara eksportir crude palm oil (CPO) atau olahannya dengan produsen minyak goreng karena tidak semua produsen minyak goreng mendapatkan CPO DMO dengan harga DMO.
"Tidak semua produsen minyak goreng berorientasi ekspor, sehingga kapasitas produksi minyak goreng diduga mengalami penurunan untuk menghindari kerugian," imbuhnya.
Dugaan ketiga, panic buying masih terjadi di masyarakat meskipun volumenya mulai menurun.
Dugaan keempat, rumah tangga atau pelaku usaha UMKM meningkatkan stok minyak goreng mereka sebagai respon belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih menghadapi puasa dan hari raya.
Kelima, munculnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara harga eceran tertinggi (HET) dengan harga di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi.
Yeka mengatakan aktifitas spekulan ini memunculkan terjadinya dugaan-dugaan penyelundupan minyak goreng di pasaran.
Hal terpenting menurut Yeka, kelangkaan minyak goreng diduga terjadi karena gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan.
"Fungsi pengawasan tidak akan berhasil diterapkan ketika disparitas harga terjadi dengan gap yang sangat besar," sambung Yeka.
Ombudsman memiliki rekomendasi agar kelangkaan tersebut bisa teratasi, yakni menghilangkan disparitas antara harga DPO, HET dan harga pasar.
Sebagai gantinya, penetapan harga bisa dikembalikan pada mekanisme pasar dengan tetap memberlakukan DMO untuk menjamin ketersediaan minyak goreng.
Adapun opsi yang bisa diambil adalah melepas aturan HET untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium yang saat ini masing-masing seharga Rp13.500 dan Rp14.000 per liter.
"Minyak goreng kemasan sederhana dan premium ada pasarnya. Kelompok menengah atas tentu memiliki daya beli untuk minyak goreng tersebut," kata Yeka.
Sementara untuk minyak goreng curah masih diberlakukan HET Rp11.500 per liter, agar masyarakat menengah bawah seperti keluarga miskin dan pelaku UMKM masih bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga tersebut.
"Pemerintah harusnya fokus untuk melayani kelompok masyarakat yang rentan melalui mekanisme bantuan langsung tunai (BLT)," kata Yeka.(GIBS)
Baca Juga: Ombudsman Sebut BP Batam Tak Penuhi Kompensasi Relokasi Warga Pulau Rempang
Viral! Video Oknum Relawan Paslon Kotabaru 02 H Fa...
Cara Upgrade Skill Gaming dengan Samsung Galaxy A1...
Masuk Minggu Tenang, Pj Teguh Pastikan Jakarta Ber...
Cawagub 02 Fatmawati Dua Bulan Keliling 24 Kabupat...
Kampanye Akbar 02 Andalan Hati, Panglima Dozer: Su...