CARITAU JAKARTA – Memahami gelombang pengungsian etnis Rohingya ke Indonesia tentu perlu mengenali akar masalahnya. Konflik Rohingya sendiri berawal dari penolakan dari pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya sebagai kelompok etnis yang sah.
Pemerintah Myanmar tidak mau mengakui status kewarganegaraan Rohingya. Hal itu menyebabkan etnis Rohingya kehilangan hak-hak kewarganegaraan.
Dihimpun dari sejumlah sumber, konflik Rohingya bukan hanya konflik antar etnis. Pada konflik yang terjadi sejak 1991 hingga saat ini, juga banyak melibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemerintah Myanmar sudah melakukan berbagai macam diskriminasi kepada etnis Rohingya. Melansir dari penelitian ‘Pertimbangan Indonesia Memperjuangkan Nasib Pengungsi Rohingya Pasca Pengusiran oleh Myanmar’ (Rahmawati, Wulan, 2014) yang dipublikasikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, beberapa penyebab konflik tersebut di antaranya perbedaan status, pemerkosaan, tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar, diskriminasi budaya, hingga ketimpangan sosial.
Puncaknya, konflik tersebut kemudian terungkap dan diberitakan secara internasional pada tahun 2012. Salah satu penyebab yang paling kentara dari konflik Rohingya adalah status mereka yang berbeda dari warga Myanmar kebanyakan. Etnis Rohingya mayoritas adalah penduduk minoritas beragama Islam di Myanmar, tepatnya provinsi Arakan (sekarang Rakhine atau Rakhaing). Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal di Myanmar.
Dinukil dari penjelasan The UN Refugee Agency pada 2011, etnis Rohingya adalah keturunan campuran (Arab, Moor, Turki, Persia, Mogul, dan Pathan), Bengali lokal dan Rakhine. Etnis Rohingya berbicara dengan bahasa Chittagonian, dialek regional Bengali yang juga digunakan secara luas di seluruh bagian tenggara Banglades.
Kemudian, salah satu penyebab konflik Rohingya lainnya adalah kasus pemerkosaan. Peristiwa ini menjadi salah satu pemicu besar konflik dan sorotan dunia. Kejadian bermula saat pemerintah Myanmar melakukan penahanan tiga orang tersangka yang diduga membunuh seorang gadis yang bekerja sebagai tukang jahit dari etnis Rakhine.
Gadis tersebut bernama Ma Thuda Htwe (27 tahun), putri U Hla Tin dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauk Ni Maw, Yanbe. Disebutkan di sejumlah pemberitaan, gadis berusia 27 tahun tersebut dibunuh dengan cara ditikam sampai mati yang disertai pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh tiga orang pria dari etnis Rohingya.
Pasca kejadian, aparat kepolisian Rakhine melakukan penahanan ketiga tersangka secara tidak transparan dan diduga disertai kekerasan sehingga memicu amarah dari kedua etnis.
Baca Juga: Pengungsi Rohingya Bangun Hunian Sementara di Pekanbaru
Kemudian, soal anggapan Rohingya bukan kelompok etnis Myanmar juga menjadi pemicu kebencian antara etnis di Myanmar. Pada tahun 1982, pemerintah Myanmar menerbitkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang di dalamnya justru tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara yang sah.
Hal tersebut membuat status etnis Rohingya tak memiliki kejelasan. Mereka juga mendapatkan perlakuan sadis dari junta militer Myanmar. Mulai dari penjarahan, pembakaran hidup-hidup, pengerusakan tempat tinggal dan rumah ibadah, pemerkosaan, dan pembunuhan secara sewenang-wenang yang dikenal dengan Operasi Nagamind tahun 1990.
Selain itu, kondisi diperparah dengan adanya diskriminasi dari penduduk Myanmar dan pemerintah terhadap etnis Rohingya. Warga Myanmar menyebut etnis Rohingya dengan Muslim Arakan, Muslim Burma, atau Bengal dari Burma yang berkonotasi sebagai olokan atau ejekan.
Selain itu, junta militer Myanmar juga menggalakan gerakan anti-Islam di kalangan masyarakat Buddha Rakhine dan penduduk Burma, sebagai bagian dari kampanye memusuhi Rohingya.
Akibatnya, mayoritas masyarakat Rakhine dan Burma menolak mengakui Rohingya sebagai golongan etnis, dan mereka telah ditolak dalam keanggotaan Dewan Nasional Etnis. Etnis Rohingya merasa menjadi golongan kelas kedua sebagai masyarakat tertindas.
Pemerintah Myanmar juga menyita tanah warga Rohingya secara paksa untuk membangun model village (perumahan yang dibangun khusus untuk orang-orang beragama Buddha seperti Buddha Rakhine dan orang Buddha lainnya yang sebagian besar berasal dari etnis Burma).
Tak sampai di situ, pemerintah Myanmar juga menggantikan tempat-tempat suci Rohingya dengan monumen bersejarah dan peninggalan Budha berupa biara, pagoda Budha dan asrama untuk biksu-biksu Rakhine.
Dari sekian banyak pemicu dan perilaku diskriminasi oleh pemerintah Myanmar, konflik Rohingya memuncak saat konflik antar etnis terekspos dan diberitakan mereka diberitakan di media-media internasional pada bulan Juni-Agustus 2012.
Puncaknya, terjadi pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingya, serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua belah etnis.
Pengungsi Rohingya masuk ke Indonesia bukan baru terjadi tahun ini saja. Berdasarkan penelusuran Caritau.com, titik pertama utama waktu masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia terjadi pada 2009 silam.
Dikutip dari buku ‘Rohingnya: Suara etnis yang tidak boleh bersuara’ (Hery Aryanto, 2013), masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia pertama kali terjadi pada tanggal 7 Januari 2009.
Tercatat sebanyak 193 etnis Rohingya yang terdampar di Aceh dan Sumatera Utara sebagai manusia perahu (boat people). Mereka terdampar di Sabang, Aceh. Satu bulan kemudian, pengungsi Rohingya kembali terdampar di Indonesia, tepatnya di Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur pada 3 Februari 2009, sebanyak 198 orang.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak menerima pengungsi atas dasar tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Tetapi Indonesia ternyata mengakui bahwa mencari suaka adalah hak asasi manusia.
Dikutip dari Fact Sheet di laman resmi unhcr.org, menurut UNHCR, pemerintah Indonesia telah memberi wewenang kepada UNHCR untuk membantu melindungi dan mencari solusi pengungsi Rohingya.
Aturan tersebut berupa Perpres Nomor 125 tahun 2016 yang mengatur penerimaan dan penanganan pengungsi di dalam negeri, yang tengah direvisi di bawah kepemimpinan Kemenko Polhukam.
Pada akhir Juli 2023, UNHCR menghadiri koordinasi nasional rapat revisi peraturan yang diadakan oleh Satuan Tugas Pengungsi Nasional. Tugasnya menyampaikan secara resmi untuk memastikan bahwa setiap revisi peraturan selaras dengan instrumen hukum domestik dan internasional, serta menjamin adanya kerangka perlindungan di Indonesia.
Selain Peraturan Presiden tahun 2011, sebenarnya Undang-Undang Imigrasi sedang direvisi oleh DPR. UNHCR telah menyediakannya masukan dan konsultasi selama proses tersebut. Namun tampaknya tidak mungkin ada revisi terhadap UU jika harus diselesaikan sebelum Pemilu 2024.
UU pengungsi tahun 2016 telah mencakup ketentuan bagi pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan pengungsi kapal-kapal yang mengalami kesulitan di dekat Indonesia dan membantu mereka turun dengan selamat. (IRFAN NASUTION)
Baca Juga: Ketua MPU Aceh Berharap Presiden Jokowi Segera Selesaikan Masalah Rohingya
rohingya pengungsi rohingya aceh tindak pidana perdagangan orang
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...