CARITAU LONDON – Pelatih baru Chelsea akhirnya terpilih. Bukan nama besar seperti Mauricio Pochetino ataupun Zinedine Zidane. Chelsea mantap menunjuk Graham Potter sebagai pelatih Kai Havertz dkk untuk menggantikan Thomas Tuchel pada Kamis (8/9/2022).
Nama Graham Potter belum banyak dikenal di dunia. Kariernya sejauh ini baru sebatas melatih klub kecil di Swedia dan Inggris. Sebelum dipercaya melatih klub sebesar The Blues, baru tiga klub yang pernah ia latih yaitu Ostersund, Swansea City, dan terakhirh Brighton & Hove Albion. Di klub terakhir itulah nama Graham Potter mulai melejit.
Baca Juga: Drawing Piala AFC U-23: Indonesia Masuk Grup Neraka Bersama Qatar dan Australia
Setelah sukses membawa Brighton menembus papan tengah atau finis di posisi ke-9 di Liga Primer Inggris musim lalu, Graham Potter kembali mengangkat Brighton ke posisi keempat di awal musim ini, mengungguli Manchester United, Chelsea dan Liverpool.
Lalu seperti apa sosok Graham Potter. Mampukah dia mengangkat performa Chelsea yang musim ini masih terseok-seok di Liga Inggris maupun di Liga Champions. Berikut tiga fakta menarik soal Graham Potter seperti dilansir dari berbagai sumber:
Sukses di Swedia
Potter memulai karier kepelatihan pada Desember 2010 dengan klub Swedia Ostersund. Di sana, ia meraih sukses dengan merebut tiga gelar juara. Pertama gelar juara Divisi 2 Norrland Swedia pada tahun 2011, disusul gelar juara Divisi 1 Norra Swedia pada tahun berikutnya, dan terakhir gelar juara Piala Swedia pada musim 2016-17.
Di sana Potter juga dianugerahi gelar manajer terbaik dua kali pada tahun 2016 dan 2017. Kecerdikan Potter meracik taktik mampu mengangkat klubnya, Ostersund menjadi klub yang diperhitungkan di Liga Swedia.
Namanya pun mulai dilirik di Inggris. Graham Potter akhirnya menerima tawaran melatih Swansea City di Liga Championship atau kompetisi kasta kedua di bawah Liga Primer Inggris. Bersama Swansea yang ia latih dari 11 Juni 2018 hingga 20 Mei 2019, Potter membukukan persentasi kemenangan cukup baik yaitu 41,2%. Rinciannya dari 51 kali main, 21 laga berhasil ia menangi, 11 berakhir imbang, dan 19 kali kalah.
Angka itu memang masih kalah saat ia melatih Ostersund di mana ia membukukan 51 persen angka kemenangan dari total 249 laga. Rinciannya adalah 127 kali menang 60 kali imbang, dan 62 kalah. Uniknya persentasi kemenangan Potter di Brighton sebenarnya kurang bagus jika dibanding dua klub sebelumnya. Di Brighton Potter hanya membukukan persentasi kemenangan sebesar 31,1 persen saja. dari 135 laga bersama Brighton di Liga Primer, ia hanya mampu memenangi 42 laga, 46 imbang, dan 47 kali kalah. Namun angka itu bukanlah hasil yang buruk karena penampilan Brighton sangat konsisten dalam dua musim terakhir di mana ia hanya kalah 11 kali pada musim lalu, dan baru sekali kalah dari enam laga di musim ini.
Taktik Unik
Selama menukangi Brighton & Hove Albion, Potter memiliki formasi favorit, yakni 3-4-2-1.
Formasi inilah yang mengantarkan Brighton menjadi salah satu tim yang memiliki performa menanjak sejak menunjuk Potter tahun 2019.
Formasi ini mengandalkan dua gelandang bertahan sebagai double pivot dengan didukung tiga bek di belakang.
Dua gelandang di depan juga berfungsi untuk membantu penyerangan yang menjadikan satu pemain sebagai ujung tombak.
Sistem ini juga memanfaatkan dua wingback, dalam hal ini, Potter akan memiliki keuntungan dengan adanya Marc Cucurella yang pernah menjadi anak asuhnya, juga Reece James yang berada di sebelah kanan.
Pola bertahan dua wingback ini bisa membentuk posisi lima bek bersama dengan tiga pemain belakang lainnya saat dalam mode bertahan. Taktik ini membuat Brighton menjadi tim yang sulit untuk dibobol lawan, namun cukup berbahaya dalam melakukan serangan balik.
Chemistry Apik dengan Pemilik Brighton
Salah satu rahasia kesuksesan Potter menangkat performa Brighton adalah karena chemistry baik yang terjalin dengan pemilik klub, Toni Bloom. Bloom dikenal jeli melihat potensi pemain dengan menerapkan data dan statistik untuk berbelanja di bursa transfer. Bersama dengan Potter kombinasi keduanya sukses melahirkan pemain-pemain bagus yang dibeli dengan harga tak terlalu mahal.
Sebut saja Marc Cucurella. Bek sayap yang dibeli dari Getafe pada musim 2021 seharga 18 juta euro atau sekitar Rp269 milyar bersinar di bawah asuhan Potter musim lalu. Chelsea kemudian kepincut dan berani merogoh kocek sebesar 65,3 juta euro atau sekitar Rp951 milyar.
Selain Cucurella, Brighton meraup banyak uang dari penjualan pemain lain pada musim ini seperti Y. Bissouma yang dibeli Tottenham Hotspur dengan mahar 29,2 juta euro. Musim sebelumnya, mereka juga mencatatkan rekor penjualan salah satu bek tengah Inggris termahal di dunia ketika melego Ben White ke Arsenal seharga 58,6 juta euro.
Chemistry Potter dan Bloom jadi salah satu kunci sukses Brighton menjelma menjadi klub yang disegani di Liga Primer Inggris. Patut dinanti, bagaimana hubungan Potter dengan pemilik baru Chelsea Todd Boehly dalam mengelola klub. Jika bisa sebaik Potter – Bloom, kemungkinan besar The Blues bisa meraup sukses besar di tangan Potter. (ZAS)
Baca Juga: Spanyol U-17 vs Mali U-17, La Rojita dan Elang Muda Afrika Barat Berebut Tiket 16 Besar
tiga fakta menarik graham potter pelatih yang ditunjuk chelsea gantikan tuchel sepak bola liga inggris the blues thomas tuchel pelatih baru chelsea
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...