CARITAU JAKARTA – Pajak pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan dinaikkan Pemerintah menjadi 12%, akan menempatkan Indonesia menyamai Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Apalagi kalau menggunakan skema single tarif ya, ini yang tentu akan memberatkan konsumen yang 95% pendapatannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok," kata Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus di Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Saat ini, negara Asia Tenggara yang mempunyai PPN tertinggi yakni Filipina sebesar 12%. Sedangkan negara lainnya seperti Kamboja 10%, Laos 10%, Vietnam dengan skema two tier system sebesar 10% dan 5%.
Kemudian Malaysia yang menggunakan sistem pajak barang dan jasa (good and service tax/GST) sebesar 6%.
Ahmad menjelaskan, kenaikan PPN dengan menggunakan single tarif dapat menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi yang meningkat. Oleh karena itu, dia menilai perlu adanya pertimbangan untuk menggunakan skema multi tarif.
Selain itu, secara makro, kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat, maka akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.
Selanjutnya dampak lain yang ditimbulkan dari adanya kenaikan PPN, yakni penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang terancam menurun.
Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.
Tujuan dari naiknya PPN 12% sendiri sebenarnya agar semakin mengoptimalkan pendapatan negara, namun menurut dia, pemerintah perlu melakukan kalkulasi dengan matang. Efek jangka panjang dan pendeknya juga perlu dipertimbangkan.
"Saya sepakat bagaimana pemerintah mengoptimalkan penerimaan negara, tapi juga harus mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan dan juga bagaimana memerhatikan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah," ujarnya pula.
Lebih lanjut, Ahmad menilai pemerintah juga perlu mengoptimalkan ekstensifikasi penerimaan perpajakan termasuk ekstensifikasi cukai, serta optimalisasi penerimaan negara bukan pajak.
Sebagai informasi, kenaikan PPN 12% merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 % diubah menjadi 11 % yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 % paling lambat pada 1 Januari 2025. Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 % dan yang paling tinggi 15 %. (HAP)
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...