CARITAU JAKARTA - Paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Sudan mengatakan pihaknya setuju untuk memperpanjang masa gencatan senjata kemanusiaan 72 jam lagi untuk menanggapi upaya mediasi antara Arab Saudi dan Amerika Serikat, pada Jumat (5/5/2023) waktu setempat .
Sebelumnya pada Senin (1/5/2023) , gencatan senjata 72 jam mulai berlaku dan berakhir pada Selasa tengah malam di tengah seruan kekuatan regional untuk memperpanjang masa gencatan senjata yang rapuh.
Baca Juga: Dewan Keamanan PBB Adopsi Resolusi Gencatan Senjata di Gaza saat Ramadan
Sementara itu, militer Sudan mengumumkan bahwa pihaknya setuju untuk menambah durasi gencatan senjata selama sepekan yang diusulkan Otoritas Antarpemerintah untuk Pembangunan (IGAD). Namun, RSF tidak menyebutkan usulan gencatan selama sepekan dalam pernyataan mereka.
"Untuk menanggapi mediasi antara Arab Saudi dan Amerika, kami mengumumkan perpanjangan waktu gencatan senjata 72 jam untuk membuka jalur kemanusiaan sekaligus memfasilitasi perjalanan warga negara dan penduduk ... agar tiba di daerah yang aman," tulis pernyataan RSF.
RSF juga meminta militer Sudan agar mematuhi gencatan senjata dan tidak menyerang lokasi-lokasi RSF, dilansir dari laporan Antara.
Militer Sudan mengatakan bahwa situasi di seluruh Sudan kondusif, kecuali di beberapa area di Ibu Kota Khartoum dan di Kota El-Obeid, Provinsi Kordofan utara, dan wilayah selatan negara itu.
Meski gencatan senjata terus diterapkan, pertempuran antara dua jenderal yang bersaing di Sudan, yakni panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan komandan paramiliter RSF Mohammed Hamdan “Hemedti” Dagalo, masih berlangsung sejak 15 April.
Baca juga: Menteri Luar Negeri Retno Marsudi: Sampai 1 Mei 2023, 949 WNI Sudah Berhasil Dievakuasi dari Sudan
Lebih dari 550 orang tewas dalam pertempuran tersebut, menurut Kementerian Kesehatan Sudan. Perbedaan pandangan di antara kedua pihak tentang reformasi militer telah meruncing dalam beberapa bulan terakhir terkait integrasi RSF ke dalam militer, yang menjadi syarat utama dalam kesepakatan transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.
Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 ketika militer membubarkan pemerintahan transisi yang dipimpin Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan status darurat, yang dikecam oleh kekuatan-kekuatan politik di negara itu sebagai ‘kudeta’.
Masa transisi Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 pasca penggulingan Presiden Omar Al Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilu pada awal 2024.
Evakuasi WNI
Sementara itu Proses evakuasi warga negara Indonesia (WNI) di Sudan, hingga 1 Mei 2023 sudah mencapai 949 orang. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
"Saya ingin berikan update mengenai evakuasi WNI dari Sudan. Per hari ini (1 Mei), sebanyak 949 WNI telah dievakuasi dari Sudan dengan rincian, 930 orang dievakuasi via Jeddah, 13 orang dievakuasi via Mesir, dan 6 orang dievakuasi via Persatuan Emirat Arab," kata Retno dalam keterangan Kementerian Luar Negeri pada Selasa (2/5/2023).
Dia menyebutkan total WNI yang telah dipulangkan ke Indonesia adalah 829 orang, dan semuanya melalui Jeddah. Mereka dipulangkan dalam tiga tahap dengan tahap pertama berjumlah 385 orang tiba pada 28 April menggunakan pesawat Garuda Indonesia.
Pada tahap kedua, dilansir dari laporan Antara, 363 orang tiba 30 April, juga dengan Garuda Indonesia, sedangkan tahap ketiga tiba 75 orang pada 1 Mei menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara. Sementara 6 WNI mengatur kepulangannya secara mandiri.
(IRN)
Baca Juga: Yordania dan AS Bahas Upaya Gencatan Senjata Secepat Mungkin di Gaza
rsf paramiliter pasukan dukungan cepat sudan kudeta sudan konflik militer gencatan senjata
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024