CARITAU JAKARTA – Mahasiswa memiliki kisah panjang pergerakan sejak kemerdekaan Indonesia. Gerakan mahasiswa sering kali menjadi cikal bakal pergerakan nasional. Selain itu, gerakan mahasisa di Indonesia merupakan kegiatan kemahasiswaan yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Gerakan mahasiswa di Indonesia telah dilaksanakan sejak sebelum kemerdekaan, bahkan hingga hari ini. Berawal dari tahun 1908, gerakan mahasiswa Budi Oetomo, jadi wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern, dengan tujuan untuk menjamin kehidupan bangsa yang terhormat.
Baca Juga: 25 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Sebut Pemerintah Gagal Emban Amanat Reformasi
Gerakan mahasiswa yang diawali Boedi Oetomo diikuti oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda dengan mendirikan organisasi bernama Indische Vereeniging. Kehadiran Boedi Oetomo dan Indische Vereeninging pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia.
Generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan di kalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
Setelah gerakan mahasiswa 1908, ada pula gerakan mahasiswa Indonesia yang dilakukan sesudah merdeka. Gerakan tersebut dilakukan pada tahun 1966. Gerakan mahasiswa tahun 1966 pada saat itu punya misi untuk menjatuhkan pemerintahan Orde Lama, dan menjadi cikal bakal Orde Baru.
Berikut gerakan mahasiswa yang menjatuhkan rezim pemerintahan dalam rentang waktu 1966-1998:
1966
Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa (PPMI) merupakan kelompok mahasiswa yang dibuat atas dasar kebutuhan akan aliansi atas kelompok-kelompok mahasiswa. PPMI dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, organisasi ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi di bawah partai politik. Seperti, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) berafiliasi dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa abinetnta secara organisatoris.
Di antara organisasi mahasiswa yang ada pada saat itu, CGMI lebih menonjol karena PKI tampil sebagai salah satu partai terkuat hasil Pemilu 1955. Terlebih, CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi lainnya, bahkan mereka juga berusaha memengaruhi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Hal tersebut akhirnya menyebabkan perseteruan abinetntara CGMI dengan HMI, terlebih perseteruan itu dipicu oleh banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan didudukung oleh CGMI dan juga GMNI setelah Kongres V tahun 1961.
Pada tanggal 25 Oktober 1966, mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb.
Organisasi yang berhasil bertemu dengan PTIP ialah PMKRI, HMI, PMII, GMKI, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendirian KAMI ialah agar para aktivis mahasiswa menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan masih banyak lainnya.
Gerakan pada tahun 1965-1966 ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66. Gerakan ini menjadi awal kebangkitan abinet mahasiswa secara nasional, karena sebelumnya abinet-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.
Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dan Akbar Tanjung. Keempatnya yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru.
Isu yang diangkat oleh Angkatan ’66 ialah komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI.
Setelah Orde Lama berakhir aktivis Angkatan ’66 pun mendapatkan ‘hadiah’ yaitu diberikan kekuasaan untuk duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam abinet pemerintahan Orde Baru.
1974
Realitas berbeda dihadapi oleh gerakan mahasiswa tahun 1966 dan 1974. Mahasiswa generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, sedangkan untuk generasi 1974 justru yang dialami ialah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktik kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
Aksi protes diawali dengan reaksi terhadap kenaikan BBM, lalu dilanjutkan dengan aksi protes mengenai tuntutan pemberantasan korupsi. Selanjutnya, lahirlah gerakan mahasiswa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori oleh Arif Budiman dengan program utamanya ialah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM dan korupsi.
Pada tahun 1970, pemuda dan mahasiswa mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Dibentuknya KAK merupakan sebuah reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori oleh pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI, sampai Komisi Empat.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru melakukan berbagai rekayasa politik guna mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik di masyarakat melalui perundang-undangan.
Golongan Putih (Golput) yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan dideklarasikan pada 28 Mei 1972 sebagai bentuk protes akibat kekecewaan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat.
Pada tahun 1972, protes kembali dilakukan oleh mahasiswa terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan, misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Pada tahun 1972, protes mengenai isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.
Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" di samping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1977-1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1976, aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus, mulai dari kegiatan perkuliahan, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meski begitu, aksi protes kecil tetap ada.
Hingga pada menjelang sampai setelah Pemilu 1977, muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Isu penyimpangan politik terus menyuat ke permukaan. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka dibentuklah Tim Dialog Pemerintah pada tanggal 24 Juli 1977 yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun, upaya tersebut ditolak mentah-mentah oleh mahasiswa. Pada periode ini, terjadi pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik.
Penyebab lainnya ialah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing ke luar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Selain di Jakarta dan Bandung, gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 meluas secara nasional, meliputi kampus-kampus di Surabaya, Medan, Bogor, Makassar, dan Palembang. Pada 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda berkumpul di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, “Turunkan Suharto!”. Besoknya, mereka yang berteriak dikabarkan ditangkap dan masuk penjara. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tenteram.
Setelah peristiwa di ITB pada Oktober 1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi pada 10 November 1977. Tiga ribu jiwa dari berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977.
ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur setelah diadakannya pertemuan 28 Oktober di Bandung. Untuk itu lah disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa ialah di Surabaya.
Sementara di kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki dari Rawamangun (Kampus IKIP Jakarta, yang sekarang adalah UNJ) ke Salemba (Kampus UI), dengan membentangkan spanduk “Padamu Pahlawan Kami Mengadu”. Aksi tersebut tentu dengan pengawalan ketat tentara.
Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih terus disuarakan. Banyak korban akhirnya jatuh pada acara hari itu. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, mereka dibubarkan secara paksa.
Bertepatan dengan peringatan 12 tahun Tritura, penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran teror dan pengekangan oleh pemerintah.
Mulai dari 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Selain dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Mereka yang ditahan juga dipaksa mengaku sebagai pemberontak negara.
Pada kejadian teror tersebut, mahasiswa tetap “bergerak”. Mereka tetap melaksanakan konsolidasi dengan sembunyi-sembunyi.
1990
Mamasuki tahun 1990-an, di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayan Fuad Hasan, terjadi aksi mahasiswa di Yogyakarta yang bernama Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY)
Aksi tersebut menuntut pencabutan NKK/BKK. NKK/BKK merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim Soeharto untuk memecah kemasifan gerakan mahasiswa.
Kampus-kampus yang terlibat dalam gerakan FKMY ialah ISI, Janabadra, UMY, UGM, UII, dan IAIN Sunan Kalijaga.
Gerakan tersebut membuahkan hasil, akhirnya kebijakan NKK/BKK dicabut dan diganti oleh Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK).
1998
Gerakan di tahun 1998 merupakan salah satu gerakan mahasiswa terbesar dalam sejarah Indonesia. Gerakan tersebut menuntut reformasi dan dihapuskannya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), lewat pendudukan gedung DPR/MPR RI oleh ribuan mahasiswa.
Untuk meredam gerakan mahasiswa, pemerintah melakukan tindakan represif yang menewaskan banyak aktivis mahasiswa ‘98 tersebut, di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Lampung.
Gerakan ‘98 ternyata berhasil membuahkan hasil. Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatan kepresidenan pada 21 Mei 1998.
Gerakan tersebut menjadi tongak dimulainya order reformasi yang hingga kini sudah dilewati dengan empat kepemimpinan presiden dimulai dari Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. (FAS)*
*Artikel ini dibuat untuk memperingati Tragedi Trisakti 12 Mei 1998. Artikel diambil dari berbagai sumber.
Baca Juga: KAMMI Desak Presiden Terbitkan Kepres untuk Jadikan 21 Mei sebagai Hari Reformasi
reformasi aksi mahasiswa 98 tragedi trisakti gerakan reformasi
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...
Pj Teguh Instruksikan Perangkat Daerah Bersinergi...