CARITAU JAKARTA - Tepat 25 tahun reformasi, atau selama pemerintah berjalan usai tumbangnya rezim orde baru, hingga kini, amanat yang diberikan oleh gerakan rakyat khususnya mahasiswa seperti hilang tertiup angin.
Bahkan sampai kini, kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sperti penculikan aktivis mahasiswa, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi, dan korban kerusuhan Mei 1998, hingga kini tak jelas pelakunya dan bahkan belum pernah terjadi persidangan dengan menghadirkan pelakunya.
Baca Juga: KAMMI Desak Presiden Terbitkan Kepres untuk Jadikan 21 Mei sebagai Hari Reformasi
Hal tersebut diungkapkan Ketua Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) Jakarta, Febrianto. Dirinya turut menyoroti KKN yang menjadi amanat reformasi kepada pemerintahan saat ini juga jauh panggang dari api.
"Alih-alih melakukan pemberantasan korupsi, tiap pemerintahan pasca 98 banyak kepala daerah dan bahkan anggota kabinet pembantu dari presiden terjerat kasus korupsi," kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/5/2023).
Menurut laporan Transparency Internasional menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan IPK ini, kata dia, turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Menurunnya IPK Indonesia menandakan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk sepanjang tahun lalu.
"Tuntutan agar TNI tidak berpolitik sejak 25 tahun lalu makin kesini juga seperti mundur," ujar dia.
Hal itu, lanjut Febri, dibuktikan dengan munculnya revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam revisi UU tersebut diusulkan prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan sipil lebih banyak di kementerian atau lembaga.
Menurutnya, dibawanya kembali TNI ke politik praktis juga rentan dengan adanya usulan pembentukan Kodam di setiap provinsi. TNI tugasnya hanya sebagai penjaga pertahanan baiknya fokus di wilayah perbatasan yang rawan akan adanya konflik pertahanan.
Karena semangat itu termaktub dalam Pasal 11 ayat 2 UU TNI, yang menyatakan penggelaran kekuatan TNI harus memerhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbataasan, daerah rawan konflik, serta pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis, dan strategi pertahanan.
Belum lagi bila bicara secara ekonomi. Dengan dibentuknya Kodam di setiap provinsi akan membuat bertambahnya kebutuhan anggaran. Padahal kebutuhan anggaran Indonesia saat ini sangat besar dengan beban utang yang kian bertambah.
"Proyek kereta cepat, ibu kota negara (IKN), dan pembangunan infrastrukrur jalan berbayar membuat APBN Indonesia semakin berat," jelasnya.
Fokus pemerintah harusnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu juga membuka lapangan kerja baru dengan menentukan upah pekerja/buruh secara manusiawi. Karena faktanya banyak upah atau UMR di daerah yang sangat jomplang.
Dengan situasi tersebut, eks aktivis 1998 dari PIM Jakarta mendesak, pengusutan dugaan kasus pelanggaran HAM Berat Tragedi Trisakti, Semanggi, Kerusuhan Mei 1998 diusut secara tuntas dengan menyeret pelakunya ke pengadilan.
Kemudian, pemberantasan KKN khususnya pelaku korupsi dihukum dengan hukuman yang maksimal atau seberat-beratnya.
"Menolak melibatkan TNI ke dunia politik dengan dilibatkan di jabatan sipil serta menolak perluasan Kodam di tiap provinsi," tegas Febri.
Serta meminta pemerintah menentukan upah buruh/pekerja (UMR) yang berkemanusiaan. Terakhir menolak penambahan utang dengan dalih pembangunan yang tak dirasakan manfaat bagi masyarakat banyak. (DID)
Baca Juga: Mengenang Tragedi Trisakti, Deretan Aksi Mahasiswa dari Angkatan 66 Hingga Aksi 98
25 reformasi reformasi pemerintah gagal emban amanat reformasi perkumpulan indonesia muda
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024