CARITAU JAKARTA – Belum lama ini publik diramaikan dengan perbincangan potensi tsunami di selatan Pulau Jawa bagian barat terkait adanya potensi gempa megathrust berkekuatan Magnitudo 8,8 yang berpotensi menimbulkan tsunami setinggi 20 meter. Hal tersebut berawal dari sebuah riset yang menyebutkan, daerah Selatan Jawa memang memiliki potensi tsunami dan pernah mengalaminya meski tidak tercatat dalam sejarah.
Ahli Paleotsunami LIPI Eko Yulianto mengatakan terdapat cerita atau mitos tentang gelombang besar di selatan Jawa yang menandakan pernah terjadi tsunami besar di Jawa. Dia mencatat ada kejadian yang terjadi pada 5 Januari 1699 data dari Lebak, Banten, dan sumbernya bukan di darat melainkan di laut.
Baca Juga: Korban Tewas Gempa Jepang di Ishikawa Bertambah Jadi 62 Orang
"Sumbernya bukan di darat, tetapi dari jalur subduksi selatan Jawa itulah yang memicu kami mencari benar atau tidak, dan penelitian kami lakukan menyisir selatan Jawa," tutur Eko, dalam video The Untold Story Java Southern Sea di YouTube BRIN yang diunggah pada 19 Maret 2019, dan dikutip Kamis (17/11/2022).
Sebelumnya, Perekayasa di Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut telah membuat pemodelan bencana dengan fokus ke daerah Selatan Jawa. Melalui permodelan tersebut ditemukan adanya potensi gempa bermagnitudo 8,8 dan tsunami dengan tinggi 20 meter.
Berdasarkan permodelan ini, Eko Yulianto bahkan menemukan apa yang diyakini sebagai lapisan tsunami sekitar 400 tahun yang lalu di Selatan Jawa. Peristiwa tsunami pada masa lalu tersebut diketahui tercatat dalam beberapa manuskrip kuno. Salah satunya seperti yang terekam dalam tembang/sekar mocopat Serat Srinata. Manuskrip-manuskrip tersebut patut diteliti lebih mendalam secara saintis.
Selain di wilayah Jawa, penelitian endapan tsunami dan Paleotsunami juga dilakukan di sepanjang pesisir Pulau Ternate. Penelitian tersebut dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam rentang waktu 31 Desember hingga 13 November 2022.
Paleotsunami atau tsunami purba adalah tsunami yang terjadi pada zaman dahulu. Penelitian paleotsunami adalah penelitian untuk mengetahui tsunami yang pernah terjadi di masa-masa lalu berdasarkan bukti-bukti geologi. Bukti-bukti yang dimaksud umumnya berupa endapan-endapan pasir tsunami.
Berdasarkan survei pendahuluan dan penyelidikan lapangan, pemerintah daerah maupun masyarakat setempat, belum dan tidak mengetahui sejarah tsunami di Pulau Ternate. Mereka hanya mengenal sejarah letusan gunung api Gamalama, berdasarkan jejak letusannya, sehingga pencarian jejak tsunami menjadi hal yang baru dan penting untuk dilakukan.
Dalam penelitiannya, para peneliti dari PVMBG di daerah Loto, menjumpai daerah pesisir dengan morfologi landai dengan pantai yang luas dan lebar, tersusun oleh pasir kasar berwarna kehitaman bercampur kerikil, kerakal hingga bongkah yang merupakan batuan produk gunung api Gamalama.
Daerah tersebut merupakan sebuah estuari atau badan air setengah tertutup di wilayah pesisir, dengan satu sungai atau lebih yang mengalir masuk ke dalamnya, serta terhubung bebas dengan laut terbuka yang terhubung ke Laut Maluku.
Daerah ini juga juga dikenal dengan nama Barangka Loto (Barangka artinya sungai), yang menjadi tempat aliran lahar, saat gunung api Gamalama memuntahkan hasil letusannya.
Masyarakat setempat memanfaatkan daerah untuk ditambang pasir dan batunya (bahan galian C). Di lokasi yang sama, Tim dari PVMBG yang diketuai oleh Dr Yudhicara, S.T., M.Si., menemukan singkapan yang diduga sebagai endapan paleotsunami, yang ditemukan berada di bawah produk gunung api Gamalama dengan jenis aglomerat dan breksi.
Ketebalan produk gunung api tersebut adalah 7,3 meter dengan jarak dari garis pantai sejauh 35 meter. Luas area yang diduga menyimpan singkapan endapan paleotsunami hampir mencapai 200 meter memanjang searah pantai. Sedangkan singkapan terbuka sepanjang 50 meter, dan dilakukan penggalian secara vertikal.
Dalam keterangan resminya, PVMBG menerangkan jika lapisan pertama terdiri dari tiga lapisan yang dibatasi oleh paleosoil di bagian atas dan di bagian bawahnya.
Urutan endapan paleotsunami dari bawah ke atas, yakni lapisan bagian bawah memiliki ketebalan 1 cm, merupakan pasir kasar yang berwarna kuning kecoklatan, menunjukkan proses oksidasi; bagian tengah adalah pasir sangat halus berwarna abu-abu dengan ketebalan 2 cm; sedangkan bagian adalah lempung berwarna abu-abu kehijauan dengan ketebalan 2-3 mm.
Setelah dilakukan penggalian secara vertikal ke arah bawah, para peneliti menjumpai lapisan diduga sebagai endapan paleotsunami berumur lebih tua dengan ketebalan 1,8 cm. Berdasarkan perbedaan warnanya, endapan tersebut dapat dibagi menjadi tiga lapisan bagian atas setebal 0,3 cm, berwarna abu-abu terang kehijauan, di bawahnya terdapat pasir sangat halus berwarna abu-abu terang setebal 1 cm dan lapisan ketiga adalah pasir halus berwarna abu-abu kecoklatan setebal 0,5 cm. 50 cm kemudian dijumpai terduga endapan paleotsunami yang ketiga yang berumur lebih tua dan lebih tebal.
Namun di antara lapisan kedua dan ketiga, terdapat dua lapisan yang tegas, yang diduga sebagai endapan paleotsunami juga. Menilik dari aspek sejarah, berdasarkan peta geologi Gamalama yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulkanologi atau sekarang dikenal dengan PVMBG, pada tahun 1982 daerah Loto disusun oleh sebaran produk gunung api Gamalama Muda hasil letusan pada tahun 1907 (Gmlm1907).
Sebaran produk gunung api yang merupakan endapan lahar muda tersebut terdiri dari bongkah andesit dan andesit basal yang memiliki bentuk butir meruncing tanggung sampai membulat tanggung di dalam matrik lanau dan pasir masih lepas (Bronto et al., 1982). Sedangkan di bawahnya diendapkan produk letusan gunung api Gamalama muda yang umurnya lebih tua, dengan jenis batuan yang diendapkan adalah lava blok jenis andesit basal hitam vesikuler dengan fenokris plagioklas sekitar 40% berbentuk subhedral.
Dengan terduga endapan paleotsunami produk gunung api Gamalama hasil letusan tahun 1907, maka dapat disimpulkan jika lapisan paleotsunami termuda terjadi sebelum tahun 1907, sedangkan lapisan paleotsunami di bawahnya terjadi lebih dulu atau lebih tua, namun tidak ditemukan produk letusan gunung api di antaranya, maka diduga bahwa kejadian tsunami tersebut terjadi setelah letusan terakhir sebelum tahun 1907.
Merujuk hal tersebut, Dr Yudhicara, S.T., M.Si dalam keterangan resminya, menduga bahwa lapisan pertama endapan paleotsunami berasal dari kejadian tsunami tahun 1889, sedangkan lapisan-lapisan endapan paleotsunami lainnya, bisa saja terjadi pada tahun 1859, 1858, 1857, atau 1846.
“Pada singkapan tersebut ditemukan lima lapisan paleotsunami yang dengan tegas dibatasi oleh batas erosional di masing-masing kontak lapisannya. Berdasarkan karakteristik dari masing-masing endapan paleotsunami tersebut, maka dapat diidentifikasi, bahwa lapisan pertama terdiri dari satu sekuen pengendapan yang menunjukkan gelombang yang datang hanya satu kali,” kata ketua Tim Peneliti PVMBG, Dr Yudhicara, S.T., M.Si.
Endapan paleotsunami yang kedua, ketiga dan keempat atau yang lebih tua dari endapan pertama, juga menunjukkan satu sekuen pengendapan, yang artinya gelombang yang datang hanya satu kali.
Endapan paleotsunami yang kelima atau yang paling tua memperlihatkan lima sekuen pengendapan, yang menunjukkan bahwa gelombang tsunami yang datang sebanyak lima kali. Tidak menutup kemungkinan jika digali lebih dalam akan ditemukan endapan paleotsunami lainnya dari masa yang berbeda dengan umur yang lebih tua.
Endapan paleotsunami yang ditemukan di daerah Loto, penyebarannya cukup luas, namun pada endapannya diperlukan pengujian lebih lanjut apakah mengandung produk gunung api (misalnya abu gunung api) atau tidak, sehingga dapat diketahui penyebab tsunami, apakah murni akibat gempa bumi yang bersumber dari zona subduksi Punggungan Mayu, atau ada penyebab lainnya misalnya akibat letusan gunung api, baik Gamalama sendiri ataupun gunung api dari daerah lainnya, seperti Gunung Api Ruang dan Gunung Api Awu di Sangihe.
Temuan jejak tsunami di daerah penyelidikan menjadi bukti yang dapat dijadikan pembelajaran bagi masyarakat setempat dan pihak tekait untuk mewaspadai potensi kejadian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Untuk itu tim bekerja sama dengan pihak akademisi setempat untuk dapat menyosialisasikan bukti kejadian tsunami tersebut sebagai salah satu upaya mitigasi tsunami di Pulau Ternate.
Tsunami adalah bencana alam yang tidak sering terjadi namun kedatangannya sangat menakutkan. Beberapa peristiwa tsunami umumnya merupakan bencana kemanusiaan yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang sangat banyak.
Data menyebutkan bahwa 46% dari total panjang pesisir di Indonesia rawan tsunami. Penyebab tsunami di Indonesia juga cukup beragam. Statistik global mencatat bahwa 90% kejadian tsunami diawali oleh gempa bumi tektonik, 10% dipicu oleh aktivitas non tektonik, dikutip dari jurnal ‘Reid, J.A., Mooney, W.D. Tsunami Occurrence 1900–2020: A Global Review, with Examples from Indonesia’.
Kejadian tsunami di Indonesia tidak hanya dipicu oleh gempa bumi tektonik, namun juga rawan dengan tsunami yang dipicu oleh aktivitas non tektonik seperti aktivitas vulkanik, mengingat Indonesia memiliki beberapa gunung api yang berada di bawah laut.
Letak Indonesia yang berada di kawasan cincin api menjadikannya unik. Bencana kegempaan dan tsunami adalah keniscayaan. Berdasarkan catatan Badan sains Amerika Serikat, National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), ada 246 kejadian tsunami, sejak tahun 416 hingga 2018 di Indonesia.
Dalam catatannya, NOAA menyebutkan jika tsunami yang pertama kali terjadi di Indonesia adalah pada tahun 416 yang terjadi di sekitar Laut Jawa. Setelahnya, pada 1608 hingga 1690 tsunami terjadi selama 13 kali, terdapat lebih dari 2000 korban meninggal, yang tercatat pada tsunami di sekitar laut Banda pada 1674.
Tsunami tersebut disertai dengan ketinggian gelombang hingga 100 meter, termasuk salah satu tsunami dengan gelombang yang paling tinggi yang pernah terjadi di Indonesia.
Kemudian, di Bali pada 1815, tsunami juga merenggut 1200 korban jiwa dengan skala gempa saat itu bermagnitudo 7,0. Setelahnya, erupsi Gunung Krakatau juga menyebabkan tsunami yang menyebabkan setidaknya lebih dari 30.000 orang meninggal pada 1883, dengan ketinggian gelombang sampai 41 meter, yang dikutip dari data ‘Katalog Tsunami Indonesia tahun 416 - 2018’ yang dipublikasikan oleh Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Kedeputian Geofisika, BMKG tahun 2019.
40 tahun setelah erupsi Gunung Krakatau 1883, Gunung Anak Krakatau terbentuk. Tsunami selanjutnya yang disebabkan oleh erupsi Gunung Krakatau yang terjadi pada 1930, menurut data NOAA. Pada saat itu, ketinggian gelombang diperkirakan mencapai 500 meter, tsunami tersebut adalah tertinggi yang pernah terjadi di Indonesia sepanjang sejarah. Sementara, data tentang korban jiwa tidak tercatat.
Pada abad ke-20, rentetan tsunami terus terjadi di Indonesia. Menurut data, di Indonesia medio 1992 hingga 2018 sebanyak 37 kali. Di antaranya, tsunami di Flores dengan skala magnitudo 7,8 pada desember 1992 yang menewaskan 1169 jiwa, dengan ketinggian gelombang kala itu mencapai 26 meter.
Hingga yang paling besar terjadi pada 2004 yakni tsunami yang melanda Aceh dan sebagian wilayah pesisir barat Sumatera. Tsunami tersebut mengakibatkan korban jiwa sekitar 230.000 penduduk di Indonesia serta sejumlah negara di sekitar Samudra Hindia. Tinggi gelombang yang tercatat mencapai 50 meter.
Beberapa waktu lalu sebuah penelitian mengungkapkan jika Asteroid selebar 6 mil lebih yang menghantam bumi 66 juta tahun yang lalu memusnahkan hampir semua dinosaurus dan hampir tiga perempat spesies tumbuhan dan hewan yang ada di Bumi. Hal tersebut juga memicu ‘megatsunami’ dengan gelombang setinggi satu mil yang dikonfirmasi oleh penelitian baru terhadap dampak globalnya.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal AGU Advances pada Oktober 2022, sekelompok peneliti internasional dari lembaga akademik dan lembaga pemerintah, termasuk NOAA dan Geophysical Fluid Dynamics Lab menyajikan sebuah simulasi global pertama dari dampak tsunami asteroid Chicxulub yang terjadi 66 juta tahun yang lalu.
Para peneliti tersebut menggabungkan pemodelan numerik dan analisis catatan geologi untuk menciptakan kembali dampak global tsunami yang dihasilkan oleh Asteroid tersebut. Simulasi megatsunami yang dipicu oleh asteroid telah memberikan verifikasi yang tidak mungkin untuk model numerik dan meningkatkan pemahaman kita tentang geologi di masa sekarang ini.
Analisis numerik dari peristiwa tersebut menggunakan tiga model berbeda untuk mereproduksi pembangkitan dan perambatan tsunami. Sebuah program komputer besar yang memodelkan detail aliran fluida kompleks, yang disebut hidrokode, mensimulasikan 10 menit pertama dari tsunami tersebut, dan dua model yang dikembangkan NOAA kemudian digunakan untuk mensimulasikan perambatan tsunami di sekitar lautan global.
Selain itu, tim peneliti meninjau catatan geologis di lebih dari 100 situs di seluruh dunia dan menemukan bukti yang mendukung prediksi model jalur dan kekuatan tsunami untuk peristiwa megatsunami 66 juta tahun yang lalu.
"Tsunami ini cukup kuat untuk mengganggu dan mengikis sedimen di cekungan samudra di belahan dunia lain, meninggalkan celah dalam catatan sedimen atau tumpukan sedimen yang lebih tua," kata penulis utama Molly Range, yang juga melakukan studi pemodelan untuk tesis masternya di Universitas Michigan dalam jurnal ‘The Chicxulub Impact Produced a Powerful Global Tsunami’ yang dipublikasikan di laman Advancing Earth and Space Science
Dalam penelitiannya, para peneliti menghasilkan perhitungan bahwa energi tsunami yang terjadi pada 66 juta tahun yang lalu itu mencapai 30.000 kali lebih besar daripada energi tsunami gempa bumi Samudra Hindia Desember 2004, yang menewaskan lebih dari 230.000 orang, yang merupakan salah satu tsunami terbesar dalam catatan dunia modern.
“Studi kami adalah perkiraan pertama dari dampak global tsunami yang dihasilkan oleh asteroid Chicxulub. Model tersebut memperkirakan bahwa hampir semua garis pantai dunia mengalami bencana banjir akibat tsunami itu,” kata Vasily Titov, anggota tim penelitian.
Hal tersebut bergantung pada geometri pantai dan gelombang yang datang, sebagian besar wilayah pesisir akan tergenang dan terkikis sampai batas tertentu. Simulasi tersebut juga menunjukkan bahwa di beberapa cekungan air dalam di Atlantik Utara, Pasifik, dan di beberapa daerah yang berdekatan, kecepatan arus bawah laut bisa melebihi 20 sentimeter per detik (biasanya kurang dari 1 cm per detik untuk tsunami akibat gempa bumi), sebuah kecepatan yang cukup kuat untuk mengikis sedimen berbutir halus di dasar laut.
“Kami menemukan bukti yang menguatkan dalam catatan geologis untuk area yang diperkirakan memiliki dampak maksimal di lautan terbuka,” kata Brian Arbic, salah satu peneliti yang juga ahli kelautan di University of Michigan.
Saat ini, para peneliti juga akan mengadakan studi lanjutan untuk memperkirakan luasnya banjir pantai yang disebabkan oleh tsunami dengan memodelkan tingkat genangan pesisir di seluruh dunia
Studi ini membantu menilai dan memitigasi risiko dampak asteroid besar di masa depan. Selain itu, kemampuan mereproduksi mega-event seperti ini merupakan hal penting untuk memahami potensi dan dampak global dari tsunami yang lebih konvensional yang harus dihadapi umat manusia di kemudian hari. (Irfan Nasution)
Baca Juga: Pemkab Sumedang Sebut Tiga Wilayah Terdampak Cukup Parah Akibat Gempa M4,8
tsunami paleotsunami tsunami purba brin pvmbg bmkg sejarah tsunami gempa bumi
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...