CARITAU JAKARTA - Berdasarkan data Program Lingkungan PBB (UNEP), Indonesia menghasilkan 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahunnya.
Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang tertinggi di Asia Tenggara, mengalahkan Filipina dan Vietnam di posisi kedua dan ketiga.
Kedua negara tersebut menghasilkan sampah tiap tahunnya masing-masing berjumlah 9,33 juta ton dan 7,35 ton.
Selain itu, merujuk data yang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah sisa makanan atau produksi rumah tangga menjadi komposisi sampah terbanyak di Indonesia, yakni 40,2% pada 2021.
Adapun Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 29,88 juta ton pada 2021. Artinya, setiap satu warga di Tanah Air menyumbang sampah sebesar 0,68 kg per hari, atau 248,2 kg per tahun.
Permasalahan sampah yang kian serius ini, apalagi perihal sampah makanan sisa, membuat pemerintah harus mencari cara keluar dari dampak tersebut.
Indonesia Mesti Belajar ke Negeri Gingseng
Baca Juga: Penampakan Sampah TPA Cipayung Longsor ke Kali Pesanggrahan
Sejenak, mari belajar pengelolaan sampah dari Korea Selatan. Meskipun kita selama ini mengenal negara tersebut sebagai negara produktif yang aktif memproduksi industri hiburan, namun kita bisa memandang sisi lain dari Korsel.
Salah satu kemajuaan lainnya yang dilihatkan oleh Negeri Ginseng itu, ialah begitu ciamiknya masyarakat di sana dalam mengelola sampah sisa
Mengutip data Zero Waste Cities YPBB, per orang di Korea Selatan menghasilkan sampah sebanyak 130 kilogram. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan Indonesia.
Kendati demikian, banyaknya angka tersebut, membuat pemerintah Korea Selatan terus memikirkan cara bagaimana angka tersebut dapat terolah dan tidak memenuhi tempat pembuangan akhir.
Mulai tahun 2005, pemerintah Korea Selatan memulai langkah pasti dengan memberlakukan larangan membuang sampah makanan menuju TPA. Seiring berjalan waktu, di tahun 2013, mereka menaikkan level pengelolaannya dengan memulai pengolahan sampah makanan menjadi pupuk dan menjadikannya pakan ternak.
Hal ini didukung juga sistem pewadahan menggunakan kantong biodegradable yang wajib digunakan oleh seluruh masyarakat.
Cara tersebut berhasil membawa Korea Selatan mencapai prestasi pengurangan sampah makanan yang signifikan, dari 2% di tahun 1995 hingga 95% saat ini.
Satu hal yang juga menjadi kunci keberhasilan tersebut adalah baiknya pemisahan sampah makanan sejak dari sumber. Sebab, pemisahan sampah sejak dari sumber akan mempermudah pengolahan selanjutnya, baik sampah organik maupun anorganik.
Di tahun 2013, pemerintah Korsel meluncurkan program daur ulang limbah makanan wajib menggunakan kantong biodegradable khusus.
Rata-rata masyarakat dengan keluarga 4 orang, mesti membayar sekitar $6 per bulan untuk membeli kantong tersebut. Biaya kantong yang terjangkau, membuat masyarakat lebih memilih operasional pengomposan skala rumah, dibandingkan membuang sampah organik ke TPA yang jelas-jelas dilarang.
Selanjutnya, biaya kantong ini juga memenuhi 60% dari biaya menjalankan skema, yang telah meningkatkan jumlah limbah makanan yang didaur ulang, yang semula pada tahun 1995 hanya 2%, saat ini telah mencapai 95%.
Pemerintah telah menyetujui penggunaan limbah makanan daur ulang sebagai pupuk, meskipun mayoritas menjadi pakan ternak.
Di Indonesia sendiri, sejumlah masyarakat mulai tergerak untuk melakukan serupa. Banyak inovasi yang dapat membantu masyarakat mengolah sampah organik secara komunal, maupun di rumah.
Seperti yang tampak pada pengelolaan sampah sisa oleh dengan sistem (Lorong Sisa Dapur) Loseda di RW 08 Cibuntu Kota Bandung, kemudian sistem Bata terawang (sarana pengomposan sampah organik yang menggunakan susunan bata berbentuk seperti kubus yang tidak rapat atau berongga) oleh warga Cihaurgeulis di Bandung, hingga pengelolaan sampah di open windrow (pengomposan di tempat terbuka beratap dengan aerasi alamiah) di desa sukaluyu kabupaten Karawang.
Hal tersebut telah mendorong kesadaran masyarakat, betapa pentingnya pengelolaan sampah organik secara mandiri. Selain mengurangi jumlah sampah di TPA, mendaur ulang sampah sisa organik bisa mendatangkan pundi-pundi cuan bagi mereka.
Namun, dalam pengelolaan sampah makanan ada satu hal yang penting diperhatikan, yakni pastikan sampah makanan terpisah dengan sampah lainnya (anorganik, seperti plastik dan lain-lain) agar sampah makanan sisa mudah diolah dan dimanfaatkan. (RMA)
Baca Juga: Kebakaran Sampah di TPA Suwung Bali
krisis pengelolaan sampah samoah makanan sisa sampah rumah tangga tempat pembuangan akhir zero waste cities ypbb
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...