CARITAU SURABAYA – Langkah jemput paksa aparat Kepolisian Daerah Jawa Timur terhadap tersangka dugaan kasus tindak pidana pencabulan berinisial MSAT di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Ploso, Jombang, Jawa Timur pada Kamis (7/7/2022), disebabkan pihak keluarga maupun tersangka mangkir dari pemeriksaan. Bahkan tersangka MSAT masih buron atau masuk daftar pencarian orang (DPO).
Bahkan pihak keluarga maupun tersangka menuding proses penegakan hukum itu perbuatan fitnah, sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan KH Muhammad Mukhtar Mukthi, pengasuh pesantren sekaligus ayah tersangka, tertanggal 4 Juli 2022.
Baca Juga: Kejati Jatim Sita Dokumen Terkait Dugaan Korupsi BNI Gresik Rugikan Negara Rp50 Miliar
Terkait kasus tersebut Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Mia Amiati menjelaskan bahwa seseorang yang telah disangkakan melakukan suatu tindak pidana bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana tersangka MSA dalam perkara tersebut, dapat saja merasa dirinya sebagai korban fitnah dari pihak pelapor maupun korban tindak pidana tersebut.
“Namun demikian, tudingan balik mengenai perbuatan fitnah tersebut tidak dapat terpisah dari proses hukum,” kata Mia.
Mia menjelaskan syarat agar suatu tuduhan dapat dianggap sebagai fitnah karena dianggap tidak berdasar (tanpa alat bukti), maka perbuatan fitnah tersebut harus memenuhi unsur Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
”Dengan demikian, unsur-unsur pidana dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah:1. Seseorang, 2. Menista orang lain secara lisan maupun tulisan;3. Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar,” katanya.
Dengan begitu apakah tersangka merupakan korban fitnah atau tidak, apakah pelapor atau korban telah melakukan tindak pidana fitnah atau tidak.
“Untuk itu, maka proses hukumlah yang dapat membuktikannya,” tandasnya.
Kajati Mia memaparkan, pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan, namun sebelum masuk ke tahap pembuktian di persidangan, ada tahapan proses yang harus dilalui.
Salah satunya adalah penyerahan tersangka dan alat bukti dari penyidik kepada penuntut umum yang dalam kasus yang melibatkan tersangka MSAT tersebut belum dapat dilakukan karena yang bersangkutan selalu mangkir dari panggilan penyidik bahkan melarikan diri dalam proses penangkapan.
“Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Prinsip equality before the law tersebut merupakan norma yang melindungi hak asasi warga negara untuk melawan diskriminasi dan kesewenang-wenangan penguasa,” jelas Mia.
Oleh karena Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka hukum harus berlaku bagi setiap orang, bukan sebagian orang. Hukum ditempatkan dalam posisi tertinggi dimana kekuasaan pun harus tunduk pada hukum.
Prinsip equality before the law merupakan manifestasi dari negara hukum (rechstaat), sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).
Di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945, sambung Mia, secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
“Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum,” tegasnya.
Bahkan dalam hukum pidana Islam, lanjut Mia, asas equality before the law juga sangat dikedepankan, karena memang asas ini adalah manifestasi dari sebuah hukum, penegak hukum tidak boleh membeda-bedakan seseorang dalam proses penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan.
Mia menambahkan, sebagaimana terdapat adagium hukum fiat justitia ruat coelom atau fiat justitia pereat mundus, maka sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan. Siapapun yang terlibat dalam tindak pidana, meskipun pejabat negara, tokoh agama, tokoh masyarakat maupun konglomerat, harus tunduk pada hukum.
“Terlepas dari keyakinan pribadi mengenai bersalah atau tidaknya, semua harus dibuktikan melalui proses hukum. Keadilan akan menemukan jalannya. Tidak ada seorangpun akan dihukum kecuali ia telah berbuat salah (nemo punitur sine injuria, facto seu defalta).,” pungkas Mia.(HAP)
Baca juga :
Polisi Masih Sisir Pesantren Shiddiqiyah Jombang, Anak Kiai Masih Buron
Jemput Paksa Putra Kiai Jombang Tersangka Pencabulan, Polisi Amankan Puluhan Sukarelawan
Bareskrim Pastikan Kasus Pencabulan Santriwati oleh Anak Pengasuh Ponpes di Jombang Tertangani
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...