CARITAU JAKARTA – Setiap 27 Januari, seperti Sabtu ini, dunia memperingati Hari Holocaust Internasional sejak tahun 2005. Sejumlah tokoh dunia pun memberi pernyataan menjelang Hari Holocaust Internasional, termasuk Paus Fransiskus yang menyampaikan pesan perdamaian dan seruan menghentikan perang di Gaza dan Ukraina.
“Semoga ingatan dan kutukan atas pemusnahan jutaan warga Yahudi dan kaum beragama lainnya yang terjadi mengerikan pada paruh pertama abad silam itu, membantu semua orang tak melupakan bahwa logika kebencian dan kekerasan tak akan pernah bisa dibenarkan, karena menyangkal rasa kemanusiaan kita,” kata Paus Fransiskus di Vatikan, Selasa (24/1/2024).
Paus Fransiskus pun menekankan bahwa dunia tak boleh berhenti mengupayakan pengakhiran perang di Ukraina dan Gaza.
Kata holocaust, menurut Encyclpodia Britannica, adalah pembunuhan sistematis yang disponsori negara terhadap jutaan warga Yahudi dan etnis lain, oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia II.
Tanggal 27 Januari dipilih karena merupakan tanggal pembebasan kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia oleh Uni Soviet pada tahun 1945.
Perserikatan Bangsa Bangsa menetapkannya sebagai salah satu hari internasional, melalui resolusi Majelis Umum PBB Nomor 60/7 pada 1 November 2005, pada peringatan 60 tahun pembebasan kamp konsentrasi Auschwitz.
PBB merasa perlu mengadopsi peristiwa itu sebagai hari internasional, demi mengingatkan agar babak gelap dalam sejarah umat manusia tak terulang.
Dunia memang tak akan melupakan penderitaan bangsa Yahudi selama Perang Dunia II, tapi hal yang sama pentingnya adalah dunia ingin menghindarkan kejadian semacam itu terulang.
Dunia tak ingin lagi melihat ada rezim atau negara yang menjustifikasi kekerasan atas nama apa pun, demi menghancurkan kelompok masyarakat yang dianggap musuh mereka.
Sayangnya, ada upaya dari sejumlah pihak yang berusaha memonopoli hari itu untuk kepentingan mereka, sehingga tak bisa berlaku untuk mereka.
Mereka menolak asosiasi segala kekerasan yang mereka atau kelompoknya lakukan terhadap kelompok lain dengan sebutan holocaust. Sebaliknya, mereka akan mengasosiasikan aksi-aksi kekerasan yang mereka dan kelompoknya terima dari pihak lain sebagai holocaust.
Akibatnya, mereka menentang upaya menyamakan apa yang terjadi di Gaza saat ini dengan holocaust. Sebaliknya mereka menyamakan aksi serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023 sebagai holocaust.
Mereka bukanlah orang-orang sembarangan, karena salah satunya Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.
Biden mengasosiasikan apa yang menimpa Israel pada 7 Oktober 2023 ketika diserang Hamas, sebagai tindakan anti- Yahudi, tak ubahnya dengan semangat yang mendorong Nazi membunuhi Yahudi Eropa pada Perang Dunia II, dan praktik-praktik anti-Yahudi sejak ribuan tahun silam.
"Peristiwa (serangan Hamas 7 Oktober 2023) ini telah membuka kenangan menyakitkan dan bekas luka yang ditinggalkan antisemitisme dan genosida warga Yahudi selama ribuan tahun," kata Biden pada 18 Oktober 2023.
Para elite internasional itu, khususnya para pemimpin Israel, menjadikan holocaust sebagai senjata untuk menyerang pihak lain, dan sebaliknya melindungi laku buruk mereka terhadap pihak lain.
Pada tahun 1982, ketika membuat justifikasi perang di Lebanon, PM Israel saat itu, Menachem Begin, menyamakan pemimpin Palestina Yasser Arafat dengan Adolf Hitler.
Tiga puluh tahun kemudian, pada Oktober 2015, PM Benjamin Netanyahu menuding Imam Besar Palestina Amin al-Husseini dirasuki Hitler. Netanyahu pula yang menyebut Hamas sebagai ‘Nazi Baru’.
Ironisnya, mereka menolak menyamakan situasi Gaza saat ini, di mana puluhan ribu warga sipil tewas -- kebanyakan anak-anak dan Wanita -- sebagai holocaust dan genosida atau pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.
Padahal, menurut organisasi kemanusiaan Save the Children, jumlah anak yang tewas di Gaza saat ini jauh lebih banyak ketimbang total konflik di seluruh dunia dalam tiga tahun terakhir.
“Pelaku genosida selalu memandang korbannya orang jahat, tapi melihat dirinya sendiri sebagai orang yang benar, persis seperti cara Nazi dalam memandang Yahudi," tulis Raz Segal, profesor holocaust pada Stockton University AS, melalui laman The Guardian.
Segal mengkritik standar ganda Israel dan elite Barat yang menjadi advokat-advokat mereka, dalam memandang holocaust.
Baca Juga: Baznas Siapkan Makanan dan Air di Palestina Selama Ramadan
Banyak cendekiawan Barat dan Yahudi yang berpikiran seperti Segal, salah satunya jurnalis terkenal AS, Masha Gessen.
Gessen, yang orang Yahudi, menyamakan Jalur Gaza dengan getho Yahudi yang dibangun Nazi Jerman untuk mengisolasi warga Yahudi di wilayah-wilayah Eropa yang diduduki Nazi.
Pada esai yang dimuat New Yorker dan membuat marah Israel serta banyak tokoh Yahudi di seluruh dunia, Gessen berpandangan bahwa memperlakukan holocaust sebagai sebuah peristiwa tunggal atau eksklusif, tak hanya salah, namun juga membuat umat manusia mustahil bisa menarik pelajaran dari holocaust. Padahal bagian ini penting dalam mencegah genosida tidak terulang.
Suara-suara kritis yang ingin adil melihat semua masalah seperti disampaikan Gessen dan Segal itu, termasuk upaya melihat secara objektif penderitaan Palestina, dibungkam atau diasingkan oleh Israel dan Barat.
Gessen yang sudah diundang ke Jerman untuk menerima Anugerah Hannah Arendt pun diboikot oleh pemerintah kota Bremen yang menyelenggarakan anugerah itu.
“Banyak rabbi dan intelektual Yahudi yang enggan membicarakan perdamaian karena khawatir dikucilkan dari keluarga, sinagog atau kehilangan dukungan dana dari organisasi-organisasi nirlaba,” tulis Elliot Kukla, seorang rabbi atau pendeta Yahudi di Oakland, Amerika Serikat, pada 17 November 2023 seperti dimuat Los Angeles Times.
Bahkan di Amerika Serikat dan banyak negara Barat, organisasi-organisasi lobi Yahudi yang amat berkuasa, aktif memberi predikat anti-Yahudi kepada siapa pun yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Israel.
Upaya menyamakan suara kritis terhadap rezim Israel, dengan kebencian terhadap Yahudi ternyata sanggup membuat terma holocaust dimanipulasi untuk tujuan-tujuan koruptif yang tak adil bagi bagian dunia yang lain.
Situasi ini pula yang mendorong kaum intelektual makin kencang bersuara, termasuk 56 pakar holocaust dan genosida yang membuat surat terbuka kepada Israel pada 9 Desember 2023.
"Kami para cendekiawan holocaust, genosida dan kekerasan massa, merasa terdorong untuk mengingatkan adanya bahaya genosida dalam serangan Israel di Gaza," kata para pakar itu melalui surat terbuka tersebut.
Penilaian mereka diperkuat salah satunya oleh Human Rights Watch yang menyatakan Israel telah menggunakan kelaparan sebagai senjata perang, yang merupakan kejahatan perang seperti dilakukan Nazi.
Suara-suara kritis yang berusaha adil memang diasingkan oleh Israel dan Barat, tapi mereka telah membuka mata dan memberikan pencerahan kepada dunia.
Resonansi pesan mereka pun sampai ke mana-mana, termasuk mungkin Mahkamah Internasional yang beberapa jam lalu mengabulkan tuntutan Afrika Selatan agar Israel menghindarkan genosida di Gaza.
Putusan Mahkamah Internasional bukan hanya kemenangan bagi Afrika Selatan, Palestina dan mereka yang mendukung perjuangan Palestina, tapi juga kemenangan untuk mereka yang konsisten mendudukkan persoalan holocaust pada tempatnya yang benar, adil dan berlaku universal. (Jafar M Sidik/Antara)
Baca Juga: Biden: Serangan Israel ke Gaza Harus Dihentikan!
gaza zionis israel holocaust palestina jalur gaza mahkamah internasional genosida
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...