CARITAU JAKARTA – Puluhan hektar Sawah di Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, saat ini teronggok tidak ditanami padi. Menurut salah satu pemilik sawah, Mohamad Taufik (50), para petani tak dapat menanam padi lantaran sawah mereka kekeringan akibat kemarau panjang yang terjadi tahun ini.
“Ya kalau sekarang masalah utama petani itu sebenarnya ketika curah hujan bagus pupuknya susah, sementara pas musim kemarau panjang seperti sekarang masalahnya ada di pengairan yang entah kenapa gampang banget air di sungai itu cepat turun debit nya sehingga pengaruhnya membuat sawah kekurangan air,” keluh Taufik saat dihubungi Caritau.com, Senin (23/10/2023).
Kekeringan panjang membuat ratusan petani di tempatnya kehilangan mata pencaharian. Menurut pria yang kesehariannya menjadi sopir itu, banyak petani di kampungnya yang saat ini menjadi pengangguran dan kesulitan hanya untuk sekedar makan sehari-hari.
Baca Juga: Padi Organik Jadi Alternatif Atasi Krisis Pangan
Sebagai daerah yang mayoritas menjadi petani, kondisi ini tentu berdampak besar. Sektor ekonomi secara keseluruhan di kampungnya juga kena imbas.
“Di sini kalau petani tidak produktif, pasti pengaruh ke ekonomi yang lain. Penjual warung nasi jadi berkurang omsetnya, pasar juga lebih sepi pembeli dari biasanya. Semuanya terpengaruh,” kata Taufik.
Musim kemarau tahun ini memang sangat berat buat para petani di Tegal khususnya, juga di seluruh Indonesia. Taufik berharap pemerintah memberikan solusi buat petani saat terjadi musim kemarau, apalagi sampai mengalami kekeringan ekstrim imbas badai El Nino tahun ini.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah hingga Agustus 2023, lahan pertanian padi seluas 5.150,7 hektare di provinsi itu terdampak kekeringan dari mulai ringan, sedang, berat, hingga yang paling parah mengalami puso yang artinya sawah tidak mengeluarkan hasil.
Total luas sawah di Jateng yang puso hingga Agustus 2023 tercatat sekitar 254,1 hektare. Lahan sawah yang puso terjadi di beberapa wilayah antara lain Banyumas, Cilacap, Kendal, Kabupaten Pekalongan, Brebes, Rembang, Kebumen, Kabupaten Tegal, dan Purworejo.
Taufik pun berharap pemerintah bisa melakukan sesuatu agar penderitaan para petani bisa berkurang.
“Ya harusnya pemerintah sudah mulai memikirkan solusi ketika menghadapi musim kemarau. Gak cuma gegernya gagal panen tok, tapi gak ada upaya perbaikan sistem irigasi buat petani. Ya paling gak ada sistem penampungan atau embung yang diperbanyak untuk bantu sistem pengairan di setiap lokasi yang bisa mengukur kebutuhan air. Kalau bisa setiap berapa ratus hektare ada berapa embung,” harap Taufik.
Kondisi susah air juga terjadi di Jakarta. Kekeringan parah juga sedang terjadi. Salah satunya disampaikan oleh warga Palmerah bernama Ahmad Akbar (33). Di daerah tempat tinggalnya, saat ini mayoritas warga sudah kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka harus bergantian menyalakan mesin pompa air, itupun debit air yang keluar sangat kecil.
Akibatnya sudah berkali-kali mesin pompa air rusak, sehingga ia harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk biaya perbaikan.
“Mesin pompa saya sampai sekarang sudah rusak tiga kali,” kata Akbar kepada Caritau.com, Senin (23/10/2023).
Untuk mengisi toren di rumah, menurut akbar, rata-rata membutuhkan waktu hingga dua jam lebih menyalakan mesin pompa. Tak jarang jika air yang keluar tak sesuai dengan harapan, ia terpaksa membeli air galon isi ulang dengan harga Rp5.000 per galon untuk mandi.
“Sekali beli paling tidak harus dua galon. Itupun pemakaiannya harus diirit-irit supaya cukup buat mandi,” beber pria yang memiliki hobi bermain bola ini.
Diakuinya, kekeringan yang terjadi tahun ini paling parah. Pada tahun-tahun sebelumnya, Akbar tak pernah merasakan kemarau sepanjang ini. Biasanya meski debit air tanah berkurang, namun ia tak pernah kesulitan untuk mendapatkan air.
“Musim kemarau tahun ini paling parah, susah dapat air bersih dan sehari-hari udaranya panas banget pak,” keluh Akbar.
Musim kemarau panjang yang mengakibatkan banyak wilayah di Indonesia mengalami kekeringan ekstrem diakibatkan oleh fenomena El Nino. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) A Fachri Rajab pada acara 'Forum Merdeka Barat 9' (FMB9) yang digelar secara hybrid bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, beberapa waktu lalu.
“Di Indonesia, El Nino memberikan dampak pada kondisi lebih kering, sehingga curah hujan berkurang, tutupan awan berkurang, dan suhu meningkat," kata Fachri.
Lalu, apa itu El Nino?
Istilah El Nino berasal dari Bahasa Spanyol yang artinya ‘anak laki-laki’. Berlawanan dengan fenomena cuaca yang juga kerap terjadi, La Nina, yang artinya ‘anak perempuan’. Dinamai La Nina dan El Nino karena dua fenomena ini serupa tapi tak sama, jadi ibaratnya kayak anak kembar laki-laki dan perempuan. Jika El Nino menyebabkan musim kemarau dan kekeringan, maka La Nina menyebabkan badai hujan ekstrem.
Dikutip dari laman resmi BMKG, El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Dampak pemanasan SML ini, terjadilah peningkatan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik Tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Singkatnya, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.
BMKG mengklasifikasikan intensitas El Nino menjadi tiga kategori, yaitu El Nino lemah, moderat, dan kuat. El Nino lemah berkisar antara 0.5 hingga 1.0, El Nino moderat berkisar antara 1.0 hingga 2.0, sedangkan El Nino kuat dengan nilai lebih dari 2.0. Syarat untuk diidentifikasikan sebagai El Nino adalah nilai indeks Nino 3.4 masuk dalam kategori El Nino minimal konsisten selama 5 bulan berturut-turut.
Pada awalnya El Nino digunakan untuk menandai kondisi arus laut hangat tahunan yang mengalir ke arah selatan di sepanjang pesisir Peru dan Ekuador, saat menjelang natal. Kondisi yang selalu muncul sejak berabad-abad lalu ini dinamai oleh para nelayan Peru sebagai 'El Nino de Navidad' yang disamakan dengan nama Kristus yang baru lahir.
Menghangatnya perairan di wilayah Amerika Selatan ini ternyata berkaitan dengan anomali pemanasan lautan yang lebih luas di Samudera Pasifik bagian timur, bahkan dapat mencapai garis batas penanggalan internasional di Pasifik tengah.
Adapun Iklim di Samudera Pasifik dapat bervariasi dalam tiga kondisi (fase). Berikut penjelasannya seperti dilansir dari laman resmi BMKG:
Fase Netral:
Pada fase Netral angin pasat berhembus dari timur ke arah barat melintasi Samudra Pasifik, menghasilkan arus laut yang juga mengarah ke barat dan disebut dengan Sirkulasi Walker. Selama fase netral ini, maka suhu muka laut di barat Pasifik akan selalu lebih hangat dari bagian timur Pasifik.
Fase El Nino:
Pada fase ini, angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat melemah atau bahkan berbalik arah. Penyebab pelemahan ini karena meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan, dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Dampaknya, musim kemarau akan lebih panjang dan bisa mengalami peningkatan risiko kekeringan.
Fase La Nina:
Fase ini ditandai dengan hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator intensitasnya menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin.
Fenomena La Nina ini akan menimbulkan curah hujan yang lebih banyak sehingga berisiko adanya bencana banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
Beberapa daerah yang paling terdampak fenomena El Nino adalah sebagian wilayah Sumatera seperti Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bengkulu, Lampung. Kemudian seluruh Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Wilayah tersebut memiliki curah hujan paling rendah dan berpotensi mengalami musim kering yang ekstrem.
Mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPP) dan beberapa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang mengalami kekeringan parah sejak Agustus 2023.
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, merupakan salah satu daerah yang paling parah terdampak kekeringan. BPBD Kabupaten Bogor pada 23 Agustus 2023, melaporkan sebanyak 100 ribu jiwa di 19 kecamatan mengalami kekeringan ekstrem.
Menurut Kepala BPBD Kabupaten Bogor, Asep Sulaeman, daerah-daerah yang kekeringannya paling parah antara lain Sukajaya, Jasinga, Tenjo, Nanggung, Cibungbulang, Leuwisadeng, Ciampea, Rancabungur, Ciseeng, Babakan Madang, Cisarua, Sukaraja, Cijeruk, Cigombong, Tanjungsari, Sukamakmur, Cariu, Jonggol, dan Citereup.
Beberapa upaya dilakukan warga Kabupaten Bogor untuk mendapatkan air bersih, di antaranya membuat sumur bor yang dilakukan warga di Kecamatan Sukaraja. Karena air tidak kunjung keluar, warga nekat menggali hingga kedalaman 100 meter. Karena terlalu dalam, tiba-tiba dari dalam lubang keluar semburan air bercampur gas.
Staf Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bogor, Jalaluddin mengatakan saat ini area sumur bor tersebut telah dipasang garis polisi guna menghindari warga mendekat.
"Imbauan warga untuk jangan mendekat, dan sudah di pasang garis polisi. Untuk info lengkap rencana besok tim dari ESDM akan menindaklanjuti ke lokasi tersebut," tandas Jalal.
Sementara itu di Kabupaten Sleman, DIY, kekeringan juga membuat warga di sana menderita. Para peternak ikan harus merugi lantaran kolamnya terkena dampak kekeringan sehingga produktivitasnya pun menurun drastis. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Sleman, bulan Agustus 2023 ada sekitar 31 hektar kolam budidaya ikan yang terdampak kekeringan.
Selain berdampak pada budidaya ikan, warga Sleman juga mengalami kekurangan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. Data dari BPBD Sleman per 21 Oktober 2023, terdapat 15 kelurahan yang mengalami kekeringan akibat kemarau panjang tahun ini.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sleman, Bambang Kuntoro mengatakan penyebab kekeringan parah di Sleman adalah karena sumber mata air dan sumur di Sebagian wilayah Padukuhan di Merdikorejo sudah mengering.
Untuk menanggulanginya, BPBD Sleman terus mengalirkan air bersih buat masyarakat terdampak. Hingga 21 Oktober, mereka telah mendistribusikan air bersih sebanyak 1.389.000 liter.
Di Trenggalek, Jawa Timur, kekeringan terus meluas hingga mencapai 17 desa terdampak kemarau panjang tahun ini. Berdasarkan data yang dihimpun BPBD Trenggalek, jumlah permintaan air bersih dari warga ke BPBD terus mengalami peningkatan sepanjang bulan Oktober 2023.
Kondisi di Makassar, Sulawesi Selatan pun tak kalah parah. Kekeringan yang melanda Kota Makassar, ternyata tak hanya berdampak ke masyarakat saja. Kesulitan mendapatkan air bersih membuat pasien di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Wahidin Sudirohusodo, harus bergilir untuk mendapat aliran air bersih.
Salah satu penjaga pasien di RSUP Wahidin, Popu Novita (38) mengaku, sangat kesulitan mendapatkan air bersih di RSUP Wahidin. Ia bahkan menggunakan botol mineral besar menampung air bersih untuk keperluan mandi cuci kakus (MCK).
"Jadi biasanya itu kan pagi baru ngalir di sini. Jadi kami siasati pas subuh atau sebelum salat subuh ngisi botol-botol kosong di masjid," ucapnya saat ditemui wartawan, Senin (23/10/2023) siang.
Seretnya pasokan air bersih untuk warga Makassar salah satunya disebabkan karena tiga instalasi pipa air (IPA) milik Perumda Air Minum (PDAM) Kota Makassar berhenti berproduksi. Ketiganya yakni IPA 2 Panaikang, dan 3 Antang yang sumber airnya dari bendung Leko Pancing Maros, serta IPA 4 Maccini Sombala yang sumber airnya dari Bendungan Bili-bili.
Direktur Utama PDAM Makassar Beni Iskandar mengatakan, instalasi pengelolaan air itu berhenti berproduksi karena keringnya air sungai di Leko Pancing. Selain itu, kandungan klorida pada air baku yang bersumber dari Sungai Jeneberang ternyata melebihi batas normal. Tingginya kadar klorida di IPA 4 terjadi sejak sepekan lalu.
"Bendungan karet yang menahan inklusi air laut, ketinggian air laut sudah di atas itu sehingga kloridanya tinggi di angka 600 sehingga kita tidak bisa memproduksi air baku yang ada di Maccini sombala," ungkapnya, Selasa (24/10/2023).
Tak hanya di Indonesia, kekeringan parah juga dialami negara-negara lain seantero bumi. Presiden Joko Widodo mengaku cemas dengan kondisi ini. Menurut dia, ancaman perubahan iklim sudah di depan mata sehingga pada ujungnya akan membuat dunia mengalami krisis pangan.
“Suhu bumi semakin panas, cuaca juga semakin panas. Kekeringan ada di mana-mana, bukan hanya Indonesia saja,” ucap Jokowi saat memberikan sambutan dalam Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan dan Energi Baru Terbarukan (LIKE) di Gelora Bung Karno pada September 2023.
Jokowi bilang, banyak negara di dunia saat ini mulai kesulitan memperoleh makanan yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor. Beberapa komoditas yang disebut Jokowi mulai mengalami kelangkaan di dunia adalah beras yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat di Indonesia, dan satu komoditas lagi yaitu gandum.
Persoalan makanan, lanjut Jokowi, menjadi semakin rumit lantaran sejumlah negara yang menjadi produsen komoditas pangan itu, memilih untuk menyetop impor demi mengamankan cadangan makanan sendiri. Dia mengatakan 19 negara sudah mengambil keputusan ini. Berhentinya ekspor ini, kata dia, membuat harga beras termasuk di Indonesia meningkat.
"Yang biasanya negara-negara itu mengekspor berasnya, 19 negara sekarang sudah setop ngerem ekspornya. Tidak diekspor lagi sehingga banyak negara yang harga berasnya naik termasuk di Indonesia sedikit naik," terang Jokowi.
Kenaikan harga beras tentu saja bukan cuma disebabkan oleh kebijakan stop impor dari negara-negara penghasil beras. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikan harga beras belakangan ini, "Akibat penurunan luas panen yang kemudian didorong dampak El Nino".
BPS mencatat, harga beras di tingkat konsumen sudah naik sebesar 18,44% dalam setahun terakhir.
“Kenaikan harga beras ini, tentunya disebabkan berkurangnya pasokan akibat kemarau berkepanjangan, dan juga penurunan produksi karena efek El Nino,” kata Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam keterangan pers.
El Nino terbukti berdampak besar pada banyak hal. Kemarau panjang, kekeringan yang menyebabkan sulit mendapat air bersih, hingga turunnya produksi beras yang menimbulkan kenaikan harga dan ancaman krisis pangan. Dengan semua permasalahan yang ada, sudah semakin nyata bahwa manusia harus lebih bijak menggunakan sumber daya alam terbatas, salah satunya air bersih. (DIMAS ELFARISI)
Baca Juga: Puncak Fenomena El Nino
fk7vb6
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024