CARITAU JAKARTA - Keterbatasan tak menjadi halangan bagi seseorang jika memiliki tekad yang kuat. Hal tersebut ditunjukan oleh seniman muda Edo Makarim dalam berkarya.
Edo Makarim pasca kelahirannya pada 1995 silam, didiagnosa mengalami masalah dalam darahnya. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya kemampuan motorik dari sebagian besar tubuhnya dan hingga mengalami speech delay.
Namun begitu, seniman muda ini dengan tekad dan dukungan orang tua terkasihnya, kemudian berpuluh tahun kemudian memamerkan 15 karya lukisannya dalam pameran yang diberi nama ‘Tapak Katresnan’, di Hadiprana Art Center, Kemang, Jakarta, Minggu (21/5/2023).
‘Tapak Katresnan’ sendiri memiliki makna jejak cinta atau tanda kasih sayang dalam perjalanan hidup Edo kepada orang-orang atau hal-hal yang ada dalam hidupnya.
Didiagnosa mengalami gangguan motorik pada sebagian besar tubuhnya tak menghalanginya untuk menghadirkan berbagai karya seni lukisan dan instalasi. Edo menuturkan, pengalaman hidupnya menjadi sumber ide dalam membuat karya seni rupa. Dia mencipta sebuah karya dari kejadian-kejadian yang kerap dialami dan berada di sekitarnya.
“Di pameran ini, saya menceritakan proses hidup saya selama ini,” ujar Edo saat ditemui di pembukaan pameran oleh Caritau.com, Minggu (21/5/2023).
Seperti pada lukisan berjudul ‘Kancing’ misalnya, Edo mengatakan, lukisan tersebut adalah salah satu favoritnya di antara 15 karyanya yang dipamerkan.
‘Karena saya takut kancing,” jawabnya singkat saat sesi tanya jawab.
Saat berkeliling pameran, Edo baru menjelaskan, jika lukisan berjudul ‘Kancing’ tersebut tidak lepas dari pengalaman yang pernah ia rasakan. Gangguan motorik yang dimiliki Edo membuat kancing adalah hal yang cukup merepotkan ketika harus memasang baju. Di fase tertentu, dulu, ia menyebut kerap merasa phobia dengan benda kecil yang terpasang di baju tersebut.
Karya lainnya yang menarik perhatian adalah lukisan berjudul ‘P.E.T.E’. Lukisannya sederhana, hanya tiga buah biji petai, berbentuk polong berwarna hijau yang dituangkan dalam medium akrilik di atas kanvas berukuran 70x60 cm.
Namun, cerita dibaliknya menceritakan bagian hidup lainnya dari seorang Edo Makarim. Lukisan tersebut menceritakan masa kecil Edo yang enggan makan apapun dan harus selalu berganti menu makanan.
Tak disangka, masalah sulit teratasi ketika sang nenek menyuguhkan petai yang dibalut dengan sambal balado. Sejak saat itu, petai menjadi salah satu makanan favorit Edo.
Dalam kesempatan tersebut, Timotius Warsito Kurator Pameran sekaligus pendamping sang seniman, mengatakan jika pameran dari 21 Mei - 24 Juni 2023 itu menyajikan jejak-jejak cinta yang hadir melalui orang-orang di sekitar sang seniman.
Dalam pameran ini, siapa pun yang hadir dapat menyelami rekam jejak Edo melalui karya yang bersumber dari keseharian dan pengalaman yang dialami, seperti pemandangan di kampung, merespons pandemi, makanan kesukaan, dan sebagainya.
Baca Juga: Pesantren Kilat Disablitas
Sang kurator juga mengatakan, pameran ini menjadi penting karena menunjukkan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus bisa berkarya dengan baik ketika mendapatkan treatment dengan benar.
“Di pameran ini, Edo bercerita tentang proses menjadi seperti saat ini,” katanya Warsito
Menilik dari banyak karyanya, Edo menghadirkan pendekatan realis untuk lukisannya. Meski terkesan sederhana, penggambaran karya adalah bentuk catatan visual yang ia tuangkan dalam mengatasi keterbatasannya.
Peran Penting Orang Tua
Agus Basuki Yanuar, Ayah dari Edo menceritakan awal mulanya irisan sang anak dengan dunia melukis. Agus menuturkan, pertemuan awal Edo dengan lukis bermula sejak usia lima tahun Namun, sebelumnya, Edo sendiri telah mengenal gambar sejak usia empat tahun sebagai medium berkomunikasi.
Agus memperkenalkan gambar kepada anak sebagai cara berkomunikasi lantaran terlambat berbicara. Ia kerap membuat gambar dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki seperti komik untuk menceritakan tentang apa yang dilihat seperti saat setelah jalan-jalan.
Edo mulai menggambar sendiri apa yang dilihat ketika sudah bisa menggambar saat belum bisa berbicara. Pada saat itu, Agus menerjemahkan apa yang dilihat oleh sang anak.
“Jadi, awalnya gambar adalah bahasa komunikasi dia [Edo] yang pertama,” tutur Agus.
Kemampuan menggambar dan melukis Edo makin terarah ketika berkenalan dengan guru lukis. Tidak hanya itu, lukisan yang pada awalnya menjadi media komunikasi berubah menjadi media ekspresi.
Edo mulai lebih percaya diri dan mulai melukis selain mengikuti terapi yang lain. Kemudian, Agus juga membuat semacam sanggar guna mendukung sang anak di ruko yang dimiliki.
Selain untuk sang anak, sanggar itu juga mengundang peserta lukis lainnya, baik untuk terapi bagi individu dengan kebutuhan khusus maupun ekspresi seni peserta yang tidak memiliki kebutuhan khusus. (IRN)
Baca Juga: Lokakarya Melukis Flora di Bandung
edo makarim tapak katresnan pameran lukisan pelukis karya lukis berkebutuhan khusus disabilitas gangguan motorik
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024