CARITAU JAKARTA - Pengajuan hak angket di DPR RI dinilai sebagai solusi untuk mengungkap berbagai kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024. Hal itu disampaikan politikus PDIP Adian Napitupulu.
Menurut Adian, rakyat saat ini tidak lagi mempercayai lembaga negara, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pilihannya adalah hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada pelaksanaan Pemilu 2024," kata Adian dalam keterangan tertulis, Rabu (21/2/2024).
Dirinya menegaskan bahwa sangat terbuka kemungkinan terjadi kecurangan pada pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres).
Berbagai dugaan kecurangan itu, kata dia, telah ditemukan rakyat dan partai politik. Namun, mereka bingung kecurangan itu akan dilaporkan ke lembaga mana.
"Kecurangan itu tidak bisa hanya dilihat di angka-angka. Rakyat bingung. Parpol bingung. Ketemu kecurangan pemilu. Ngadu ke mana? MK ada pamannya. Lalu ke mana? Mau tidak mau pilihannya hak angket," ujarnya.
"Jika KPU, Sistem Rekapitulasi Suara Pemilu 2024 atau Sirekap dan MK sudah tak bisa dipercaya, mau tidak mau rakyat hanya percaya dengan kekuatannya sendiri. Hati-hati loh itu. Hati-hati," imbuhnya.
Aktivis 1998 itu menegaskan DPR harus bertanggung jawab untuk mengontrol produk undang-undangnya. Selain itu, DPR juga harus bertanggung jawab untuk setiap pengeluaran rupiah yang diteken dalam APBN.
Adian mengatakan rangkaian kecurangan pada Pemilu 2024 tidak hanya berhenti dalam angka-angka. Ia menyebut perhitungan perolehan suara pada Sirekap bisa berubah dalam sehari. Ia mengaku kehilangan 470 suara.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa peluang kecurangan pada Pilpres akan lebih besar dibanding Pileg karena jumlah kertas suara dan tempat pemungutan suara (TPS) lebih banyak.
"Kalau untuk 15 ribu TPS di Bogor bisa terjadi kecurangan. Peluang kecurangan lebih mungkin terjadi pada pilpres dengan 800 ribuan TPS," katanya.
Anggota Komisi VII DPR RI itu pun menyinggung tanggung jawab negara dalam dugaan kecurangan Pemilu 2024. Menurutnya, angka perolehan suara yang dipublikasi KPU melalui Sirekap berubah-ubah dan ada penggelembungan.
Adian mempertanyakan apakah data yang dipublikasi Sirekap, termasuk kabar bohong (hoaks) atau bukan. Jika termasuk hoaks, maka ada sanksi karena menyebarkan kebohongan publik.
"Menurut saya harus ada langkah hukum ketika negara dianggap menyebarkan hoaks, karena data Sirekap itu tersebar kok. Artinya, harus ada langkah politik di parlemen," tegasnya. (DID)
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...