CARITAU JAKARTA - Dibalik angkuhnya gedung-gedung perobek langit Jakarta, terselip sebuah masjid tua bersejarah.
Ya, itulah Masjid Hidayatullah yang terparkir tepat dibelakang gedung Sampoerna Square, dan beramat di Jalan Karet Depan (Dr. Satrio) Rt 07/04 Kelurahan Karet Semanggi, Setia Budi, Jakarta Selatan.
Baca Juga: Cagar Budaya Masjid Raya Pariaman
Masjid Hidayatullah dibangun pada 1743, di atas lahan seluas 3.000 meter persegi. Lahan yang dimanfaatkan untuk masjid merupakan wakaf dari seorang pengusaha pengusaha betawi keturunan Cina Bugis bernama Muhammad Yusuf yang bekerja pada Safir Hands, seorang pengusaha Belanda.
Masjid Hidayatullah menjadi saksi bisu perjuangan umat Islam saat melawan bangsa penjajah. Dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah Karawang dan Cikampek dilakukan.
Namun saat ini luas tanahnya hanya tinggal 1.600 meter persegi, imbas dari penggusuran perluasan kali Krukut pada medio 1972 dan perluasan air limbah pada tahun 1980-an.
Masjid ini sendiri telah mengalami empat kali pemugaran. Perbaikan pertama pada tahun 1921 dengan tidak merubah bentuk aslinya, namun hanya ditambah dengan bangunan samping. Perbaikan kedua pada tahun 1948 dengan menambahkan porselen. Perbaikan ketiga pada tahun 1972 dengan menambah internit dan perbaikan keempat tahun 1983 dengan memperluas bangunan luar.
Meski tidak ada catatan tertulis yang menjelaskan hal ikhwal keberadaan masjid ini, terdapat bukti lain yang masih diyakini keasliannya sampai sekarang, yaitu seperti dua buah menara kembar tepat di atas bangunan masjid, mimbar khutbah dengan tulisan Arab Melayu serta jam dinding tua yang sampai sekarang juga masih berfungsi.
Meski tidak ada catatan tertulis yang menjelaskan hal ikhwal keberadaan masjid ini, terdapat bukti lain yang masih diyakini keasliannya sampai sekarang, yaitu seperti dua buah menara kembar tepat di atas bangunan masjid, mimbar khutbah dengan tulisan Arab Melayu serta jam dinding tua yang sampai sekarang juga masih berfungsi.
Bentuk arsitektur Masjid Hidayatullah diilhami oleh empat budaya berbeda. Pertama, budaya Betawi, yang ditandai dengan tiang dan jendela yang terbuat dari kayu serta atap yang terbuka. Kedua, budaya Cina, yang dapat kita lihat pada lengkungan halus tipis pada ujung atau atap menara. Ketiga, budaya Hindu Jawa yang terlihat pada menara kembarnya. Dan keempat kebudayaan Arab yang bisa dilihat dari ukiran kaligrafi di masing-masing tiang penyangga.
Setiap komponen dan bentuk masjid ini memiliki makna filosofis tersendiri. Dua menara kembar yang bertengger di atas masjid melambangkan dua kalimat syahadat. Sementara tiga atap yang bersusun, mempunyai arti witrun. Maksudnya, sesuatu itu tidak ada yang sempurna, selain Allah SWT atau untuk mengingatkan kita bahwa Allah itu Esa atau tak berbilang. Adapun mimbar khutbah yang memiliki empat tangga menandakan kerukunan para khulafaur rasyidin.
Pada ruangan dalam masjid terdapat delapan buah tiang penyangga. Kedelapan tiang itu dibagi menjadi dua bagian; lima menunjukkan rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji serta tiga lainnya mengandung makna Islam, Iman, dan Ikhsan.
Keunikan Masjid Hidayatullah tidak berhenti sampai disana. Beberapa pohon yang tergolong langka tumbuh di Indonesia hidup di tempat ini, seperti pohon kurma, pohon malaka dan ada pohon nangka yang sudah berusia ratusan tahun. Sementara di samping masjid, ada puluhan makam para pendiri masjid dan para pejuang yang terawat rapi. (CARITAU - MUNZIR)
Baca Juga: Makan Nasi Liwet Massal
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024