CARITAU SURABAYA – Sejatinya, euforia Indonesia di awal kemerdekaan terasa begitu panjang dan sulit. Pasalnya, tak semua negara ingin Indonesia terbebas dari penjajahan.
Belanda sebagai negara terlama menjajah dan menguasai tanah air, masih tak sudi melihat Indonesia terlahir sebagai negara.
Baca Juga: Kirab Merah Putih di Bali
Jepang pun demikian, meski nasibnya teramat kalut akibat hancur lebur di perang dunia kedua, Negeri Sakura itu masih mencoba bertahan di sejumlah daerah dan melakukan perlawanan.
Namun, tak hanya kedua negara itu yang mengganggu kedaulatan Indonesia.
Sebab, ada beberapa momen di mana negara Sekutu Belanda ikut terlibat mencoba menghambat Indonesia untuk tumbuh dan mekar. Hal ini bisa terlihat pada pertempuran di Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan Indonesia.
Meskipun kita kerap mendefenisikan pertempuran di Surabaya terjadi pada tanggal 10 November, akan tetapi kejadian tersebut sejatinya berjalan panjang.
Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern (1993) membeberkan situasi di masa-masa awal kemerdekaan di Indonesia.
Dijelaskan, bahwa euforia revolusi melanda Indonesia, khususnya kaum muda Indonesia merespon kegairahan dan tantangan kemerdekaan.
Kaum pemuda mencoba menetralisir semua hal yang berkaitan langsung dengan penjajahan; Dimulai dari mendesak komandan-komandan Jepang untuk menarik mundur anggotanya di kota besar, hingga meminta orang Belanda untuk angkat kaki dari negara ini.
Namun, gejolak tidak cuma datang dari kedua negara tersebut. Pada awal tahun 1945, pihak Sekutu telah memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian, tanggung jawab atas Indonesia dipindahkan dari Komando Pasifik Barat Daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara Inggris di bawah pimpinan Lord Louis Montbatten.
Tentu saja Belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia dan menghukum mereka yang telah bekerja sama dengan pihak Jepang. Tetapi, mereka tak sanggup melakukan hal itu sendirian, sehingga harapan mereka kini tertumpu pada pihak Inggris.
Singkat cerita, pertengahan bulan September dan Oktober 1945, Australia menduduki kota-kota besar di Indonesia Timur.
"Sementara itu, pasukan-pasukan Inggris, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang India, bergerak memasuki Jawa dan Sumatera," tulis Ricklefs.
Sepanjang bulan Oktober, pasukan Sekutu dan Belanda tiba di Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Surabaya. Panglima Inggris untuk Indonesia, Letnan Jenderal Sir Philip Christison sejatinya ingin menghindari bentrokan dengan rakyat Indonesia.
Namun, kehadiran-kehadiran sekutu itu membuat kondisi Indonesia semakin tegang. Pada Bulan Oktober, meletus pertempuran di jalan-jalan antara pemuda Indonesia dengan Orang Belanda, Jepang maupun Sekutu.
Terdapat sejumlah peristiwa, seperti Peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Ambarawa hingga Pertempuran di Surabaya.
Adapun, Pertempuran Surabaya berawal ketika Sekutu Allied Forced Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Sekutu dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Kedatangan tentara Sekutu bertujuan melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran Sekutu.
Sejak awal, pemegang pemerintahan di Jawa Timur, yaitu Gubernur Suryo enggan menerima tentara Sekutu. Kedatangan tentara Sekutu dikhawatirkan Bangsa Indonesia, karena dicurigai ada siasat Belanda di belakangnya.
Perang pertama antara pejuang RI dan Arek-arek Suroboyo melawan Sekutu terjadi pada 27 Oktober 1945.
Dikutip dari ‘Sedjarah TNI-Angkatan Darat 1945-1965’, pemimpin Pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jenderal Auberitin Mallaby, tewas pada tanggal 30 Oktober dalam insiden tersebut.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Inggris. Ringo Rahata, dalam bukunya berjudul Perjuangan Mempertahanakan Kemerdekaan Indonesia (2019), menjelaskan pada 9 November Sekutu mengeluarkan utlimatum agar para pejuang dan rakyat Surabaya menyerah kepada Sekutu.
Apabila utlimatum tersebut tidak dihiraukan, seluruh kekuatan pasukan Sekutu akan menggempur dan membumihanguskan Surabaya. Kendati demikian, ancaman tersebut tak dihiraukan oleh masyarakat Surabaya.
Penolakan tersebut menyebabkan pertempuran tidak dapat dihindari. Akhirnya pertempuran besar pecah pada 10 November 1945 pukul 10.00 pagi dan berlangsung selama tiga minggu. Inggris mengerahkan seluruh pasukannya.
"Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama Revolusi, sehingga menjadi perlawanan nasional. Panglima senior Jepang di sana, Laksamana Madya Shibata Yaichiro, memihak Republik dan membuka pintu gudang senjataan Jepang kepada orang-orang Indonesia," (Ricklefs, hlm: 437).
Puluhan ribu arek-arek Suroboyo bertempur mati-matian dan perjuangannya patut dikenang publik sebagai sejarah hebat mempertahankan Tanah Air.
Di tengah ribuan pejuang bangsa, terselip satu nama yang mempunyai andil besar dalam memperjuangkan Surabaya dari cengkraman Belanda dan Sekutu. Ia adalah Bung Tomo, atau bernama lengkap Sutomo.
Abdul Waid dalam Buku Bung Tomo (2019), menjelaskan bagaimana briliannya sosok Bung Tomo. Ia dikenal sebagai orang pertama yang tidak percaya terhadap apa yang disampaikan oleh pemerintah pusat melalui Amir Syariffudin.
Dijelaskan Waid, awalnya Amir Syariffudin mengabarkan bahwa Surabaya bakal kedatangan Sekutu (AFNEI) dengan tujuan mengangkut orang Jepang yang sudah kalah perang dan membebaskan orang asing yang ditawan pada Zaman Jepang.
Namun, Bung Tomo dan rekan-rekanya curiga dengan maksud Sekutu menginjakkan kakinya di Surabaya. Kecurigaan bermula ketiak Kolonel P.J.G Huijer, perwira tentara Sekutu berkebangsaan Belanda yang datang pertama kali ke Surabaya pada tanggal 23 September 1945 sebagai utusan Laksamana Pertama Patterson.
Di Surabaya, Huijer malah bertindak sewenang-wenang; menentang revolusi yang dikobarkan pejuang Indonesia secara terang-terangan dan beberapa kali memancing keributan. Sehingga, membuat pejuang geram dan akhirnya ditangkap dan ditawan oleh aparat Keamanan Indonesia di Kalisosok.
Hal tersebut memicu konflik-konflik lainnya. Menjelang kedatangan Inggris di Surabaya, Menteri Pertahanan RI, Drg. Moestopo menyeru orang-orang Surabaya untuk bersiap-siap melakukan perang dengan pasukan Inggris.
Drg. Moestopo sambil mengendarai mobil terbuka dengan pedang terhunus di tangan, menyemangati Arek-arek Suroboyo sambil teriak-teriak di sepanjang jalan. Tujuannya satu; menyadarkan rakyat atas bahaya yang sedang mengancam.
Namun, kekhawatiran Moestopo datang juga. Kapal Inggris merapat ke Tanjung Perak, dan dua orang perwira Staf Mallaby menemui Gubernur Suryo untuk berunding.
Akan tetapi, Suryo menolak perundingan itu. Sehingga perundingan dilimpahkan ke Moestopo, Soegiri dengan Mallaby. Pertemuan tersebut tak menghasilkan kesepakatan.
Kemudian, Mallaby pun bertemu dengan Bung Tomo dalam perundingan 26 Oktober. Di sini, Bung Tomo mencium gelagat mencurigakan Mallaby dan Sekutunya yang berpotensi mengingkari hasil perundingan.
Hingga pada akhirnya, hasil perundingan yang menentukan kewenangan Sekutu di tanah Surabaya diingkari. Hal tersebut membuat Bung Tomo marah. Ketegangan memuncak seiring Moestopo ditangkap dan diminta untuk menunjukkan lokasi Kolonel Huijer ditawan.
Bung Tomo bereaksi dengan lantang dan menyebut tindakan Inggris kurang ajar.
"Bung Tomo menyebut para Tentara Inggris sebagai Anjing yang tak tau diri," jelas Waid (hlm: 268).
Pada tanggal 28 Oktober, Bung Tomo mengajak seluruh masyarakat Surabaya untuk merapatkan barisan dalam rangka mengambil tindakan tegas terhadap sikap Inggris.
Keputusan yang dilancarkan, ialah mengajak masyarakat agar melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Inggris. Bung Tomo berorasi dengan nada keras, tegas dan mampu mengorbankan semangat juang rakyat Surabaya.
Pidato Bung Tomo sangat menggugah masyarakat Surabaya, bahkan Indonesia. Hingga perlawanan pun dimulai dan meluas. Pertempuran pun pecah pada malam harinya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mengepung semua gedung yang telah diduduki tentara Inggris selama tiga hari.
Singkat cerita, selama proses pengepungan dan pertempuran yang memanas itu, pada tanggal 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby tewas di tangan sekelompok milisi Indonesia. Ia tewas ketika menumpang mobil Buick yang hendak melewati Jembatan Merah dan dicegat milisi Indonesia. Sehingga terjadi tembak-menembak, sehingga Mallaby meregang nyawa. Mobil itu pun hangus bersama tewasnya Jenderal Inggris itu. (Abdul Waid (2019), hlm: 271 - 272)
Pertempuran 10 November pun pecah usai utlimatum yang dikeluarkan Sekutu sama sekali tak dihiraukan. Utlimatum itu sendiri dikeluarkan oleh Mayor Jenderal Mansergh, menyikapi ketegangan dan kematian Mallaby. Ia menyebut Inggris bakal mengerahkan 15.000 pasukan untuk mengepung masyarakat Surabaya.
Sebelum kekalutan itu terjadi, Harry A. Poeze dalam bukunya berjudul Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (2008), menyebut Bung Tomo meminta keputusan kepada Soekarno mengenai apa yang harus dilakukan berkaitan dengan Utlimatum Mansergh, namun pemerintah pusat bergeming. Dikatakan, Soekarno dan Soebardjo (Menlu RI) hanya menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada seluruh rakyat Surabaya.
Menyikapi hal tersebut, Bung Tomo dan pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) tak surut. Mereka membangkitkan semangat seluruh rakyat Surabaya agar tak gentar menghadapi musuh. Pada tanggal 9 September 1945, elemen TKR dan Pemuda menandatangani ‘Soempah Kebulatan Tekad’ yang isinya sebagai berikut (teks asli), dikutip dari Buku A. Radjab, TRIP dan Perang Kemerdekaan (1983) halaman 132:
Bismillah Hirrochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, ikhlas berkorban dengan tekad MERDEKA atau MATI !!!
Sekali merdeka tetap merdeka!
Soerabaja, 9 November 1945
Ttd
(1) TKR Kota
(2) PRI
(3) BPRI
(4) TKR Sidoardjo
(5) BBI
(6) TKR Laut
(7) TKR Peladjar
(8) P.I
(9) BBM (Barisan Berani Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11) TKR Djombang, dll
Selepas Sumpah itu ditandatangani, Gubernur Suryo dan Bung Tomo pun memberi pidato pada pukul 23.00 WIB. Seruan-seruan Bung Tomo mampu membakar semangat rakyat Surabaya melawan tentara sekutu.
Akhirnya pertempuran besar pecah pada pukul 10.00 pagi dan berlangsung panjang. Inggris mengerahkan seluruh pasukannya. Dengan semangat membara, rakyat Surabaya yang berbekal persenjataan dari Jepang, menggempur ribuan tentara Inggris dan Sekutu.
Bung Tomo dengan suaranya yang menggelegar membakar semangat seluruh rakyat Surabaya dengan seruannya "Maju terus pantang mundur! Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!!!”
Selain itu, Bung Tomo juga mengeluarkan pidato panjang yang menyemangati arek-arek Kota Pahlawan. Berikut petikan pidato tersebut, dikutip dari laman Setneg, Kamis (10/11/2022);
"Inilah jawaban kita, jawaban pemuda-pemuda rakyat Indonesia; Hai Inggris, selama banteng-banteng pemuda-pemuda Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan pernah menyerah..."
"Teman-teman seperjuangan, terutama pemuda-pemuda Indonesia, kita terus berjuang, kita usir kaum penjajah dari bumi kita Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lama kita menderita, diperas, diinjak-injak,..."
Selepas itu, pertempuran terjadi dengan sengit. Surabaya terbakar dan Pulau Jawa membara. Pertempuran ini menjadi salah satu rangkaian dari api yang membakar di Pulau Jawa, yang merambah ke Bandung, Semarang dan Ambarawa.
Perang Surabaya berlangsung hingga Desember 1945 dan terasa bak neraka bagi Inggris dan pihak Sekutu. Pengalaman pahit bagi Inggris yang harus berperang di daerah bekas jajahan Belanda.
Pertempuran ini menelan korban nyawa hingga ribuan jiwa, Surabaya pun bergelora sekaligus hancur lebur.
M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia (1993) mencatat, dampak dari peristiwa bersejarah ini menewaskan setidaknya 6.000-16.000 orang dari pihak Indonesia.
Sedangkan korban tewas dari pasukan Sekutu kira-kira sejumlah 600-2.000 orang.
Sementara itu. Menurut Stanley Woodburn Kirby dalam The War Against Japan (1965), tak kurang dari 200.000 orang yang terdiri dari rakyat sipil terpaksa mengungsi dari Surabaya ke daerah-daerah yang lebih aman akibat pertempuran tersebut.
Pertempuran Surabaya juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Setahun setelah peristiwa itu, yakni pada 10 November 1946, Presiden Sukarno menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan dan diperingati hingga sekarang. (RAHMA DHONI)
Baca Juga: Tabur Bunga Peringatan Hari Pahlawan di Pantai Utara
bung tomo dan teriakan takbirnya hari pahlawan 1o november pertempuran 10 november
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...