CARITAU MAKASSAR – Sebuah video viral membuat heboh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel). Dalam video itu, seorang pemuda melakukan tradisi Angngaru atau tradisi penyambutan tamu terhormat.
Dalam video yang berdurasi 29 detik yang beredar di berbagai platform media sosial tersebut, pemuda itu tengah melakukan tradisi angngaru di sebuah acara pernikahan.
Awalnya, semua terlihat seperti orang pada umumnya melakukan angngaru. Namun, peristiwa tak terduga, saat pemuda itu menancapkan sebilah senjata khas Bugis-Makassar berupa Badik (diwajibkan memakai badik saat melakukan angngaru) di dada sebelah kanan pemuda itu.
Di mana, biasanya orang yang melakukan tradisi angngaru sudah dibekali ilmu kekebalan. Namun, badik yang ditancapkan di dada sebalah kanannya malah menembus ke dalam dadanya.
Seketika orang-orang yang menyaksikan berteriak melihat dada bercururan keluar dari tubuh pemuda itu. Namun pemuda itu tetap melanjutkan hingga penyambutan angngaru selesai.
Belakangan diketahu pemuda itu bernama Hisbullah Basri (25) warga Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Pasca melakukan tradisi angngaru dalam penyambutan kedatangan seorang pengantin, ia pun dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan intensif.
Hal itu diketahui dalam video berbeda yang beredar di media sosial. Di mana, Hisbullah mengalami luka robek di dada sebelah kananya dan harus mendapat 5 jahitan.
"Tabe (izin) ini bukti bahwa saya yang di video tersebut (video saat melakukan tradisi angngaru), luka jahitnya sampai lima jahitan. Alhamdulillah-nya sehat-sehatja kembali. Teman-teman terima kasih atas dukunganta," ucap Hisbullah dalam video klarifikasinya.
Ia mengaku memang menyukai tradisi Angngaru sejak dulu. Karena menurutnya hal itu merupakan adat yang sudah turun temurun.
"Saya suka budaya, makanya saya lestarikan," katanya.
Kata dia, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman dahulu. Apalagi dengan cara menusuk anggota tubuhnya dengan keris atau badik.
“Menurut saya, itu tradisi di Sulsel. Tapi seperti Maggiri (menusuk anggota tubuh dengan badik) dan segala macam di wilayah saya di Maros, memang hal lumrah turun temurun,” jelasnya.
Aru adalah pesan yang hendak disampaikan, sementara pesan yang disampaikan disebut Angngaru. Aru merupakan salah satu sastra kebudayaan Makassar yang berisi tentang sumpah atau ikrar yang diucapkan abdi kepada raja, raja kepada abdinya, prajurit kepada komandannya, atau masyarakat kepada pemerintah.
Aru adalah syair tua dan merupakan ciri khas masyarakat Makassar yang di dalamnya terdapat prinsip kesungguhan, kerelaan, keihklasan, patriotisme, pantang menyerah, dan pengabdi yang dapat dipercaya serta amanah pada tanggungjawab dalam setiap gubahan syairnya.
Aru (Angngaru) mulai dilakukan pada abad ke-13. Aru pada mulanya sebuah perjanjian yang diucapkan oleh raja kepada dewan adat. Pada masa damai, di Kerajaan Gowa, aru diucapkan oleh raja yang baru dilantik.
Ia berikrar akan setia dan amanah melaksanakan tugas dan kewajibannya di hadapan Dewan Adat Sembilan (Bate Salapang) yang berfungsi sebagai wakil rakyat pada wilayahnya masing-masing. Bukan hanya Bate Salapang, rakyat yang hadir juga mendengar sumpah raja.
Ketika masa perang, Aru berfungsi sebagai alat pengobar semangat. Seorang panglima dari masing-masing kompi, berikrar di hadapan raja sebelum mereka ke medan perang.
Menurut budayawan Djirong Basang, Aru mulai sering diikrarkan saat kerjaan Gowa gencar melakukan ekspansi ke pelbagai wilayah dan perang terhadap VOC. Sebelum prajurit hendak berperang, mereka terlebih dahulu melakukan Aru.
Mereka bersumpah sebagai abdi kerajaan yang taat, setia, dan rela mengorbankan segalanya untuk menegakkan wibawa kerajaan dan kehormatan Tanah Airnya. Mereka tak akan mundur selangkah pun sebelum musuh melangkahi mayatnya.
Dalam situasi perang, Aru diikrarkan oleh panglima yang disertai pasukannya masing-masing. Prajurit yang menyertai disebut Tu Barani atau pemberani, sehingga aru disebut juga “Aru Tubarani” (ikrar prajurit pemberani).
Anggaru Tu Barani diucapkan penuh penghayatan dengan irama tertentu disertai gerakan tubuh. Dalam gerakannya itu, pasukan memegang hulu badik atau keris yang dihunuskan sambil bersumpah. Suara yang dikeluarkan sangat lantang menggema, nadanya keras, wajahnya menghadap ke depan disertai tatapan yang tajam.
Ia pun berikrar, sesekali menancapkan ujung bedilnya kebagian tubuhnya, seraya memperagakan kesaktiannya. Tabuhan gendang, puik-puik dan gong bergemuruh mengiringi aru.
Tabuhan ini disebut Tunrung Pakanjara. Semakin keras tabuhannya, semakin keras juga sumpah diikrarkan, sehingga semua yang mendengarkan aru menjadi bersemangat.
Darah juang para pasukan semakin menggelora, jiwanya membara sebagai pasukan berani mati. Setelah aru selesai diikrarkan, tubuhnya di bungkukkan seraya memberi hormat dan meminta restu akan perjuangannya.
Pada masa lalu, Aru berperang penting memantik semangat juang, nilai yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai bentuk jadi diri seorang laki-laki yang sesungguhnya.
Untuk menyatakan eksistensinya sebagai sebagai ksatria, maka prajurit yang telah berikrar, pantang baginya menyerah.
Diperolehnya kekuasaan tidak terlepas dari perang pasukan pemberani atau tubarani yang taat pada rajanya dan selalu mengucapkan ikrar dalam mengemban tugas yang diberikan. Pesan Aru menjadi bukti kuatnya komiten prajurit dan kokohnya semangat kebangsaan, serta rasa hormat yang begitu tinggi pada pimpinan.
Semangat inilah yang mendasari Kesultanan Gowa atau Kerajaan Makassar, hampir menguasai seluruh kawasan timur nusantara. Semangat Aru menjadi simbol kekuatan dan keperkasaan.
Pada saat ini, Aru telah banyak digunakan dalam berbagai upacara adat dan penyambutan tamu-tamu kehormatan, acara adat seperti peringatan hari jadi kerajaan, pencucian benda pusaka, penyambutan pengantin, penobatan lembaga adat, pemberian gelar kehormatan bagi keturunan raja yang sukses di rantau.
Sementara pelaksanaan di institusi pemerintahan, aru biasanya dipersembahkan bagi tamu kehormatan, serah-terima jabatan, pembukaan acara kedinasan, atau beragam aktivitas yang berkaitan dengan penerapan internalisasi nilai budaya.
Ritual ini menyampaiakan simbol jaminan keselamatan dan kenyamanan selama acara berlangsung atau selama mengunjungi tempat.
Ikhtiar kita sebagai warga negara adalah ikut serta dalam pembangunan, dengan memahami bahwa adanya nilai-nilai kehidupan pada budaya Aru, maka kita perlu melestarikan sebagai warisan leluhur yang masih relevan dengan situasi saat ini. (KEK)
pemuda maros tertusuk badik saat lakukan angngaru darah bercucuran tradisi turun temurun
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...