CARITAU YOGYAKARTA – Daerah Istimewa Yogyakarta ataul dikenal dengan singkatan DIY merupakan salah satu daerah otonom setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Yogyakarta memiliki sejarah yang sangat panjang dan perannya juga cukup vital bagi Republik Indonesia.
Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama Pesanggrahan Gartitawati.
Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki makna Yogya yang makmur dan paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Untuk mengetahui sejarah DIY lebih lanjut, simak sejarah DIY yang dibagi dalam beberapa era;
Berdasarkan sejumlah catatan dan literatur, DIY diketahui terbentuk dan dipengaruhi dari Kerajaan Mataram di Jawa yang dimulai sejak abad ke-VIII. Kerajaan Mataram kala itu membentang di seluruh Pulau Jawa, serta meninggalkan jejak historis lewat peninggalan-peninggalan megah semisal Candi Prambanan dan Candi Borobudur.
Sejatinya, Kerajaan Mataram tidak hanya dipengaruhi satu kepercayaan saja. Melainkan tiga kepercayaan di periode-periode tertentu. Di masa Kerajaan Mataram Kuno, kita bisa mengetahui adanya Kerajaan Mataram yang berlatarbelakang kepercayaan Hindu (Dinasti Sanjaya), serta Kerajaan Mataram Budha (Dinasti Syailendra).
Sedangkan Kerajaan Mataram Islam berawal dari cerita keberhasilan Sutawijaya dalam mengalahkan Arya Penangsang.
Ardian Kresna dalam buku Sejarah Panjang Mataram: Menengok Berdirinya Kesultanan Yogyakarta, menjelaskan bahwasannya Raja Kesultanan Pajang Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara bahwa siapa pun yang bisa membunuh Arya Penangsang akan dihadiahi “tanah perdikan”.
Atas keberhasilan Sutawijaya dalam menyingkirkan Arya Penangsang, selanjutnya Sultan Hadi Wijaya Menghadiahkan Alas Mentaok kepada Sutawijaya dan Ayahanndanya Ki Ageng Pemanahan. Pada Akhir abad ke-16, Alas Mentaok yang sudah dijadikan pemukiman oleh Ki Ageng Pemanahan lambat laun berkembang menjadi daerah yang makmur dan menjadi puasat kukuasaan yang kemudian diberi nama Mataram.
Setelah peninggalan Ki Ageng Pemanahan, Mataram kemudian dipimpin oleh Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaan pada era kepemimpinan Mas Rangsang yang bergelar Kanjeng Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngaburachman Sayidin Panatagama.
Namun, kejayaan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Sultan Agung mengalami kemunduran seiring datangnya VOC ke bumi Nusantara dan juga adanya perpecahan di lingkungan internal kerajaan.
Puncak dari melemahnya kekuasaan Kerajaan Mataram ditandai dengan adanya perjanjian Giyanti yang membagi daerah kekuasaan kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kesunanan Surakarta yang berkedudukan di Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta yang berkedudukan di Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta sebagian dari kerajaan Mataram kemudian diakui oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi kerajaan dan mempunyai hak untuk mengatur rumah tangga sendiri seperti yang tertuang dalam kontrak polikit antara kasultanan Yogyakarta dengan Pemerintah Hindia Belanda (Staatsblad 1941 No.47).
Setelah itu, Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.
Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang saat itu merupakan Raja Keraton Yogyakarta, memberikan ucapan selamat kepada Indonesia. Tak hanya itu DIY juga mendukung Indonesia sebagai negara republik.
Dukungan Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk pernyataan bahwa mereka resmi bergabung di pemerintahan Yogyakarta.
Peran sentral Kesultanan Yogyakarta terlihat pada awal kemerdekaan di mana Keraton Kesultanan Yogyakarta menjadi mobilisator percepatan pada masa-masa awal pembentukan NKRI tahun 1945 dengan dikeluarkannya Maklumat 5 September 1945.
Saat itu, Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang diakui oleh pihak Belanda sebagai negara Merdeka, menyatakan diri bergabung dengan NKRI. Maklumat 5 September 1945 ini kemudian menjadi starting point bagi keistimewaan DIY pada masa setelah kemerdekaan.
Tak berhenti sampai di situ, peran terbesar Yogyakarta bagi kemerdekaan adalah menjadi Ibu Kota Indonesia sementara. Sebagaimana dikutip dari website resmi Kraton Jogja, pada awal-awal kemerdekaan NKRI, Belanda yang belum sepenuhnya menerima bahwa Indonesia telah merdeka mengadakan berbagai serangan militer.
Jakarta yang saat itu menjadi ibu kota merasa tidak aman, dan pemerintah akhirnya memutuskan untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta secara diam-diam dengan kereta api pada 4 Januari 1946.
Kendati tidak lama, Yogyakarta tidak menjadi ibu kota bagi pemerintahan saja, melainkan juga untuk urusan kenegaraan, politik, dan militer juga. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Indonesia dan berpengaruh terhadap Revolusi Indonesia.
Bahkan, Yogyakarta tercatat menjadi Ibu kota Indonesia selama dua periode, yakni pada 1946-1948 dan 1949-1950. Daerah Istimewa Yogyakarta bermakna penting bagi kemerdekaan karena apabila mereka tidak bersedia untuk menjadi ibu kota sementara Indonesia, Belanda dengan kolonialismenya bisa saja menjajah Bangsa Indonesia lagi.
Berkat dedikasi Kesultanan Yogyakarta di awal-awal kemerdekaan, RI menghadiahkan daerah tersebut menjadi Daerah Istimewa, sebagaimana Daerah Otonom setingkat provinsi. Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-Undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi;
“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa.”
Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas daerah/Kasultanan Yogyakarta dan daerah Pakualaman. Sebagai ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.
Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini memiliki empat kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.
Saat ini, kepala daerah dari DIY dijabat oleh Sri Sultan Hamengkubowono X. Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), Kepala, dan Wakil Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu, pada zaman sebelum Republik Indonesia, dan yang masih menguasai daerahnya; dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu.
Dengan demikian Kepala Daerah Istimewa, sampai tahun 1988, dijabat secara otomatis oleh Sultan Yogyakarta yang bertahta, dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sampai tahun 1998, dijabat secara otomatis oleh Pangeran Paku Alam yang bertahta. Nomenklatur Gubernur, dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa baru digunakan mulai tahun 1999 dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999. Saat ini mekanisme pengisian jabatan Gubernur, dan Wakil Gubernur DIY diatur dengan UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), DI Yogyakarta memiliki penduduk sebanyak 3,68 juta jiwa dan 1,25 juta kepala keluarga per Juni 2021.
Adapun dalam Laporan BPS berjudul ‘DIY dalam Angka 2022’, DIY memiliki 2039 sekolah, 22.917 guru, 304.971 murid di tingkat SD/MI. 568 sekolah, 12.547 guru, 166.384 murid di tingkat SMP/MTS.
Selanjutnya ada 445 sekolah, 13.306 guru, 173.839 siswa di tingkat SMA/K/MA. 109 perguruan tinggi, 13.200 dosen dan 389.699 mahasiswa. Jumlah inilah yang menasbihkan DIY sebagai daerah terpelajar, karena mahasiswanya berasal dari seluruh penjuru negeri.
Adapun, perguruan tinggi yang cukup terkenal di DIY ialah, Universitas Gajah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Institut Seni Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia dan lain-lain. (RMA)
sejarah kota yogyakarta hut yogyakarta kesultanan yogyakarta
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...