Caritau MAKASSAR – Nurdin Abdullah gubernur dengan segudang prestasi --begitu penyebutan yang kerap disematkan rilis resmi Pemprov Sulawesi Selatan buat Gubernur Prof Dr Ir HM Nurdin Abdullah MAgr-- tiba-tiba saja dijaring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Sabtu dini hari (27/2/2021).
Kabar yang mengejutkan tak hanya buat warga Makassar, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Maklum saja, Gubernur Prof Nurdin Abdullah adalah penerima Bung Hatta Anti Corruption Award tahun 2017 atau penghargaan bagi tokoh Indonesia yang dinilai sebagai pendekar antikorupsi saat masih menjabat Bupati Bantaeng.
Namun predikat gagah sekaligus membanggakan itu seolah luntur setelah Tim KPK yang terdiri dari sembilan orang menjemput Prof Nurdin saat lelap di Rujab, sebutan populer masyarakat Sulsel buat Rumah Jabatan Gubernur yang didiami Prof Nurdin bersama isteri, anak, menantu dan cucu, di Jalan Sudirman di jantung Kota Makassar antara pukul 01.00 – 02.00 WITA.
“Kalau begini mi arahnya, kemungkinan nanti siang kita lihat gubernur ta pake rompi orange KPK dengan tangan diborgol. Tapi semoga ndak ji,” begitu komentar pertama seorang jurnalis di WAG Humas dan Pers Pemprov Sulsel yang beranggotakan 113 orang menanggapi penangkapan Gubernur Nurdin Abdullah yang sering disebut dengan inisial Prof NA.
Sinyal OTT Terbesar Sulsel
Salah satu wartawan di Makassar kepada caritau.com mengatakan, sebenarnya sejak Jumat petang (26/2/2021), seorang jurnalis yang dekat dengan kalangan KPK telah mendapat pesan singkat bahwa malam itu bakal ada OTT terbesar di bumi Angin Mamiri. Kabar itu tentu segera menyebar di beberapa jurnalis.
“Tapi informasinya hanya sebatas bakal ada OTT terbesar, tidak ada penjelasan siapa yang bakal di OTT atau di mana karena Makassar atau Sulsel kan luas. Sinyalnya hanya OTT terbesar, jadi kami hanya bisa menunggu dengan penasaran,” kata wartawan tersebut.
Kehebohan Sabtu pagi di medsos makin menjadi karena pemberitaan semakin ramai tentang Prof NA yang dijemput Tim KPK yang mengantongi Surat Perintah Penyelidikan (SPP) No: Sprin.Lidik-98/01/10/2020 untuk kemudian diterbangkan ke Jakarta dari Bandara Sultan Hasanuddin menggunakan pesawat Garuda Indonesia nomor pernerbangan GA-617 di kursi 36K.
Pada SPP KPK tertera nomor 1-10-2020 atau 1 Oktober 2020 yang berarti Prof NA memang sudah dibidik KPK sejak lima bulan terakhir. Rangkaian OTT pada Jumat malam hingga Sabtu dini hari, tampaknya puncak pengintaian KPK untuk mendapatkan alat bukti sebagai pijakan mengungkap kasus berupa sekoper uang senilai Rp 2 miliar.
Selain Prof NA, dijaring pula lima orang lainnya, yakni Edy Rahmat (Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Pemprov Sulsel yang sebelumnya ASN Pemkab Bantaeng), Agung Sucipto (Direktur PT Agung Perdana Bulukumba kontraktor proyek infrastruktur), Samsul Bahri (ajudan Prof NA sejak Bupati Bantaeng), serta dua sopir pribadi Edy dan Agung.
Gratifikasi Proyek Insfrastruktur
Kehebohan Sabtu pagi mulai mendapat jawaban saat Veronica Moniaga, juru bicara Gubernur Sulsel, muncul ke muka publik dan menjelaskan bahwa Prof NA tak ditangkap melalui OTT melainkan dijemput baik-baik oleh Tim KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas sejumlah kasus dugaan korupsi di Sulsel.
“Bapak Gubernur tidak melalui proses Operasi Tangkap Tangan, melainkan dijemput secara baik di Rumah Jabatan Gubernur pada dini hari ketika beliau sedang beristirahat bersama keluarga,” kata Vero.
Prof NA sendiri kepada para wartawan yang menunggunya di depan Gedung Merah Putih KPK di Jalan Kuningan Persada Jakarta Selatan hanya menjawab singkat.
“Saya tidur dijemput,” katanya sembari bergegas masuk gedung pada pukul 09.45 WIB.
Pembelaan bahwa penangkapan bukan OTT gugur begitu KPK pada Minggu dini hari menggelar jumpa pers dengan menampilkan Prof NA berompi oranye dan tangan diborgol bersama Edy Rahmat dan Agung Sucipto, karena ketiganya resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap atau gratifikasi proyek infrastruktur Sulsel.
Matahari Kembar Sulsel
Penangkapan Prof NA oleh KPK bagi sebagian masyarakat Sulsel dinilai hanyalah manuver politik yang dilakukan oleh para lawan politiknya.
Maklum saja, indikasi manuver politik memakzulkan Prof NA pernah terjadi melalui Hak Angket DPRD Sulsel yang digelar Juli-Agustus 2019 atau belum genap setahun Prof NA menjabat sejak dilantik Presiden Jokowi pada September 2018.
Pansus Hak Angket lahir setelah para politisi di DPRD Sulsel menilai telah terjadi dualisme kepemimpinan atau ada matahari kembar di Pemprov Sulsel ketika Wagub Andi Sudirman Sulaiman menandatangai SK pengangkatan 193 pejabat pemprov saat Gubernur Prof NA cuti umrah ke Tanah Suci.
Saat itu anggota dewan curiga bahwa Wagub Andi Sudirman yang tak lain adik kandung mantan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, memanfaatkan kesempatan cutinya gubernur untuk mengangkat 193 pejabat, karena sebenarnya wewenang mengangkat atau memberhentikan pejabat hanya berada di tangan gubernur.
Nuansa politis Hak Angket DPRD Sulsel semakin kental karena Ketua Pansus dijabat Kadir Halid, politisi Partai Golkar Sulsel yang tak lain adik kandung Nurdin Halid yang menjadi pesaing Prof NA pada Pilgub Sulsel 2018.
Apalagi kemudian dalam proses ‘investigasi’, Pansus Hak Angket tak hanya mengorek seputar SK pengangkatan pejabat oleh Wagub, tapi melebar menyoal berbagai kebijakan Prof NA yang dinilai sewenang-wenang, seperti pencopotan tiga pejabat Pemprov Sulsel, salah satunya Jumras dari posisi Kepala Biro Pembangunan.
Termasuk mengorek dugaan nepotisme karena Gubernur dan Wagub masing-masing membawa ASN dari Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Bone untuk menjabat posisi strategis di Pemprov Sulsel. Sebagai informasi, Kabupaten Bone merupakan tempat lahir Wagub Andi Sudirman Sulaiman.
Pengakuan Menghebohkan Jumras
Jumras yang dihadirkan di sidang Pansus Hak Angket bahkan membongkar tentang kontraktor Agung Sucipto --akrab disapa Anggu yang kini tersangka KPK bersama Prof NA-- datang kepadanya meminta agar diimenangkan dalam tender proyek Sulsel dengan penekanan dia dekat Prof NA.
“…saya sampaikan Anggu itu menunjuk (menyebut) Bapak (Prof NA) bahwa pada saat Pilkada Bapak dibantu Rp 10 miliar,” kata Jumras di persidangan Hak Angket.
Pada akhir sidang Pansus Hak Angket, Prof NA memang selamat dari pemakzulan, namun proses pansus yang begitu politis agaknya meninggalkan keyakinan bagi sebagian masyarakat Sulsel bahwa telah terjadi upaya mendongkel Prof NA.
Maka ketika kini Prof NA ditahan KPK, memori politis pendongkelan Prof NA menyeruak kembali di ruang publik. Muncul tanya di sebagian masyarakat Sulsel, apakah OTT KPK sejenis maneuver politis Pansus Hak Angket?
Kita tunggu saja proses hukumnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Apakah gubernur dengan segudang prestasi itu hanyalah korban politis berebut kekuasaan, atau dia memang menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri?(bhimo)
Beritanya menarik
Beritanya sangat bagus
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024