CARITAU SURABAYA – Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Jawa Timur (OJK Jatim) melaporkan masih ada 22 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang modal intinya di bawah Rp3 miliar, jauh di bawah ketentuan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar.
Kepala OJK Jatim Giri Tribroto mengatakan ketentuan modal inti minimum BPR/BPRS (BPR Syariah) hingga 2024 masih tetap sama yakni Rp6 miliar. Dari total 279 BPR yang ada di Jatim, ada 79 BPR yang modalnya hampir mencapai Rp6 miliar, jadi perlu tambah sedikit untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum.
“Namun ada 22 BPR yang tercatat modal intinya masih di bawah Rp3 miliar. Mereka inilah yang agak berat untuk memenuhi ketentuan tersebut,” kata Giri usai Evaluasi Kinerja BPR dan BPRS 2023 se-Jawa Timur bertema ‘Peningkatan Daya Saing BPR & BPRS Jawa Timur Melalui Digitalisasi dan Penguatan Human Capital’ di Gedung OJK Jatim, Surabaya pada Selasa (5/12).
Oleh karena itu lanjut Giri, OJK memberi dua opsi kepada BPR tersebut agar bisa memenuhi ketentuan modal inti minimum. Yang pertama mencari investor strategis untuk menjadi mitra BPR.
Yang kedua konsolidasi penggabungan usaha BPR dengan kepemilikan yang sama, atau memiliki kesamaan strategi bisnis.
“Ini yang menjadi perhatian OJK mendorong BPR untuk melakukan konsolidasi tahun ini guna secepatnya memperkuat permodalan,” katanya.
Meski demikian lanjut Giri, OJK memberi apresiasi terhadap kinerja perbankan, termasuk BPR/BPRS yang tetap mampu tumbuh dan terjaga dalam kondisi global yang masih tidak menentu.
Hal ini tercermin dari beberapa indikator antara lain kecukupan modal masih di atas threshold, likuiditas masih mencukupi, dan risiko kredit termitigasi dengan baik.
“Hal tersebut turut berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian Jawa Timur yang tercatat sebesar 4,86% dan merupakan kontributor terbesar ke-2 dalam perekonomian nasional di Triwulan III tahun 2023,” ujarnya.
Giri menilai berbagai tantangan akan dihadapi oleh industri BPR dan BPRS baik dari sisi struktural seperti penguatan permodalan yang belum memadai, optimalisasi penerapan tata kelola, keterbatasan pada infrastruktur teknologi informasi (TI) maupun kuantitas dan kualitas SDM serta keterbatasan daya saing karena pesatnya perkembangan TI yang mendorong perubahan perilaku dan ekspektasi masyarakat akan layanan perbankan, serta persaingan antar lembaga jasa keuangan yang semakin ketat.
“Untuk menjawab atas tantangan tersebut, industri BPR/S harus melakukan konsolidasi dan bertransformasi menjadi lebih kuat sesuai dengan ekspektasi kebutuhan masyarakat saat ini seperti layanan dan produk yang mudah, cepat, murah dan dapat dilakukan di mana saja,” kata Giri.
Karenanya, lanjut Giri, OJK telah merumuskan Roadmap pengembangan industri BPR dan BPRS tahun 2021-2025 (RPBPR-S 2021-2025) sebagai upaya untuk mengembangkan industri ini menuju ke arah yang lebih baik, sehingga tercipta industri yang agile (lincah-red) dan adaptif dalam menghadapi perubahan ekosistem ke depan. (HAP)
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...