CARITAU JAKARTA - Calon kepala daerah petahana atau incumbent yang melakukan mutasi jabatan aparatur sipil negara (ASN) menjelang Pilkada seharusnya bisa dibatalkan pencalonannya atau didiskualifikasi dan dikenai sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah.
Hal ini ditegaskan pengamat pemerintahan yang juga mantan Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan, dalam dialog publik yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (Fokad) dengan tema "Fenomena Kepala Daerah Incumbent Melakukan Mutasi Jabatan Menjelang Pilkada 2024: Telaah Terhadap Netralitas Birokrasi dan Implikasi pada Sistem Demokrasi", di Jakarta, Jumat (4/9/2024).
“Incumbent yang melakukan mutasi jabatan harusnya bisa dibatalkan pencalonannya, dan dikenai sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah. Ini sesuai dengan ketentuan Putusan MA Nomor 570 tahun 2016 tentang Pilkada. Orang itu telah menyalahgunakan wewenang,” ujarnya.
Pendapat senada disampaikan ahli Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, yang juga hadir sebagai pembicara. Menurutnya, ada ancaman yang sangat tegas kalau ada incumbent yang melakukan mutasi seperti ini, dia bisa dibatalkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.
Hamdan mencontohkan, pada Pilakda 2009 waktu dia menjadi Ketua MK, banyak temuan hasil pilkada yang akhirnya dibatalkan. Hal tersebut karena petahana memanfaatkan jabatannya, memanfaatkan birokrasi, serta memanfaatkan kebijakannya untuk memenangkan dirinya.
“Kekuatan incumbent memiliki ruang besar untuk memanfaatkan jabatan, memanfaatkan birokrasi, memanfaatkan kebijakan, seperti bansos. Pernah bupati memutasi lebih dari 10 camat. Camat datang ke MK dan protes. MK memutuskan ini membahakan demokrasi, merusak demokrasi dengan mamanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya,” kata Hamdan.
Sementara itu, aktivis Perludem yang juga dosen pemilu dari UI Titi anggaini menegaskan, pilkada adalah pemilu yang harus tunduk pada undang-undang serta patuh pada asas langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil), dan demokratis.
“Pilkada adalah pemilu. Tak ada pembedaan pilkada dan pemilu, karena itu, harus patuh pada asas luber jurdil, demokratis. Sehingga pemilu jadi bermakna, tidak sekadar simbolik, ritual, seremoni. Penyelenggaranya netral dan profesional, pemilihnya terdidik,” kata Titi.
Untuk itu, kata dia, birokrasi harus netral, dan boleh dipolitisasi, atau berpolitik praktis. Petahana, ujarnya, juga tak boleh melakukan penggantian atau mutasi jabatan ASN hingga masa akhir jabatannya.
Pengamat politik UI, Chusnul Mar’iyah, yang juga menjadi pembicara mengatakan, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, birokrasi tak pernah benar-benar netral. Di masa Orde Baru, ujarnya, Golkar juga selalu memanfaatkan birokrasi.
“Suap politik, korupsi, satgas pemenangan sampai tingkat polsek. Apakah birokrasi korban atau pemain? Golkar melalui Korpri, birokrasi selalu terlibat secara terpaksa atau sukarela,” ujar Chusnul.
Karena itu, untuk membereskannya, ia mengusulkan sistem pilkada diubah. “Saya tak setuju desentralisasi kabupaten/kota. Pilkada cukup di tingkat provinsi saja,” pungkasnya. (DID)
Cawagub 02 Fatmawati Dua Bulan Keliling 24 Kabupat...
Kampanye Akbar 02 Andalan Hati, Panglima Dozer: Su...
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...