CARITAU SURABAYA – Harapan mantan Direktur Utama (Dirut) RS Mata Undaan Surabaya dr Sudjarno SpM untuk lepas dari status bersalah yang disandangnya kandas, setelah upaya hukum yang diajukannya di tingkat kasasi ditolak hakim tunggal Mahkamah Agung Suhadi.
Putu Arya, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya, menginformasi penolakan tersebut tercantum dalam amar putusan nomor 1256 K/PID/2021 dan diputuskan oleh hakim tunggal Mahkamah Agung Suhadi, tertanggal 23 Desember 2021.
"Benar, putusannya menolak kasasi pemohon, yakni dr Sudjarno. Jadi sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya, dihukum pidana tiga bulan penjara dengan masa percobaan selama enam bulan," katanya saat dikonfirmasi Senin (14/2/2022) malam.
Putu menandaskan, pasal yang mendasari putusan Mahkamah Agung sama seperti di Pengadilan Negeri Surabaya, yaitu pasal 311, ayat 1, subsidair pasal 310, ayat 1 dan 2, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik.
Pada perkara ini, Sudjarno dilaporkan oleh dokter spesialis mata RS Mata Undaan Surabaya dr Lydia Nuradianti SpM, di mana saat menjabat sebagai Dirut RS Mata Undaan Surabaya, Sudjarno memecat Lydia dengan tuduhan melakukan malapraktik atau pelanggaran etika profesi sebagai dokter.
Namun tuduhan Sudjarno terhadap Lydia dinyatakan tidak terbukti, sesuai hasil persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya yang dikuatkan oleh putusan kasasi Mahkamah Agung.
Billy Handiwiyanto, kuasa hukum dr Lydia, mengapresiasi putusan Mahkamah Agung.
"Ini berarti apa yang diperjuangkan oleh klien kami benar adanya. Klien kami tidak melakukan malapraktik. Dokter Sudjarno saat menjabat Dirut RS Mata Undaan melakukan pemecatan secara sepihak," ujarnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diketuai Cokorda Gede Arthana menyatakan dr Sudjarno telah terbukti bersalah menghina dan mencemarkan nama baik anak buahnya, dr Lidya Nuradianti, melalui surat teguran yang dibuatnya.
Tak puas keputusan PN Surabaya, Sudjarno kemudian mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur, namun usahanya kandas setelah majelis hakim yang diketuai Guntur PJ Lelono memutuskan menguatkan putusan PN Surabaya.
Peristiwa bermula saat dr Sudjarno memberikan surat teguran kepada dr Lidya selaku anak buahnya di rumah sakit tersebut karena Lidya dianggapnya melanggar prosedur kerja dan etika profesi.
Teguran muncul setelah mata kiri seorang pasien Lidya dioperasi oleh perawat, meski sesuai aturan perawat tidak berwenangan mengoperasi. Dr Lidya lah yang seharusnya mengoperasi mata pasien.
Pasien kemudian mengajukan protes ke rumah sakit hingga meminta ganti rugi karena perbuatan yang dianggap sebagai malapraktik.
Dr Sudjarno dan pengelola rumah sakit sudah membayar ganti rugi Rp450 juta kepada pasien dan setelah itu mengirim surat teguran kepada Lidya dan perawatnya.
Lidya berkeberatan. Pertama, operasi dilakukan perawat tanpa sepengetahuannya. Kedua, dr Sudjarno sebagai direktur tidak berwenang menegurnya dengan tuduhan melanggar kode etik.
Kasus berlanjut. Sudjarno dan manajemen mengadakan rapat dengan pihak yayasan. Saat itu Sudjarno menunjukkan surat teguran kepada pengurus yayasan, di mana semestinya surat hanya ditujukan kepada Lidya.
Perbuatan terdakwa dianggap sebagai penghinaan yang menyerang kehormatan Lidya karena tidak mempunyai kewenangan menilai dokter melanggar etik atau tidak.
Dokter Lidya pun menjadi bahan pergunjingan di rumah sakit dan dia kemudian memilih melaporkan hal tersebut ke polisi. (HAP)
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...