CARITAU JAKARTA – Pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) bagi pekerja sempat ramai menuai polemik akibat terbitnya Permenaker Nomor 02 Tahun 2022 yang mengatur pencairan JHT baru diperbolehkan setelah pekerja berusia 56 tahun.
Penolakan dari berbagai elemen masyarakat dan buruh yang bergelombang membuat beleid tersebut dikembalikan ke aturan lama, pencairan JHT tak perlu lagi menunggu usia 56 tahun.
Baca Juga: Said Iqbal Dinilai Gagal, Jumhur Hidayat Diminta Pimpin Partai Buruh
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah akhirnya menyatakan bahwa aturan pencairan JHT mengacu pada aturan lama, yakni Permenaker Nomor 19 tahun 2015.
"Perlu saya sampaikan kembali bahwa permenaker lama saat ini masih berlaku dan masih menjadi dasar bagi teman-teman pekerja atau buruh untuk melakukan klaim JHT. Tidak terkecuali bagi yang ter-PHK maupun mengundurkan diri, tetap dapat klaim JHT sebelum usia pensiun," kata Menteri Ida Fauziyah dalam siaran persnya, Rabu (2/3/2022).
Menurut Menaker, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 kembali direvisi untuk memudahkan pekerja melakukan pencairan dana JHT.
"Kami sedang melakukan revisi Permenaker No.2 Tahun 2022. Insya Allah segera selesai," katanya.
Jaring Pengaman Buruh Ter-PHK
Keputusan Menaker itu membuat lega kalangan pekerja. Ketua Umum Persatuan Pekerja Muslim Indonesia ‘98 (PPMI ’98) Abdul Hakim mengatakan, memang sudah selayaknya aturan dikembalikan ke aturan lama karena mengkhususkan pekerja mengambil JHT di usia 56 tahun adalah hal yang keliru.
"Secara prinsip pemerintah saat menerbitkan Permenaker Nomor 02 Tahun 2022 belum mencabut Permenaker Nomor 19 tahun 2015. Ini kan kacau," Kata Hakim kepada Caritau.com, Rabu (2/2/2022).
Menurut Hakim, JHT selama ini merupakan jaring pengaman bagi pekerja yang ter-PHK untuk membantu menghidupi ekonomi keluarganya.
"Ini kan sebetulnya menjadi hal yang bisa jadi salah satu upaya untuk merecovery pekerja yang ter-PHK tersebut," kata Hakim.
Sebenarnya menurut Hakim, proses pencairan JHT yang mengharuskan pekerja harus menunjukan packlaring sebagai syarat juga menjadi bagian dari persoalan, karena pekerja yang ter-PHK namun proses PHK-nya belum selesai karena harus melakukan proses di Pengadilan Hubungan Industrial, tentu dia belum dapat menunjukan packlaring.
Belum lagi lamanya proses PHK yang sedang diajukan di PHI, sehingga pekerja kesulitan mencairkan JHT untuk membiayai ekonomi keluarganya.
"Sebagai contoh seorang pekerja di PHK, kemudian PHK-nya belum selesai sehingga masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial. Nah untuk menghidupi keluarganya itu bagaimana? Sedangkan JHT baru bisa dicairkan setelah sudah ada keputusan inckracht dari PHI. Jadi menurut saya itu juga bagian dari persoalan," ungkapnya.
Hakim juga mempertanyakan hal paling mendasar dalam Permenaker 02 tahun 2022, yakni uang JHT pekerja apakah ada atau tidak, sebab muncul kabar santer bahwa uang JHT sudah didaftarkan dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN).
"Pertanyaan kita adalah ketika kita menolak Permenaker nomor 02 tahun 2022, hal yang paling mendasar adalah uang JHT itu masih ada atau tidak? Padahal berdasarkan isu yang berkembang, uang JHT itu sudah dalam bentuk SUN. Ini kan ngeri, sementara hari ini sedang marak PHK di perusahaan-;perusahaan. Faktanya saat pandemi, harapan para pekerja yang ter-PHK terntu saja bisa mendapatkan uang JHT-nya," ucap Hakim.
JKP buat Buruh yang Mana?
Lalu bagaimana dengan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang sudah diberlakukan?
Menurut Hakim, JKP belum memenuhi unsur menjadi jaring pengaman untuk pekerja karena pekerja yang mendapatkan manfaat JKP adalah mereka yang statusnya karyawan tetap atau PKWTT. Sementara untuk pekerja PKWT atau pekerja dengan status kontrak yang ter-PHK tetap tidak dapat merasakan manfaat program JKP.
"Menurut saya syaratnya juga berat. Bagaimana JKP mau jadi jaring pengaman untuk pekerja, sedangkan JKP dibayarkan hanya dua kali dalam waktu enam bulan," ungkapnya.
Hakim menjelaskan, manfaat JKP yang pertama adalah pekerja mendapatkan 45% dari rata-rata upah buruh, sesuai upah minimum yang telah ditetapkan. Selanjutnya tiga bulan kemudian pekerja kembali mendapat 25%.
"Manfaat JKP pertama pekerja dapat 45%. Jika rata-rata upah buruh misalnya Rp 4-5 juta berarti pekerja hanya dapat Rp 2.400.000 di awal, tiga bulan kemudian pekerja hanya dapat 35% yakni sebesar Rp 1.250.000," paparnya.
Persoalan muncul ketika pekerja yang ter-PHK belum mendapat pekerjaan baru, bagaimana pekerja itu dapat bertahan hidup dengan manfaat JPK senilai itu dalam kurun enam bulan?
"Analoginya kalau si pekerja mempunyai dua orang anak yang masih bersekolah SMP dan SMA, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja dengan uang senilai itu tidak bakal mencukupi," tambahnya.
Hakim juga mempertanyakan nasib para pekerja PKWT atau kontrak yang di-PHK.
"Yang dapat JKP itu hanya mereka yang bekerja dengan status PKWTT atau karyawan tetap., Pertanyaannya bagaimana pekerja PKWT yang ter-PHK bisa merasakan JKP kalau aturanya seperti itu?" tanya Hakim.
Pada kondisi maraknya pekerja yang hanya dikontrak dalam sistem outsourcing, perjanjian kerja minimal tiga bulan dan maksimal satu tahun kontrak menjadi salah satu faktor sulitnya pekerja mendapatkan manfaat JKP.
"Perjanjian kerja outsourcing yang dilakukan oleh perusahaan itu minimal kontrak kerja tiga bulan dan maksimal satu tahun. Bagaimana jika kemudian dalam satu tahun kontrak itu dia diputus kerja? Apakah dia mendapat JKP? Tentu tidak," tandas Hakim.
Satu hal lain yang dicatat Hakim, Permenaker Nomor 02 tahun 2022 yang ditetapkan Kemenaker pada awal Februari itu tidak berdasarkan kajian yang benar dan minim partisipasi pekerja.
"Jujur saja kami serikat pekerja beranggapan bahwa Permenaker Nomor 02 tahun 2022 ini adalah Permenaker yang tidak berdasarkan kajian dan minim partisipatif pekerja," katanya.
Tak Hadiri Undangan Menaker
Hakim juga menyoroti statement Menaker Ida Fauziyah yang mengatakan akan membuka ruang untuk para serikat buruh dengan tujuan menyerap aspirasi para pekerja.
Memang belum lama ini, kata Hakim, serikat pekerja yang dipimpinnya mendapatkan undangan dari Kemenaker untuk serap aspirasi tentang revisi Permenaker Nomor 02 Tahun 2022.
Namun ia menolak memenuhi undangan dengan alasan pihaknya tidak mau mengulang kembali kebiasaan kementerian yang acap kali menjadikan daftar hadir sebagai justifikasi atau pembenaran secara sepihak untuk membuat keputusan.
"Kita memang dapat undangan dari Kemenaker untuk serap aspirasi. Tapi jujur saya sebagai Presidium Gekanss tidak hadir karena kita tidak mau mengulang lagi kelakuan-kelakuan kementerian menjadikan daftar hadir untuk justifikasi pembenaran secara sepihak. Ini yang sebetulnya kita tidak mau," tegas Hakim.
Sebagai contoh, undangan serap aspirasi RUU Omnibus Law di mana banyak buruh yang kecewa ketika daftar hadirnya dicantumkan sebagai alat bukti dari pemerintah bahwa sudah mengikutsertakan partisipasi dari serikat buruh.
Padahal keinginan pekerja menghadiri forum adalah ingin bersama-sama menggali dasar akar permasalahan untuk menetapkan sebuah kebijakan.
"Dalam proses penentuan kebijakan itu kita maunya duduk bareng dari awal, bukan kemudian hanya mengundang kita dengan diberi kesempatan bicara 2-3 menit saja. Bagaimana dapat menampung aspirasi kita?"ucap Hakim
Terkait revisi Permenaker Nomor 02 Tahun 2022 seperti disampaikan Menteri Ida Fauziah, secara prinsip pihaknya menginginkan revisi secara keseluruhan, terutama yang menyangkut aturan main atau persyaratan yang dinilai mempersulit pekerja.
"Menurut kami aturan-aturan main yang mempersulit itu harus direvisi agar mempermudah pekerja buruh yang ter-PHK untuk mendapatkan manfaat pencairan program JHT-nya," pungkas Hakim. (GIBS)
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...