CARITAU MAKASSAR – Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Untuk itu, Jumat (25/11/2022) ini, berbagai instansi pemerintah di Indonesia menggelar Upacara Peringatan Hari Guru Nasional.
Namun nyatanya, momentum Hari Guru tak lebih dari momentum seremoni semata. Nyatanya nasib guru honorer hingga sekarang masih menjerit.
Baca Juga: Peringatan Hari Guru Nasional di Aceh Barat
Bagaimana tidak? Nasib guru honorer hingga saat ini masih terbilang miris. Bayangkan saja para guru honorer hanya digaji hingga ratusan ribu saja tergantung dari banyaknya jam mengejar mereka.
Tak jarang, pengeluaran guru honorer lebih banyak dibanding dengan penghasilan mereka. Istilahnya bisa dikatakan gali lubang, tutup lubang.
Meskipun begitu, para guru honorer justru menjadikan pekerjaannya sebagai anugerah. Ya sebut saja pahlawan tanpa tanda jasa.
Mereka rela mengajar hingga puluhan kilo meter, demi masa depan pendidikan Indonesia lebih maju lagi.
Hijrah, salah satu guru honorer di salah satu sekolah SMP di Kota Makassar, rela menempuh jarak hingga 20 KM untuk mengajar anak didiknya di daerah pesisir pantai, Metro Tanjung Bunga.
Namun ia tak mempermasalahkan jarak tersebut. Malahan ia senang berbagi banyak hal terhadap muridnya dan mengabaikan fakta bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang kompleks, penuh persoalan.
Kini Hijrah sudah genap dua tahun bergelut dalam dunia pendidikan. Pada tahun pertama, ia diupah sebesar Rp10 ribu per jam.
Dalam sepekan, maksimal mengajar dibatasi hingga 24 jam. Pada tahun kedua, gajinya mengalami kenaikan jadi Rp11.000 per jam.
Gaji tersebut berasal dari dana BOS yang besarannya merujuk pada jumlah siswa. Nilainya sekitar Rp1 juta per siswa dan cair per 4 bulan.
Karena sekolah tempatnya mengajar tergolong sekolah kecil dan baru, Hijrah mengatakan dana BOS tersebut tak cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan sekolah.
Pasalnya, dana tersebut juga terbagi pada kegiatan lain, seperti membiayai siswa pada perayaan HUT Kota Makassar, Hari Kebudayaan, dan perayaan lain.
Di samping mendapatkan gaji kecil, waktu gajian pun kerap kali molor. Penderitaan semacam itu bukan lagi menjadi hal baru baginya.
"Saya hanya ambil 16 jam per Minggu. Jadi biasa 700 ribu per bulan. Jadi gali lubang tutup lubang," ungkapnya, Jumat (25/11/2022).
Gaji tersebut, sebagian ia pakai untuk kebutuhan transportasi sebesar Rp20 ribu per dua hari, totalnya Rp300.000 per bulan. Sisanya, kata dia, dipakai untuk makan dan keperluan lain. Gaji tersebut, kata Hijrah, jauh dari kata cukup.
Selain upah yang minim, guru honorer dan guru kontrak juga tak mendapatkan tunjangan seperti PNS karena tidak ada kebijakan khusus yang dibuat pemerintah untuk mengatur hal tersebut.
Hal itu berbeda dengan nasib Guru PPPK dan PNS sudah standar UMP.
Di sisi lain, ia kesulitan menjabarkan tuntutan tenaga pendidik yang harus terus berinovasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara, dana pendidikan sangat minim.
Belum lagi, sekolah tempat ia mengajar tak memiliki ruang pendingin. Hal itu membuyarkan fokus siswa saat proses pembelajaran berlangsung di kelas lantaran kegerahan. Hijrah menuturkan betapa sulitnya mendidik di tengah keterbatasan semacam itu.
Menurutnya, guru menjadi serba salah. Bila siswa tak memahami mata pelajaran maka persoalannya kembali pada guru.
Saat ini, ia mengatakan ada peralihan metode pembelajaran dari kurikulum 13 ke kurikulum merdeka. Kurikulum terbaru tersebut fokus pada peningkatan skill siswa.
"Selama menjadi guru saya tak bisa berfikir merdeka. Hal itu berbeda dengan kurikulum merdeka yang diajarkan kepada siswa," keluhnya. (KEK)
Baca Juga: Puncak Peringatan HUT PGRI dan HGN di Semarang
hari guru nasional pahlawan tanpa tanda jasa jeritan guru honorer
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...