CARITAU JAKARTA - Ada hal menarik saat debat Calon Wakil Presiden pada Jumat (22/12/2023) malam. Calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menanyakan terkait kebijakan dan regulasi perihal carbon capture and storage (CCS) kepada Calon Wakil Presiden Nomor urut 3, Mahfud MD.
Istilah tersebut kemudian ramai diperbincangkan di media sosial. Istilah Carbon Capture and Storage sendiri sebenarnya bukan hal yang baru, namun istilah tersebut juga tampaknya tak familier bagi banyak orang berdasarkan pantauan di sosial media.
Lantas, apa yang dimaksud dengan Carbon Capture and Storage (CCS)? Dilansir dari laman nationalgrid.com, CCS atau penangkapan dan penyimpanan karbon adalah salah satu cara mengurangi emisi karbon, yang dapat menjadi kunci untuk membantu mengatasi pemanasan global.
Secara sederhana CCS merupakan penangkapan emisi karbon dioksida (CO2) dari proses industri,atau dari pembakaran bahan bakar fosil dalam pembangkit listrik yang kemudian diangkut dari tempat produksinya, melalui kapal atau pipa, dan disimpan jauh di bawah tanah dalam formasi geologi. CCS juga menjadi salah satu satu teknologi yang kini sedang dikembangkan oleh berbagai negara di dunia
Sejarah CCS
Dirangkum dari laporan The IEA Greenhouse Gas R&D Programme IEAGHG, gagasan dasar dari teknologi CCS, yang mewacanakan penangkapan dan mencegah pelepasan CO2 ke atmosfer, pertama kali diajukan pada tahun 1977.
Teknologi penangkapan CO2 sendiri telah digunakan sejak tahun 1920-an untuk memisahkan CO2 yang terkadang terdapat di dalam cadangan gas alam, terutama dalam pemisahan gas metana yang dapat dijual. Pada awal tahun 1970-an, sejumlah CO2 ditangkap menggunakan metode ini dari fasilitas pemrosesan gas di Texas, Amerika Serikat.
CO2 yang tertangkap kemudian disalurkan ke ladang minyak terdekat dan disuntikkan untuk meningkatkan perolehan minyak. Proses ini, yang dikenal sebagai “Enhanced Oil Recovery” (EOR), telah terbukti sangat berhasil dan menghasilkan jutaan ton CO2. CO2 ini, baik yang berasal dari akumulasi alam di bebatuan bawah tanah maupun yang ditangkap dari fasilitas industri, kini secara rutin disalurkan dan disuntikkan ke ladang minyak di Amerika dan lokasi lainnya setiap tahunnya.
Laporan National Grid mencatat, saat ini, berdasarkan data per tahun 2022 total jumlah proyek CCS tersebar dalam 94 proyek yang berada di berbagai negara. Di antaranya, 80 proyek di Amerika Serikat, 73 di Eropa yang 27 di antaranya berada di Inggris, 21 di Asia-Pasifik, dan 6 di Timur Tengah.
Kapasitas penangkapan CO2 di seluruh fasilitas CCS yang sedang dikembangkan tumbuh menjadi 244 juta ton per tahun pada tahun 2022 dan mengalami peningkatan sebesar 44% sepanjang tahun. Setiap proyek CCS kini masih dikembangkan dan diawasi oleh Global CCS Institute.
CSS di Indonesia
Sementara itu, di Indonesia dilansir dari laman Indonesia Center of Excellence For CCS and CCUS, Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya Pada COP-21 di Paris tahun 2015 terkait emisi karbon. Presiden Republik Indonesia saat itu menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 29%, yang sebagian besar dicapai melalui reboisasi, dan komitmen tersebut dapat meningkat hingga 41% jika ada dukungan internasional.
Sejalan dengan komitmen tersebut, Pemerintah Indonesia memperkenalkan Visi Pasokan dan Permintaan Energi pada tahun 2025, yang mana 32 % konsumsi energi Indonesia pada tahun 2025 (sekitar 3,2 MMBOE) akan dipasok dari batu bara, 20% dari minyak, dan 20% minyak bumi. 23% dari gas dan 25% dari energi terbarukan.
Sebagai perbandingan, konsumsi energi Indonesia saat ini sekitar 1,2 MMBOE, dimana kontribusi terbesar berasal dari minyak (43%). Untuk mencapai visi tersebut, sangat penting bagi Indonesia untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan dan gas di masa depan.
CCS mendapatkan lebih banyak perhatian sebagai solusi pengurangan emisi CO2 yang terus meningkat. Di Indonesia, upaya pengendalian CO2 melalui CCS sejalan dengan komitmen nasional untuk mengurangi emisi CO2. Dalam Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim Indonesia yang disahkan melalui Keputusan Presiden No. 61 tahun 2011, Indonesia mengakui bahwa CCS dapat berkontribusi hingga 40% dari target pengurangan sektor energi. Namun, terlepas dari potensi ini, upaya untuk melakukan uji coba dan mendemonstrasikan teknologi CCS di Indonesia masih terbatas.
Salah satu tantangan besar dalam pengembangan lapangan gas baru di Indonesia adalah tingginya kandungan CO2 dalam gas alam. Setelah melakukan kajian analisis dampak lingkungan, beberapa ladang gas dapat dikembangkan dengan mengeluarkan CO2 yang dipisahkan.
Namun, perlakuan ini sepertinya tidak akan diterapkan lagi di masa depan karena masalah lingkungan, sehingga penerapan CCS dan CCS-EOR (enhanced oil recovery) harus dipercepat untuk mengembangkan lebih lanjut ladang gas di Indonesia. Misalnya Natuna D-Alpha yang merupakan ladang gas terbesar di Indonesia yang memiliki kandungan CO2 sekitar 72%.
Indonesia Targetkan Menjadi Hub CSS
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menegaskan strategi Indonesia untuk menjadi hub penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage atau CCS).
Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi menyebut Indonesia berdiri di garis depan era industri hijau dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 yang mencapai 400 hingga 600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer.
Potensi itu memungkinkan penyimpanan emisi CO2 nasional selama 322 hingga 482 tahun, dengan perkiraan puncak emisi 1,2 gigaton CO2-ekuivalen pada tahun 2030.
"Dalam upaya mencapai net zero emission pada 2060, Indonesia berambisi mengembangkan teknologi CCS dan membentuk hub CCS. Inisiatif ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik tetapi juga menggali kerja sama internasional," katanya, dikutip dari laporan Antara, Sabtu (23/12/2023).
Jodi menyebut hub CCS menjadi penanda era baru bagi Indonesia, di mana CCS diakui sebagai "license to invest" (izin untuk berinvestasi) untuk industri rendah karbon seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical.
"Pendekatan ini akan menjadi terobosan bagi perekonomian Indonesia, dengan membuka peluang industri baru dan menciptakan pasar global untuk produk-produk rendah karbon," ujarnya.
Kendati demikian, CCS memerlukan investasi besar. Sebagai bukti keseriusan, Pemerintah Indonesia telah meneken MoU dengan ExxonMobil yang mencakup investasi 15 miliar dolar AS dalam industri bebas emisi CO2.
Sebagai perbandingan, proyek CCS Quest di Kanada membutuhkan 1.35 miliar dolar AS untuk kapasitas 1.2 juta ton CO2 per tahun. Data ini menyoroti pentingnya alokasi penyimpanan CO2 internasional dalam memfasilitasi investasi awal yang besar untuk proyek CCS.
Menurut Jodi, sebagaimana negara-negara tetangga seperti Malaysia, Timor Leste, dan Australia, juga bersaing berupaya menjadi pusat CCS regional, maka penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan kesempatan ini sebagai pusat strategis dan geopolitik.
"Inisiatif ini diharapkan tidak hanya membantu Indonesia dalam mencapai tujuan lingkungan global, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inovatif," katanya lagi.
Sebagai pelopor di ASEAN dalam penerapan regulasi CCS, dan berperingkat pertama di Asia menurut Global CCS Institute, Indonesia telah membangun fondasi hukum yang kuat.
Regulasi ini termasuk Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang CCS di industri hulu migas, Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon, dan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang perdagangan karbon melalui IDXCarbon.
"Kita juga menuju penyelesaian Peraturan Presiden yang akan lebih memperkuat regulasi CCS," katanya lagi. (IRN)
debat cawapres Gibran Rakbuming Raka mahfud md CSS Carbon Capture Storage Pengertian CSS pilpres 2024 pemilu 2024
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...