CARITAU JAKARTA – Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global di 2023 ini mencapai 2.9% , atau melambat dibanding 2022 yang mencapai 3,4%.
Angka tersebut sudah menglamai kenaikan dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global awal di 2,7% menjadi 2,9% berkat pembukaan kembali perekonomian Tiongkok.
"Penyebaran COVID-19 yang cepat di Tiongkok menghambat pertumbuhan pada tahun 2022, tetapi pembukaan kembali baru-baru ini telah membuka jalan bagi pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan," ungkap Chief Economist and Director Research Department Pierre-Olivier Gourinchas dalam konferensi pers ‘World Economic Outlook Update’ secara daring, Selasa (31/1/2023).
Di sisi lain, inflasi global diperkirakan turun dari 8,8 % pada 2022 menjadi 6,6 % pada 2023 dan 4,3 % pada 2024, masih di atas tingkat sebelum pandemi yakni pada 2017–2019 di sekitar 3,5 %.
Pierre mengungkapkan kenaikan suku bunga bank sentral untuk melawan inflasi dan perang Rusia di Ukraina terus membebani aktivitas ekonomi.
Dari perkiraan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tersebut, keseimbangan risiko tetap mengarah ke risiko penurunan, meski telah termoderasi sejak proyeksi pada Oktober 2022.
Risiko penurunan yakni kemungkinan didorong oleh risiko kesehatan parah di Tiongkok yang dapat menghambat pemulihan, kemungkinan peningkatan perang Rusia di Ukraina, dan pembiayaan global yang lebih ketat bisa memperburuk kesulitan utang.
Selain itu, lanjut Pierre, pasar keuangan juga bisa tiba-tiba berubah sebagai tanggapan atas berita inflasi yang merugikan, sementara fragmentasi geopolitik lebih lanjut dapat menghambat kemajuan ekonomi.
Kendati begitu, terdapat kemungkinan kenaikan dari dorongan yang lebih kuat berkat permintaan yang terpendam di banyak negara atau penurunan inflasi yang lebih cepat.
"Di sebagian besar perekonomian, di tengah krisis biaya hidup, prioritas tetap mencapai disinflasi berkelanjutan. Dengan kondisi moneter yang lebih ketat dan pertumbuhan yang lebih rendah yang berpotensi mempengaruhi stabilitas keuangan dan utang, diperlukan perangkat makroprudensial dan memperkuat kerangka restrukturisasi utang," tuturnya.
Lebih lanjut, Pierre menilai mempercepat vaksinasi COVID-19 di Tiongkok akan melindungi pemulihan. Dukungan fiskal juga harus lebih baik ditargetkan pada mereka yang paling terkena dampak kenaikan harga pangan dan energi, sehingga langkah-langkah bantuan fiskal yang luas harus ditarik.
Kerja sama multilateral yang lebih kuat pun sangat penting untuk mempertahankan keuntungan dari sistem multilateral berbasis aturan dan untuk memitigasi perubahan iklim dengan membatasi emisi dan meningkatkan investasi hijau.(HAP)
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...