CARITAU QATAR – Sepak bola sebagai olahraga paling prestisius di muka bumi ini, tak luput dari campur tangan politik di dalamnya. Kondisi tersebut kerap menjadi bumbu-bumbu sejumlah pertandingan, termasuk di ajang Piala Dunia.
Teranyar, Piala Dunia 2022 bakal mempertemukan Iran melawan musuh bebuyutan diplomatik mereka, Amerika Serikat (AS). Pertandingan tersebut bakal dihelat di Al Thumama Stadium, Rabu (30/11/2022) mulai pukul 02.00 dini hari WIB.
Laga tersebut bakal berjalan panas, mengingat kedua tim saling membidik kemenangan untuk lolos ke fase selanjutnya.
Tak sampai di situ, kondisi geopolitik Iran dan Amerika Serikat yang telah ribut sejak bertahun-tahun silam, pastinya menjadi pertaruhan harga diri setiap pemain akan negaranya.
Iran-AS Pernah Dekat
Sebelum Revolusi Iran pecah, Iran di bawah kekuasaan monarki Shah Mohammad Reza Pahlevi mempunyai hubungan yang mesra dengan Amerika Serikat dan negara-negara jazirah Arab.
Negara Iran yang juga termasuk salah satu negara terbesar di Asia Barat daya, merupakan wilayah strategis Amerika Serikat untuk melakukan propoganda di Timur Tengah.
"Bahwa Iran adalah kekuatan kunci di Teluk Parsi amat penting. Maka dari itu, pasca PD II hubungan Amerika Serikat dengan Iran baik dan solid," kata Pengamat Geopolitik, Hendrajit.
Hal tersebut diperkuat oleh obsesi Mohammad Reza Pahlevi yang ingin menjadikan negaranya berkaca pada peradaban Eropa Barat.
Namun realita berbicara sebaliknya; Muhammad Reza Pahlevi yang dikenal sebagai sosok yang sekuler, disebut-sebut hanyalah boneka barat.
Di bawah komandonya, pemerintah Iran cukup brutal, korup dan boros. Kebijakan Shah yang kuat untuk melakukan westernisasi dan kedekatan dengan kekuatan barat, Amerika Serikat.
Selama berkuasa dua puluh lima tahun lamanya, Shah Pahlevi turut membungkam oposisi dengan kejam. Namun, dia tidak sadar telah membesarkan satu aliansi yang kelihatannya mustahil di panggung politik: Kaum Komunis yang dipelopori Partai Tudeh bekerjasama dengan Ulama.
Singkat cerita, munculah sosok Khomeini yang mulai dicintai masyarakat Iran. Apalagi, masyarakat Persia itu mulai geram dengan keserakahan pemerintah Shah Pahlevi, yang dinilai semakin jauh dari harapan masyarakat.
Puncaknya, pada tahun 1971 perayaan 2.500 tahun imperium Persia yang dirayakan besar-besaran di reruntuhan Persepolis. Seluruh kepala negara dunia diundang.
Pemerintah mendatangkan koki ternama dari Paris. Di tengah bencana kekeringan melanda provinsi Baluchistan, Sistan, dan Fars (tempat diselenggarakan acara). Total anggaran negara sebesar $200 juta habis hanya untuk memperlihatkan Shah sebagai pemimpin yang tajir.
Hal tersebut memunculkan kritikan keras publik. Khomeini yang berada di pengasingan, melihat permasalahan itu menjadi kesempatan emas. Khomeini pun menggandeng rekan dia, Ayatullah Taleqani, seorang ulama sayap kiri yang memiliki jaringan luas ke kelompok-kelompok gerilyawan komunis bawah tanah.
Puncaknya, pada 1977, tatkala bom minyak mencapai impasnya, inflasi melonjak drastis, pabrik-pabrik gulung tikar, dan angka pengangguran naik, seluruh upaya Khomeini yang tersebar melalui koran bawah tanah dan kaset mulai diterima sebagai kebenaran oleh massa-rakyat.
Hingga kemudian, Revolusi Iran pun pecah dalam dua peringkat. Peringkat pertama bermula pada pertengahan 1977 hingga tahun 1979 yang dipimpin oleh pihak liberal, golongan haluan kiri dan kumpulan agama. Kesemua mereka memberontak menentang Shah Iran. Peringkat kedua yang turut dikenali sebagai Revolusi Islam menyaksikan naiknya Ayatollah menjadi pemimpin revolusi.
Mulai Bertikai, Hingga Sekarang
Usai Khomeini bertahta menjadi pemimpin, Iran memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan dengan negara barat secara umum. Amerika, sebagai negara liberal, ingin menancapkan pengaruhnya di mana saja.
Sedangkan Iran, yang sudah berubah menjadi negara Islam, juga ingin mengambil sikap yang bebas dengan menerapkan kebijakan non-blok (tidak berpihak kepada satu negara/kubu).
Kebijakan tersebut, secara tidak langsung mengindikasikan Iran menebuh genderang perang dengan Negara Barat, termasuk dengan Amerika Serikat.
Kendati bersitegang, Iran dan Amerika tidak pernah terlibat konflik bersenjata secara langsung. Mereka hanya terlibat dalam pengaruh Perang Iran-Irak atau perang antara Amerika dan Irak, sebagai upaya perebutan hegemoni di Timur Tengah.
Selanjutnya, kedua negara pernah bersitegang ketika kapal perang Amerika terkena ranjau laut di Teluk Persia pada periode 1988 silam. Amerika membalas serangan itu dengan sebuah operasi bernama Praying Mantis dan juga penembakan terhadap Iran Air Flight 655 yang menewaskan 290 penumpang. Iran mengibarkan bendera gencatan senjata setelah itu.
Hubungan semakin memanas saat Iran diketahui sedang mengembangkan fasilitas nuklir termasuk pengayaan uranium pada 2000-an.
Meskipun Iran sudah mengembangkan nuklir sejak era Pahlevi, AS kini melihat aktivitas tersebut sebagai ancaman. PBB, AS dan Uni Eropa mulai menggencarkan sanksi untuk menekan aktivitas program nuklir Iran.
Puncaknya, hubungan kedua negara semain mendidih dan berada di ambang peperangan. Hal tersebut terjadi ketika pesawat pengintai tanpa awak canggih Global Hawk milik AS seharga 176 juta dolar ditembak jatuh di selat Hormuz yang memisahkan daratan Iran dan jazirah Arab pada 20 Juni 2019.
Amerika membalas serangan itu dengan sebuah serangan di bandara internasional Baghdad, Irak, yang menewaskan Jenderal Qasem Soleimani, komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran.
Iran membalas kematian Soleimani dengan menyerang pangkalan militer Amerika di Iraq. Serangan itu tidak menewaskan pasukan Amerika. Kendati demikian Presiden AS kala itu, Donald Trump mengatakan tidak akan membalas atas serangan tersebut.
Perdamaian dua negara terlihat semakin buram, apalagi Amerika Serikat berupaya untuk ikut campur dalam pergerakan massa dan kerusuhan di Iran, menyusul terenggutnya nyawa seorang aktivis perempuan Mahsa Amini.
Ikut Merambah ke Sepak Bola
Praktis, dari deretan sejarah yang memisahkan hubungan Iran dan Amerika Serikat, tak hanya berdampak pada dunia politik saja. Melainkan merambah ke ranah lainnya, termasuk sepak bola.
Baru-baru ini, jelang dihelatnya Iran vs Amerika Serikat di partai hidup mati Piala Dunia 2022, Eks Pelatih Amerika Serikat berkebangsaan Jerman, Jurgen Klinsmaan berkomentar sangat pedas kepada Pelatih Iran, Carlos Queiroz.
Menurut Juergen Klinsmann, Iran melakukan permainan sistematis untuk mengalahkan Wales. Entah apa maksudnya, tapi kemungkinan besar terkait taktif ultradefensif dan pelanggaran kepada pemain lawan.
"Itulah budaya mereka dan itulah cara mereka melakukannya. Itulah mengapa Carlos Queiroz sangat cocok di tim nasional Iran. Ini bukan kebetulan. Ini sengaja. Ini hanya bagian dari budaya mereka. Begitulah cara mereka memainkannya (sepakbola negatif)," sebut Juegen Klinsmann kepada BBC Sport.
"Ini adalah budaya mereka. Mereka akan membuat Anda kehilangan fokus dan membuat Anda kehilangan konsentrasi," tambah dia.
Mendengar penyataan Klinsmann, Carlos Quieroz marah besar. Pelatih berkebangsaan Portugal itu menegaskan tidak ada seorang pun yang bisa merusak integritasnya sebagai pelatih.
"Tidak peduli seberapa besar saya bisa menghormati apa yang Anda lakukan di dalam lapangan, komentar tentang budaya Iran, tim nasional Iran, dan para pemain saya adalah aib bagi sepak bola," jelas Carlos Queiroz.
Selanjutnya, bumbu-bumbu pertandingan ini bermuatan politis setelah Federasi Sepak Bola Iran mengingatkan FIFA untuk berani menegur Amerika Serikat (AS) yang kedapatan menghapus simbol Islam di bendera mereka yang diunggah melalui media sosial.
Dilansir dari The Guardian, Iran menuntut lawan mereka menerima larangan 10 pertandingan karena "menyinggung martabat" negara mereka. Meskipun, AS telah mengembalikan visual bendera Iran secara sempurna
"Tindakan tidak profesional, halaman Instagram federasi sepak bola AS menghapus simbol Allah dari bendera Iran. Federasi sepak bola Iran mengirim email ke FIFA untuk menuntut agar mengeluarkan peringatan serius kepada federasi AS," tulis laporan dari kantor berita negara, IRNA pada Minggu (27/11/2022).
Bahkan, menurut jurnalis Sky Sports, Tim Thornton, konferensi pers jelang pertandingan juga sudah terasa aneh.
"Itu adalah konferensi pers yang sangat aneh dalam banyak hal. Ada arus bawah politik yang pasti selama ini. Banyak hal terjadi di ruangan itu, banyak orang mengambil video, bukan hanya dari protagonis utama tetapi dari wartawan di sekitar ruangan, foto-foto demikian juga," tulis Sky Sports.
Dia menceritakan bahwa banyak pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan dunia sepakbola.
"Gregg Berhalter, pelatih AS, ditanya tentang itu dan dia mengatakan itu tidak ada hubungannya dengan dia atau para pemain. Mereka tidak menyadari Federasi Sepak Bola AS telah melakukan itu dan bahwa mereka mendukung penuh Iran dan orang-orangnya tetapi baginya fokusnya sangat banyak pada sepak bola," katanya.
“Kemudian ada pertanyaan kepada kapten AS Tyler Adams, itu datang dari seorang jurnalis Iran, dan dia bertanya tentang bermain untuk negara di mana dia mengatakan ada rasisme. Dia berbicara tentang Black Lives Matter juga," terang Thornton.
Kondisi ini cukup mengkhawatirkan dan berpotensi mencederai olahraga terwahid di dunia itu. Pasalnya, FIFA punya kampanye yang bertajuk, “Kick Politic Out of Football”. Pasal 4 ayat 5 Law of the Games 2021/2022 yang dirilis IFAB juga mengatur soal pelarangan berbagai atribut politik, pandangan politik atau agama di dalam sepak bola.
Namun, tampaknya aturan tersebut begitu bias dan klise. Serta menegaskan, bahwa memisahkan politik dari sepakbola adalah omong kosong.
Prediksi Iran vs Amerika Serikat
Lantas, kita sampingkan sejenak hubungan panas diplomatik Iran vs Amerika Serikat. Pasalnya, kedua tim bakal saling bentrok di pertandingan lanjutan Piala Dunia 2022 Qatar.
Selaku pengamat sepak bola, Ronny Pangemanan atau akrab disapa Bung Ropan menyebut kedua tim akan menyajikan strategi berbeda pada laga hidup mati di Grup B ini.
Di mana satu-satunya jalan bagi Amerika Serikat untuk lolos ke babak 16 besar, sebut Ropan, adalah kemenangan melawan Iran.
"Pertandingan ini sangat penting bagi kedua tim. Amerika Serikat yang masih mengantongi dua poin, wajib menang melawan Iran. Sedangkan Iran tentu ingin hal serupa, meskipun bisa lolos dengan hasil imbang dan mengharapkan Inggris menang melawan Wales," tandasnya.
Bung Ropan juga menjelaskan, bahwa Cristian Pulisic dan kawan-kawan bakal tampil menyerang, sementara Iran akan menerapkan strategi bertahan dan mencoba melancarkan serangan balik.
"Amerika tentu berani bermain terbuka karena tekad mereka gini 'Kalau tidak menang, kalah sekalian' Jadi mereka memilih harus tampil menyerang dan mencetak gol sebanyak-banyak terlepas dari kebobolan atau tidaknya mereka," papar dia.
"Sedangkan Iran berpotensi bermain antitesis dari strategi Amerika, yakni memperlambat tempo terutama di akhir-akhir pertandingan," lanjutnya.
Ditanya soal kondisi geopolitik berpengaruh pada pertandingan, Ropan menyebut Iran vs Amerika Serikat berpotensi bakal berjalan sengit dan keras. Hujan kartu diprediksi terjadi di laga tersebut.
"Karena kedua-keduanya saat ini menjual prestise, atau mempertahankan gengsi negara. Amerika harus menang dan jika imbang maka mereka selesai. Iran juga harus menang, karena cukup berisiko jika mengharapkan hasil imbang," terang Ropan.
"Untuk itu, saya memprediksi sekiranya pertandingan dimenangi Amerika Serikat dengan skor tipis. 1-0 atau 2-1 lah," imbuhnya.
Sementara itu, Hendrajit memberi pandangan pada kondisi hubungan, maupun geografis kedua negara juga berdampak pada jalannya laga.
"Melihat Iran yang selama ini dipandang sebagai pewaris dan penerus peradaban parsi yang pernah mengalahkan Imperium Romawi. Sekiranya bakal menjadi bahan bakar berkobarnya semangat kesebelasan iran. Terlepas apapun hasilnya nanti," terang Hendrajit.
"Selain itu, USA yang selalu mengagungkan dirinya sebagai Pax Americana, penerus Pax Romana, pastinya akan mewarnai pertandingan dua negara yg hubungannya lagi nggak baik baik saja," tambah dia.
Dia berharap, Iran bisa meneruskan torehan positif negara Asia, sekaligus pelopor kemajuan pesepakbola benua terluas di dunia itu. Seperti yang diketahui, kiprah negara-negara Asia selama ini masih dipandang sebelah mata, karena kalah bersaing dari sepakbola Eropa, maupun Amerika Selatan.
"Kalau dikaitkan dengan kemenangan Jepang dan Arab Saudi, hal ini menjadi inspirasi bangkitnya negara-negara berkembang. Iran pun demikian saat ini," papar dia.
"Indonesia harusnya tergugah, bahwa negara-negara Asia mulai bangkit dari keterpurukan,"
"Bangkitnya persepakbolaan Arab Saudi, Jepang, Iran, bukan semata kecakapan. Tapi juga dibentuk kondisi batinnya sebagai bangsa," tutup dia. (RMA)
duel iran vs amerika serikat di piala dunia 2022: tensi tinggi hubungan diplomatik merembet ke lapangan hijau prediksi iran vs amerika serikat
Pj Teguh Instruksikan Perangkat Daerah Bersinergi...
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...