CARITAU BEIJING - China baru-baru ini mengeluarkan hasil laporan tentang hegemoni Amerika Serikat dan bahayanya di bidang politik, militer, ekonomi, keuangan, teknologi dan budaya dunia, Senin (20/2/2023) lalu.
Laporan tersebut diterbitkan karena AS telah meningkatkan persaingan kekuatan besar di seluruh dunia, serta gayanya mencari hegemoni telah diubah dari "baik hati" menjadi agresif, memaksa semakin banyak negara dan wilayah untuk memihak —kata pengamat China— memperingatkan bahwa upaya AS untuk menekan dan menahan China hanya akan meningkat dalam waktu dekat.
Baca Juga: Tahun 2023 Tensi Geopolitik Semakin Memanas, Dunia Kian Terpolarisasi
"Sejak menjadi negara paling kuat di dunia setelah dua perang dunia dan Perang Dingin, AS telah bertindak lebih berani untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain, dan untuk mengejar, mempertahankan, dan menyalahgunakan hegemoninya, memajukan subversi dan infiltrasi, dan dengan sengaja mengobarkan perang, membawa kerugian bagi masyarakat internasional," bunyi laporan tersebut, sebagaimana ditulis The Global Times, Rabu (22/2/2023).
Tak hanya itu, AS disebut telah mengembangkan buku pedoman hegemonik untuk menggelar "revolusi warna", memicu perselisihan regional, dan bahkan secara langsung melancarkan perang dengan kedok mempromosikan demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia. Berpegang teguh pada mentalitas Perang Dingin, AS telah menggenjot politik blok dan memicu konflik dan konfrontasi. Ini telah melampaui konsep keamanan nasional, menyalahgunakan kontrol ekspor dan memaksakan sanksi sepihak kepada pihak lain.
Lalu, negara Pamam Sam itu dinilai telah mengambil pendekatan selektif terhadap hukum dan aturan internasional, memanfaatkan atau membuangnya sesuai keinginannya, dan telah berusaha untuk memaksakan aturan yang melayani kepentingannya sendiri atas nama menegakkan "tatanan internasional berbasis aturan."
Laporan tersebut mencantumkan contoh campur tangan AS dalam urusan internal negara lain. Misalnya, atas nama "mempromosikan demokrasi", negara itu mempraktekkan "Doktrin Neo-Monroe" di Amerika Latin, memicu "revolusi warna" di Eurasia, dan mengatur "musim semi Arab" di Asia Barat dan Afrika Utara, membawa kekacauan. dan bencana ke banyak negara.
Selama beberapa tahun terakhir, AS juga berusaha mendorong dan mendukung "revolusi warna" di Hong Kong Special Administrative Region (HKSAR) China. Legislator Nixie Lam, dari Aliansi Demokratik untuk Perbaikan dan Kemajuan SAR Hong Kong, mengatakan kepada Global Times pada hari Senin bahwa di masa lalu, AS berkali-kali mengulurkan tangannya ke China Hong Kong.
Mengutip Daftar Fakta AS Campuri Urusan Hong Kong dan Mendukung Kekacauan Anti-China di Hong Kong yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri China pada September 2021, Lam mengatakan China telah memperingatkan politisi AS dan agen mereka yang mencampuri urusan Hong Kong bahwa pemerintah dan rakyat Tiongkok bertekad untuk menjaga kemakmuran dan stabilitas Hong Kong, dan bahwa setiap intervensi dari luar pasti akan sia-sia.
Laporan itu juga menunjukkan bahwa pengawasan AS tidak pandang bulu. Semua bisa menjadi sasaran pengawasannya, baik itu rival atau sekutu, atau bahkan pemimpin negara sekutu seperti mantan kanselir Jerman Angela Merkel dan beberapa presiden Prancis.
Pengawasan dunia maya dan serangan yang diluncurkan oleh AS seperti "Prism", "Dirtbox", "Irritant Horn", dan "Telescreen Operation" adalah bukti bahwa AS memantau sekutu dan mitranya dengan cermat. Menguping sekutu dan mitra seperti itu telah menyebabkan kemarahan dunia.
Namun, AS selalu mencoreng negara lain dengan menyebarkan desas-desus fiktif tentang "insiden pengawasan".
Misalnya, Dewan Perwakilan AS memilih untuk mengeluarkan resolusi yang mengutuk "penggunaan balon pengintai yang dicurigai oleh China" yang ditembak jatuh oleh jet AS baru-baru ini, CNN melaporkan pada 9 Februari. China telah menyatakan bahwa pesawat sipil tak berawak China tersesat ke AS wilayah udara benar-benar tidak disengaja karena force majeure, dan tidak menimbulkan ancaman apa pun bagi personel atau keselamatan AS.
Laporan tersebut menuding, AS telah mengarang alasan untuk menekan perusahaan teknologi tinggi China dengan daya saing global, daya saing, dan telah memasukkan lebih dari 1.000 perusahaan China ke dalam daftar sanksi. Kemudia, praktik hegemonik AS yang sepihak, egois, dan regresif telah menuai kritik dan penentangan yang semakin meningkat dari komunitas internasional.
"China menentang segala bentuk hegemonisme dan politik kekuasaan, dan menolak campur tangan dalam urusan internal negara lain. AS harus secara kritis memeriksa apa yang telah dilakukannya, melepaskan arogansi dan prasangkanya, dan menghentikan praktik hegemonik, dominasi, dan intimidasinya," demikian kesimpulan laporan tersebut. (RMA)
china-amerika serikat negara pengganggu dunia geopolitik dunia
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024