CARITAU JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dimana diperbolehkannya korban melakukan aborsi, menjadi perhatian serius cevitas pendidikan di Sekolah Kristen Calvin di Kelurahan Sunter Jaya.
Melalui seminar publik bertajuk ‘Aborsi Dalam Perspektif Al Kitab, Etika dan Medis’ yang digelar di ruang auditorium Sekolah Kristen Calvin mengkampanyekan bahaya aborsi bagi kesehatan fisik maupun mental bagi sang ibu.
Kampanye ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan terhadap legalnya praktik aborsi untuk korban pemerkosaan. Seminar sendiri diikuti oleh 500 orang yang terdiri dari para siswa SMP dan SMA, orang tua siswa, civitas akedemik sekolah dan masyarakat umum ini kian menarik karena menghadirkan Dokter Peneliti dari Universitas Oxford Dr. Calum Miller sebagai narasumber.
Koordinator Sekolah Kristen Calvin Pdt Ivan Kristiano mengatakan, tema ini diangkat sebagai upaya edukasi masyarakat terutama para siswa dan siswi tentang bahaya aborsi bagi kesehatan ibu. Praktik ini juga dianggap tidak sesuai dengan norma agama, karena menghilangkan nyawa bayi yang memiliki hak untuk hidup di dunia.
“Topik ini dijadikan tema seminar karena kita semua tahu, pro dan kontra bahwa ada UU yah legal untuk aborsi pada korban pemerkosaan,” ujar Pdt Ivan di lokasi pada Selasa (13/8/2024).
Menurutnya, kampanye ini bukan berarti pihak sekolah tidak peduli terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual atau pemerkosaan. Lewat seminar ini, Sekolah Kristen yang didirikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong ini ingin menyampaikan pesan kepedulian mengenai pentingnya menyelamatkan seorang bayi yang berada di dalam kandungan.
“Jalan keluarnya bukan aborsi, dan itu (kalau dibiarkan) bisa membuat aturan ini semakin longgar sehingga lama-lama tidak ada remnya sama sekali (terkontrol), karena progresnya itu berjalan pelan sehingga semakin loss (tidak terkendali),” katanya.
Selain itu, kata dia, kegiatan ini merupakan bagian dari pendidikan seks atau sex education yang ada di sekolah. Selama ini, pihak sekolah memang memberikan pendidikan tersebut, agar para pelajar bisa memahami tentang reproduksi manusia, sekaligus meningkatkan rasa menghargai antarsesama.
“Kalau di SD kan diperkenalkan mengenai tubuh manusia, bagaimana menghormati tubuh, tidak membiarkan orang lain menyentuh sembarangan daripada tubuh kita. Lalu memperkenalkan seksualitas laki-laki dan perempuan, saling menghormati gender nah itu bagian dari sex education,” jelasnya.
Sementara itu Dokter Peneliti dari Universitas Oxford Dr. Calum Miller tidak memungkiri banyak stigma di masyarakat bahwa aborsi merupakan salah satu solusi dari korban pemerkosaan. Namun berdasarkan penelitian yang ada, lanjut dia, mayoritas orang yang menjadi korban pemerkosaan justru tetap melanjutkan kehamilannya sampai bayinya lahir.
“Sering kali orang-orang yang melakukan pemerkosaan menginginkan wanitanya melakukan aborsi demi menutupi pelanggaran mereka,” ucap Miller.
Di negara asalnya Inggris, Miller bercerita bahwa pelaku pemerkosaan itu bisa ditangkap dengan melakukan tes DNA antara terduga pelaku dengan si bayi yang baru dilahirkan. Jika dilakukan aborsi maka pelakunya bisa bebas dan tidak harus bertanggung jawab.
“Tidak banyak penelitian tentang kesehatan mental terkait situasi ini, tapi ada penelitian yang menunjukkan bahwa wanita yang melakukan aborsi setelah pemerkosaan malah menyesali tindakannya,” tutur dia.
Miller mengatakan, penelitian yang ada menyebutkan bahwa stigma dari lingkungan sosial lebih membuat kaum perempuan tersiksa dibanding kejahatan seksual tersebut. Kata dia, stigma bukan diselesaikan dengan cara aborsi tapi dengan menyelesaikan persoalan yang dihadapi korban itu di mata hukum.
“Kita harus menyelesaikan akar dari masalah ini dengan mencegah adanya pemerkosaan, dan membuat orang yang memperkosa untuk bertanggung jawab di mata hukum. Termasuk memberikan perempuan tersebut dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi trauma yang ada, bukan dengan menghilangkan nyawa dari bayinya,” ucapnya.
Meski tidak dibenarkan untuk melakukan aborsi, lanjut dia, tapi ada kondisi tertentu bahwa praktik ini memang dianjurkan. Misalnya nyawa si ibu yang mengandung bayi akan terancam keselamatannya setelah dicek melalui pemeriksaan medis.
“Kita tidak boleh punya maksud untuk mengakhiri nyawa seorang anak (bayi) tapi ketika nyawa ibunya dalam bahaya, sebagai penanganan terakhir seharusnya kita bisa melihat untuk memisahkan ibu dan anaknya. Dan sangat sedih sekali terkadang anaknya meninggal dari pemisahan ini,” jelasnya.
“Tapi di banyak kondisi sreperti ini, jika ibunya meninggal maka anaknya juga meningal karena ibunya adalah penunjang kehidupan si bayi. Jadi tidak ada jalan untuk menyelamatkan bayinya,” sambugn dia.
Miller juga mengamini, bahwa praktik aborsi bisa memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental maupun fisik bagi sang ibu. Banyak perempuan yang nekat melakukan aborsi, namun belakangan mengalami penyesalan dan ketidaktenangan setelah tega membunuh janin yang ada di dalam kandungannya.
“Aborsi memberikan masalah psikologi, bisa menimbukan masalah kecemasan dan akhirnya bunuh diri. Bahkan banyak yang jatuh ke lingkaran penyalahgunaan narkoba atau mengonsumsi minuman keras dengan tidak bertanggung jawab,” kata Miller.
Menurutnya, aborsi juga memberikan konsekuensi negatif lainnya untuk tubuh, di mana kaum perempuan bisa mengakibatkan pendarahan hebat yang berujung pada infeksi. Masalah infeksi inilah, kata dia, bisa menyebabkan perempuan di masa mendatang kesulitan memiliki keturunan di kemudian hari.
“Banyak kaum perempuan yang melakukan aborsi pada kandungan pertama, lalu tidak bisa memiliki anak berikutnya, sehingga menimbulkan rasa sakit yang begitu besar bagi kehidupan perempuan itu,” ucap Miller.
Selain itu, aborsi juga bisa memicu kelahiran bayi prematur bagi kehamilan berikutnya. Bahkan, aborsi juga bisa mengancam kesehatan dan keselamatan bagi anak yang mengalami prematur.
“Aborsi juga bisa memecah belah (hubungan) keluarga, padahal keluarga merupakan hal yang penting. Keluarga adalah pelindung dan bisa memberikan rasa aman terakhir bagi kita,” ucapnya.
“Ketika tidak ada uang, tidak ada tempat tinggal, tidak ada makanan maka keluarga menjadi tempat di mana kita bisa meminta pertolongan itu,” lanjutnya. (DID)
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...