CARITAU JAKARTA – Penyalin Cahaya benar-benar berkilau pada perhelatan Festival Film Indonesia 2021 dengan 12 piala atau terbanyak, di antaranya ‘Film Cerita Panjang Terbaik’, ‘Sutradara Terbaik’, ‘Pemeran Utama Pria Terbaik’, ‘Pemeran Pendukung Pria Terbaik’ dan ‘Penulis Skenario Asli Terbaik’.
Bicara soal ajang penghargaan bagi insan film Indonesia itu, rasanya tak afdol jika tak membahas juri yang terlibat dalam menentukan pemenang. Tercatat ada 28 juri yang terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu juri akhir film cerita panjang, juri akhir film non-cerita panjang, serta kritik film.
Para Dewan Juri tersebut merupakan perwakilan ekosistem perfilman Indonesia, di mana Komite FFI 2021 memilih anggota Dewan Juri Akhir yang berasal dari berbagai latar berlakang profesi yang berdasarkan rekomendasi dari asosiasi.
Dewan Juri Akhir inilah yang menentukan pemenang dari 23 kategori penghargaan yang ada di FFI 2021. Pada juri dibagi dalam lima nominasi yaitu, 15 juri film cerita panjang, 3 juri film cerita pendek, 4 juri film animasi panjang dan animasi pendek, 3 juri film dokumenter dan 3 juri untuk kategori kritik film.
Salah satu nama yang terlibat menjadi dewan juri tak lain Ernest Prakasa, sutradara film ‘Cek Toko Sebelah’ yang terpilih menjadi juri penilai kategori film cerita panjang (FCP).
Selain Ernest, nama lain yang muncul menjadi juri FCP yakni Joko Anwar, Wina Armada, Tommy F Awuy, Sheila Timothy, Rukman Rossadi, Rayya Makarim, Putut Widjanarko, Niniek L Karim, Karsono Hadi, Hikmat Darmawan, Faozan Rizal, Arturo GP, Allan Sebastian dan Aghi Narottama.
Mendapatkan kesempatan emas menilai film terbaik karya anak bangsa, rupanya merupakan capaian yang membanggakan buat Ernest. Maklum, baru pada FFI tahun inilah kali pertama pria 38 tahun ini dipercaya menjadi juri. Jika sebelumnya karyanya yang selalu dinilai, kali ini Ernest menjadi penilai yang ikut menentukan siapa pemenang.
“Aku merasa terhormat, apalagi belum pernah mengalami. Dulu banget sih pernah jadi juri, tapi sistemnya masih pure voting. Nah kalau sekarang sistemnya diskusi. Formatnya berbeda. Aku ketika pertama kali dihubungi langsung tertarik,” kata Ernest saat dihubungi CARITAU.COM pada Selasa (16/11/2021).
Menurut Ernest, menjadi juri merupakan salah satu kontribusi yang bisa dia berikan bagi perfilman Indonesia, apalagi dia menyadari dirinya berutang budi terhadap perfilman Indonesia yang sudah banyak memberinya ilmu dan pengalaman.
Selain itu, Ernest memang ingin terlibat menjadi juri karena tahun ini tidak merilis film. Sebagai insan film, Ernest tentu menyadari jika tahun ini filmnya masuk nominasi dan dia menjadi juri, bakal banyak konflik kepentingan akan muncul.
“Aku enggak ada motivasi lain. Cuma dua itu," beber Ernest.
Setelah mengiyakan tawaran menjadi juri, pada awal November, Ernest mulai menjalani tugasnya sebagai juri. Dia ditugaskan menonton dan mencermati 15 film nominasi FCP.
Setiap harinya Ernest menonton dua sampai tiga film yang dimulai dari pagi hingga sore dan aktivitas ini berlangsung dua hari. Di hari ketiga, semua juri diimbau libur guna menyegarkan pikiran. Dan keesok harinya mengulang hal yang sama menonton film lainnya yang masuk dalam nominasi.
“Pas hari libur itu kita sesama juri berdikusi dan berdebat mengenai setiap film yang sudah ditonton. Masing-masing orang punya argmentasi yang menarik. Itulah enaknya, ada dinamika,” ujar Ernest.
Ernest juga mengapresiasi kinerja panitia yang sudah menjalani tugasnya dengan baik. Menurut pria yang mulai dikenal publik sebagai komunika ini, proses penjurian berjalan dengan baik dan tanpa ada kendala yang berarti.
“Saya apresiasi betul kerja komite yang sudah menjalankan tugasnya dengan rapi dan baik sehingga tidak ada kendala yang berarti,” imbuhnya.
Bukan Obyektif Tapi Fair
Kemenangan Penyalin Cahaya sebagai FCP Terbaik di ajang Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 sepertinya memang bukan hal mengejutkan.
Sejak awal film besutan sutradara Wregas Bhanuteja tersebut memimpin dalam perolehan piala di ajang bergengsi bagi insan perfilman.
Meski demikian, menurut Ernest, penilaian pemenang sudah dilaksanakan dengan fair. Ernest memilih tak menggunakan istilah obyektif dalam proses pemilihan juara karena setiap juri datang dengan perspketif masing-masing,
“Sebenarnya enggak akan mungkin obyektif, semuanya pasti subjektif. Kita punya selera dan sudut pandang masing-masing. Yang terpenting itu bukan obyektif, tapi fair dalam artian kita tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak mesti dipertimbangkan,” jelas Ernest.
Ernest memberi contoh, misal ada dua kandidat nama sutradara yang diperdebatkan untuk menjadi pemenang, kemudian satu nama pernah menang di tahun-tahun sebelumnya sehingga nama baru yang dimenangkan.
“Itu baru enggak fair. Itu enggak berhubungan dengan karya yang dijurikan,” tambah Ernest.
Meski pengalaman menjadi juri FFI merupakan pengalaman baru, Ernest memastikan proses menjadi juri tak akan mempengaruhii gayanya dalam membuat film.
Menurut Ernest, dia membuat film sesuai dengan idealismenya sebagai seniman, selain pertimbangan filmnya akan dinikmati penonton yang merupakan pondasi membuat film.
“Kalau saya mikirnya kayak seperti yang juri inginkan, berarti saya berkarya demi penghargaan dong. Apa yang di ruang penjurian, biarlah jadi cerita sendiri. Proses saya jadi juri tidak mengubah cara saya dalam membuat film kok. Yang penting saya lakukan yang terbaik untuk membuat penonton senang,” pungkas Ernest. (rio)
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024