CARITAU LONDON – Fotografer fesyen Indonesia Farid Renais Ghimas (22) tiba-tiba saja diulas beberapa media asing. Mereka serempak mengapresiasi karya-karya foto Farid yang ditampilkan pada ajang pameran fotografi Fashion Communication Exhibition (FCE) yang digelar oleh MA Fashion Communication di Galeri Lethaby London pada 29 November hingga 4 Desember 2022.
‘Five future fashion image-makers you really need to follow’ begitu judul yang dimuat Dazed yang mengulas FCE yang diikuti 42 fotografer dari 17 negara dan di dalamnya muncul ulasan tentang karya Farid. Termasuk majalah AnOther yang mengambil tajuk ‘Five Fashion Photography Students to Put On Your Radar’.
Farid yang kelahiran Bengkulu itu memang tidak sendiri, ada empat nama lainnya yang disebut masuk ‘radar’, yakni Kayla Connors (Swiss), Coco Wu (China), Raadjadharshini (India), serta Scott Bowlby (Kanada).
Pada pameran foto yang semua pesertanya merupakan mahasiswa pascasarjana MA Fashion Communicatioin di Central Saint Martins (CSM), University of the Arts London itu, Farid menampilkan karya-karyanya yang dia beri judul ‘Angan-Angan Harsa’.
“Setiap fotografer menggunakan fotografi fesyen sebagai sarana untuk menantang dan menegaskan posisi mereka di dunia. Ada potongan-potongan tentang hasrat aneh, sesak dan keinginan; pakaian Indonesia, atau gaya film dokumenter di Bengkulu,” tulis Dazed mengomentari karya Farid dan empat fotografer lainnya.
Adapun AnOther lebih detail mendeskripsikan karya Farid sebagai berikut, “… Layang-layang merah dan putih di atasnya langit biru, bunga jagung, kerudung dalam nuansa kuning, foto-foto Farid berseri-seri dengan warna, menjelajahi percakapan seputar identitas dan kehidupan sehari-hari dengan merenungkan waktu, tempat dan orang-orang yang menjadi bagian dari dirinya.”
Sementara itu, Toby Ramskill, penulis media 1Granary, secara khusus juga mengapresiasi karya Farid.
“Foto karya Farid Renais Ghimas menempati ruang unik antara gaya dokumenter dan citra mode yang ditampilkan. Sesuatu yang dilihat Ghimas sebagai dua bentuk yang saling bersinggungan. Seperti yang dia sendiri jelaskan: 'bahkan jika saya membuat karya komersial, saya masih mencoba menambahkan nuansa bercerita yang menggunakan pendekatan dokumenter yang saya sukai',” tulis Ramskill.
Farid sendiri yang berangkat ke Inggris pada tahun 2018 untuk belajar S-1 bidang fotografi fesyen di Leeds Arts University, mengaku memulai hobi fotografinya melalui instagram saat masih di sekolah menengah.
“Saat itu saya kebanyakan posting foto-foto sederhana yang saya ambil dalam perjalanan atau potret teman-teman di sekolah menengah,” kata Farid saat dihubungi di London, Jumat (9/12/2022).
Namun seiring berjalannya waktu, Farid mulai merasa fotografi menjadi sarana paling efektif untuk mengomunikasikan perasaannya.
“Saya tidak pandai berbicara. Setiap kali saya mencoba mengekspresikan diri, kata-kata saya tidak jelas. Tetapi saya merasa jauh lebih baik dalam mengekspresikan perasaan melalui fotografi,” katanya.
Farid mengakui bahwa tantangan menerjuni fotografi fesyen tidaklah mudah.
“Dulu pas saya baru mulai motret fashion, selalu saja ada orang-orang yang bilang kalau foto-foto fashion tuh harus yang cantik-cantik seperti di luar negeri. Modelnya harus putih dan cantik. Tapi ternyata dengan saya berefleksi ke diri saya sendiri, foto-foto saya justru semakin diterima dan saya dikategorikan sebagai salah satu fotografer fesyen yang patut diperhatikan. Ini merupakan salah satu bukti kalau nilai-nilai budaya barat tentang fashion photography bukan patokan dari semuanya,” kata penyuka karya fotografer Jamie Hawkesworth, Jeano Edwards dan Malick Bodian itu.
Tentang karya-karyanya, Farid mengakui memang merupakan perpaduan antara gaya potret dan dokumenter.
“Ini tentang menemukan titik temu antara saya dan orang yang saya foto. Dan saya perlu menghabiskan banyak waktu untuk mengenal mereka terlebih dahulu,” tambahnya.
Maka tak perlu heran, jika proses pengambilan foto-foto untuk 'Angan-Angan Harsa' yang dia targetkan rampung dua minggu, ternyata harus lebih panjang karena beberapa subjek fotonya membutuhkan waktu untuk bekerja sama.
‘Angan-Angan Harsa’ terdiri dari serangkaian foto warga kampung, teman dan keluarga yang mengenakan seragam sekolah atau kerudung bermotif, menurut Farid, dia abadikan di Bengkulu yang merupakan kampung neneknya dari pihak ibu.
Lalu bagaimana perasaannya terkait ulasan media asing yang menyebutnya sebagai fotografer fesyen masa depan?
“Pastinya bangga sama bersyukur. Apalagi dapat banyak chat dari teman-teman, kalau mereka beresonasi dengan foto-foto saya. Beberapa teman juga merasa diri mereka direpresentasikan dalam budaya visual,” katanya tersenyum.
Hal yang paling menarik, Farid sendiri ternyata juga kaget dengan hasil karyanya di Angan-Angan Harsa.
“Saya juga gak bakal menyangka kalau cerita dari Indonesia bakal meraih audience sebesar ini. Padahal awalnya hanyalah ingin mengabadikan foto-foto bagus dari kampung saya di Bengkulu, orang-orang yang mirip dengan saya dibuat jadi feature. Ternyata hasilnya dipublikasi media sebesar AnOther dan Dazed. Tentu saja merupakan hal yang besar untuk merepresentasikan nilai-nilai budaya kita,” pungkas Farid.(BIM)
fotografer fesyen farid renais ghimas fashion communication exhibition ma fashion communication lethaby gallery london central saint martins university of the arts london
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...