CARITAU JAKARTA – Menjelang pertarungan politik yang termanifestasikan pada pemilu 2024 mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana memulai tahapan persiapan pemilu yang bakal dimulai Juni tahun 2022.
Langkah tersebut diambil menyusul kebijakan pemerintah pusat dan DPR soal penentuan penetapan tanggal pemilu yang akan dilaksanakan 14 Februari 2024.
Keputusan itu menuai berbagai reaksi. Salah satu contonya ialah isu mengenai keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu menjadi isu yang cukup ramai menjadi perbincangan publik beberapa pekan terakhir.
Menjelang uji kelayakan dan kepatutan yang direncanakan DPR akan digelar pada 14- 16 Februari 2022, permintaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % makin kencang diembuskan oleh aktivis pemerhati pemilu, akademisi dan sejumlah organisasi masyarakat lainya.
Elemen masyarakat tersebut menilai kehadiran perempuan sebagai penyelenggara pemilu, baik di KPU maupun Bawaslu, sangat penting untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam kontestasi politik yang akan datang.
Penilaian itu bukan sekadar pepesan kosong. Mengingat hal tersebut sejalan dengan Undang- Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 ayat 11 yang menyebut bahwa komposisi keanggotaan penyelenggaraan pemilu perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati mengungkapkan, mewujudkan 30% keterwakilan perempuan pada lembaga penyelenggara pemilu bukanlah hal sulit.
"Para calon penyelenggara pemilu yang di isi oleh perempuan dapat membantu membuat agenda-agenda terobosan pengelolaan tata kelola dan konsep penyelenggaraan pemilu dan pilkada lebih inklusif," kata Mike dalam diskusi daring 'Memastikan Keterpilihan Perempuan Minimal 30% Dalam Penyelenggara Pemilu," dikutip dari YouTube Perludem, Minggu (13/2/2022).
Menurut Mike, menempatkan keterwakilan 30% perempuan di dalam lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU-Bawaslu sangat penting guna mewujudkan negara yang menjalankan amanat konstitusi secara baik.
"Ketika komisi II nanti mengimplementasikan hasilnya nanti menunjukan 30% perempuan akan duduk di dalam lembaga penyelenggara pemilu KPU-Bawaslu, artinya negara Telah melakukan performa yang baik, karena mandat kebijakan telah dijalankan, mandat konstitusi dijalankan," tambah Mike.
Mike kembali menuturkan, komposisi keterwakilan perempuan tak semata membicarakan soal gender serta inklusi sosial, lebih jauh pemilu diharapkan turut memperhatikan berbagai aspek kehidupan guna menyongsong masa depan demokrasi yang lebih baik.
Dengan adilnya komposisi keterwakilan perempuan, Mike optimis ke depan calon penyelengara pemilu laki-laki juga memiliki perspektif yang sama dan mau memperjuangkan nilai yang diperjuangkan calon anggota penyelenggara pemilu perempuan.
"Kita percaya ini akan jalan dengan mulus? Tentu tidak, oleh karena itu kita perlu lagkah-langkah gradual. Salah satunya adalah memastikan keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu dan level-level lembaga lainya," tutur Mike.
Senada dengan Mike, akademisi dari Universitas Sam ratulangi Manado Ferry Daud Liando mengatakan, pendampingan-pendampingan itu bukan bagaimana mengawal mereka terpilih tetapi mengawal juga ketika mereka terpilih apa yang mereka lakukan setelah itu.
"Artinya kita bukan juga hanya membawa identitas perempuan menjadi penyelenggara, tetapi apakah perempuan" yang menjadi penyelenggara itu mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat prespektif gender atau tidak," kata Ferry.
Ferry menjelaskan, yang diperjuangkan itu bukan memperjuangkan perempuan berdasarkan jenis kelamin, tapi perempuan yang memiliki perspektif gender saat menjadi penyelenggara.
"Sebab kalau tidak ada hal-hal yang istimewa, saya kira apa yg kita harapkan mendorong standar 30% atau lebih itu harus terjamin," ucap Ferry.
Ferry menambahkan, dalam kerja-kerja penyelenggara itu sifatnya harus independen dan netral jadi yg dimaksud perspektif gender itu bukan berarti berpihak pada perempuan dari aspek keterpilihan. Kami memahami segala bentuk resiko yang dialamatkan.
Ferry menjelaskan, alasan memperjuangkan perempuan untuk mengisi 30% sebagai penyelenggara pemilu itu adalah untuk mengawal dalam dari aspek jumlah dan aspek kualitas.
Ia menambahkan, maksudnya mengawal perempuan itu dari aspek jumlah dari aspek kualitas konsukensinya akan terhubung dengan kekuatan" politik yang memang dari awal sudah mendukung perempuan.
"Kami meyakini kami bebas kepentingan politik tidak menjadi bagian dari kekuatan" politik yang secara kebetulan mendukung calon penyelenggara perempuan," ujar Ferry.
Mendorong Partispasi Perempuan
Sementara itu, Pusat Studi dan Konsultasi (Pusako) Fakultas Hukum Andalas Fery Amsari mengatakan, Pusako menginginkan angka yang ada mestinya sebanding 50% laki-laki dan 50% perempuan.
Menurut aktivis sekaligus pengamat hukum tata negara ini, persentase tersebut berdasarkan data pemilu tahun 2019 lalu, jumlah pemilih dalam pemilu didominasi oleh perempuan dengan jumlah 50,07%.
"Makanya kami di Pusako menyebutkan angkanya mestinya 50% minimal, karena kalo pake logika MTK karena pemilih perempuan lebih banyak mestinya lebih banyak perempuan di dalam lembaga penyelengara pemilu," kata Fery Amsari.
Fery Amsari membeberkan, merujuk data pemilu tahun 2019 lalu, dikarenakan dominasi laki-laki lebih banyak dari perempuan di lembaga penyelengara pemilu, maka jenis pelanggaran pemilu lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.
"Dengan pertimbangan begitu mestinya kita lihat dari konteks tidak menjalankan etika ternyata pelakunya lebih banyak laki-laki," ucap Fery Amsari.
Fery menerangkan, jika menggunakan logika dan etika harusnya sudah jelas bahwa penambahan jumlah penyelenggara perempuan menjadi sangat penting untuk memastikan agar keterwakilan perempuan nyata adanya. Pun gambaran soal betapa pentingnya keberadaan penyelengara perempuan tersebut saling berkolerasi dengan pemilih perempuan.
Hal itu menurutnya, dengan pelanggaran-pelangaran etik yang selama pemilu terjadi mestinya keberadaan penyelengara perempuan bisa menjadi solusi pilihan bagi DPR agar kebijakan-kebijakan yang dilakukan tidak desgender.
Menegaskan pernyataan di atas, sebagai masyarakat akademik dan sipil,dirinya siap mendorong pemilu yang lebih baik agar DPR mempertimbangkan penyelenggara perempuan tersebut.
"Tentu keinginan ini akan mendapat tantangan secara politik. Karena bagaimanapun penyelengara yang mudah melanggar etik mudah bermasalah itu sering kali menjadi kecenderungan dipilih oleh DPR karena ada perimbangan bukan tidak mungkin kongkalingkong penyelenggaran pemilu akan lebih mudah dilakukan," tutur Ferry Amsari.
Setali tiga uang dengan Fery Amsari, Ketua Umum Fattahiyat Nahdatul Ulama Anggia Ermarini menilai Afirmasi action tentang kebijakan peraturan yang mewajibkan perempuan 30% sudah seharusnya didorong oleh DPR dan Pemerintah.
"Ini kan sudah ada di Undang-Undang, mestinya sudah dilakukan. Artinya kita harus sudah melaksanakan pemenuhan 30%," kata Anggia.
Anggia mengungkapkan, alasan-alasan yang sudah disampaikan tadi (Narsum-narsum lain) tentang rasionalisasi-rasionalisasi itu sudah sangat cukup untuk meminta DPR di Komisi II untuk melaksanakan amanat UU tersebut.
"Kami punya stand point yang sama bahwa tujuan 30% ini tentunya untuk mendorong partisipasi perempua dalam politk. Untuk menuju pemilu yang lebih ramah, inklusif, lebih setara dan tidak ada diskriminasi sebagaimana cita-cita demokrasi yang kita cita-citakan untuk semuanya bukan untuk perempuan saja," ucap Anggia.
Anggia berharap, kepada DPR untuk dapat memastikan terpenuhinya keterwakilan penyelenggara pemilu perempuan memenuhi standar 30%. Sesuai dengan undang-undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pemilu.
"Tentunya kami sangat setuju dengan bang Fery yang menyebut ketika kita bicara tentang keterwakilan perempuan bukan berarti harus berjenis kelamin perempuan, tetapi bagaimana memberikan pondasi pada para perempuan perempuan yang terpilih," tutur Anggia.
Anggia menambahkan, nantinya diharapkan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu mampu memberikan profesionalitas, integritas, dan dapat memberikan komitmen yang tinggi, serta memberikan kemandirian yang tangguh untuk mengawal pemilu lebih demokrasi lagi.
"Kami dari Fattahiyat NU sekali lagi mendorong dan meminta DPR tentunya melalui partai partai melaksanakan seruan kami dari semua elemen" dengan berbagai macam belakang latar belakang profesi tentunya sudah lengkap. Artinya seruan yang kami sampaikan didengar dan harus dilaksanakan dengan memastikan keterwakilan perempuan 30% dalam penyebaran pemilu tidak hanya dinasional tentunya ini berlaku sampai tingkat paling bawah," pungkas Anggia. (GIBS)
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024