CARITAU JAKARTA - Duel sengit Persebaya Surabaya dan PSS Sleman di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, Minggu (3/3/2024), menjadi sorotan gara-gara aksi kontroversial pemain tim tamu, Wahyudi Setiawan Hamisi, yang terang-terangan melakukan pelanggaran keras mengancam keselamatan lawan.
Pada menit ke-16, Bruno Moreira, pemain Persebaya, terjatuh di lapangan. Pada saat sama, Hamisi berusaha merebut bola dari Ripal Wahyudi yang berdiri di depan Bruno.
Namun, tanpa pandang bulu, Hamisi justru menendang kepala Bruno. Dampaknya sungguh tragis, kepala Bruno tampak terguncang hebat akibat tendangan Hamisi.
Wasit Ginanjar Latief meniup peluit dan 'hanya' melayangkan kartu kuning ke Hamisi. Padahal, saat itu, pelanggaran tercipta di depan mata Ginanjar.
Sejumlah pemain Persebaya merasa tak puas, sehingga menimbulkan ketegangan antar kedua tim. Kendati demikian, pertandingan tetap berlanjut dan Persebaya keluar sebagai pemenang. Hamisi dan Bruno tetap beraksi di lapangan, serta bertahan hingga peluit panjang dibunyikan.
Ulah barbar Hamisi itu, tentu saja disorot kalangan pecinta sepak bola Tanah Air. Bahkan, Hamisi sempat mengacungkan jari pertanda makian kepada Robson Duarte pada pertandingan yang sama. Namun, tindakan tidak pantas ini sepertinya terlewatkan oleh sang pengadil lapangan.
Selepas laga, Persebaya Surabaya langsung menyampaikan kritik keras terhadap perbuatan Hamisi, terlepas tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan atau tidak. Lewat keterangan resminya, Tim berjulukan Bajul Ijo itu melaporkan mantan pemain Borneo FC itu ke Komdis PSSI.
Manajemen Persebaya patut khawatir, karena benturan di area belakang kepala adalah sesuatu yang mesti mendapat perhatian khusus. Tidak sedikit di antara atlet yang berpulang akibat kejadian serupa, atau mendapatkan cidera parah yang bisa menamatkan karier pemain.
Terlebih Persebaya punya pengalaman pahit dengan Hamisi di tahun 2018 silam. Saat itu Hamisi melakukan tekel dua kaki terhadap Robertino Pugliara yang berujung berakhirnya karier sepak bola Pugliara.
Beruntung, nasib berbeda dan baik masih menghampiri Bruno Moreira, setelah sang pemain melakukan observasi lanjutan bersama klub.
"Sebenarnya bukan poinnya Bruno baik, kemudian semuanya baik-baik saja, apa yang dilakukan pemain PSS Sleman kepada Bruno ini ada risiko yang sangat fatal apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jadi penekanannya di sana," ucap Direktur Operasional Persebaya, Candra Wahyudi, Kamis (7/3/2024).
Aksi tidak terpuji yang dilakukan oleh Hamisi tentu diharapkan sebagian besar pecinta sepak bola Indonesia dengan hukuman berat. Banyak di antara netizen yang meminta PSSI memberi sanksi keras, bahkan tidak sedikit yang menggemakan sang pemain layak dilarang bermain seumur hidup.
"No loyalty, no place in football," tulis pemain pesepakbola, Ze Valente mengomentari postingan klub di Instagram. "Kasih sanksi larangan bermain seumur hidup," balasan netizen lainnya.
"Orang ini bahkan menampar saya tanpa alasan. Pertama ia berpura-pura dan kemudian meminta maaf, seolah tidak terjadi apa-apa," kata pemain Bhayangkara, Radja Nainggolan, lewat media sosial pribadinya.
Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Yunus Nusi, turut memberikan komentarnya dan menyayangkan perilaku Hamisi tersebut.
Yunus sependapat mengenai potensi pemberian sanksi berat kepada Hamisi, serta menegaskan pentingnya menjaga agar para pemain tidak saling melukai satu sama lain.
"Kami berharap ada evaluasi, termasuk juga sanksi berat terhadap pemain (Wahyudi Hamisi)," kata dia usai menghadiri audiensi bersama PSSI Pers di GBK Arena, Senin (4/3/2024).
Baca Juga: PSIS Semarang Tahan Barito Putera Imbang Tanpa Gol
Namun, harapan tersebut tidak sama sekali terjadi. Berdasarkan hasil Sidang Komdis PSSI, Wahyudi Hamisi 'hanya' diberi larangan tampil sebanyak tiga kali, serta dikenai denda Rp 25 juta.
"Jenis Pelanggaran: melakukan pelanggaran serius (serious foul play) terhadap pemain lawan, dan di momen lain pada pertandingan yang sama menunjukkan gestur jari tengah terhadap pemain lawan. Hukuman: hukuman larangan bermain sebanyak 3 pertandingan sejak Keputusan diterbitkan dan berlaku pada pertandingan terdekat; Denda Rp. 25.000.000,-," tulis PSSI dalam keterangan resminya, Selasa (12/3/2024).
Jika dilihat dari bentuk sanksi, Hamisi telah melanggar Pasal 48 A dan Pasal 59 Kode Disiplin PSSI 2023. Padahal dia bisa saja dijerat Pasal 54 yang bertuliskan pemain atau ofisial yang memancing kebencian atau kekerasan, diberikan sanksi skors 'tidak kurang' dari 12 bulan dan denda minimal Rp75 juta.
Pengamat Sepak Bola, Kesit Budi Handoyo, mengkritik sanksi yang diberikan oleh Komdis PSSI. Menurutnya, sanksi yang diberikan masih tergolong ringan jika dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan.
"Seharusnya hukumannya lebih berat, agar bisa menjadi pelajaran bagi Hamisi dan menjadi pengingat bagi pemain lain agar tidak melakukan tindakan serupa," tegas Kesit pada Rabu (13/3/2024).
Meskipun demikian, Kesit mengapresiasi perhatian yang diberikan oleh PSSI terhadap kasus ini, mengingat banyaknya kejadian serupa di dunia sepak bola Indonesia yang tidak pernah diproses.
"Namun, apa yang diputuskan oleh Komdis PSSI setidaknya cukup bisa menjadi perhatian, bahwa PSSI mencermati tindakan Hamisi yang menurut saya telah kelewatan," ungkap Kesit.
Pelatih Persebaya, Paul Munster, menyatakan ketidakpuasannya terhadap sanksi yang diberikan oleh Komdis PSSI ke Hamisi. Menurutnya, jika seseorang melakukan tindakan serupa di luar lapangan, mereka akan berakhir di dalam bilik tahanan.
"Saya terkejut dengan keputusan Komdis PSSI. Ini sungguh menggelikan. Anda tahu? Jika seseorang melakukan hal ini di jalan, mereka setidaknya akan mendapat hukuman penjara selama tiga tahun," ungkap Munster pada Senin (11/3/2024).
Munster menegaskan bahwa keputusan ini sangat memalukan dan tidak bisa dijadikan contoh.
"Ini tidak memberikan contoh yang baik bagi siapapun di semua level liga, baik di Liga 1, Liga 2, maupun Liga 3. Ini tidak memberikan contoh yang baik untuk situasi ini," tambahnya.
Selain perbuatan Hamisi, seperti menjadi rahasia umum bahwa sepak bola di Indonesia berlangsung keras, hingga memunculkan tindakan yang mencelakai satu sama lainnya.
Sorotan tajam turut tercipta tatkala kompetisi junior Tanah Air, Elite Pro Academy (EPA) dinodai oleh sejumlah perilaku tidak pantas di lapangan.
Hal ini terlihat dalam sanksi yang ditulis Komdis PSSI, yang resmi menghukum Pemain Barito U-20, Fito Atmajaya Surya Pramitra yang melakukan pemukulan terhadap pemain lawan dan menanduk panitia pelaksana pertandingan serta luput dari perhatian perangkat pertandingan. Namun sekali lagi, Komdis PSSI hanya menjatuhkan sanksi berupa larangan tampil di tiga pertandingan, serta denda Rp5 juta.
"Sanksi yang lemah jelas tidak akan memberikan efek jera. Bukti nyatanya adalah masih banyaknya kejadian serupa. Hal ini akan berdampak negatif bagi sepak bola Indonesia," tutur Kesit.
Meskipun Komdis PSSI dalam beberapa waktu terakhir terkesan lembek menjatuhkan sanksi —termasuk sejumlah sanksi yang diberikan ke Arema FC imbas Tragedi Kanjuruhan— induk sepak bola Tanah Air itu sempat memberi sanksi berat kepada Achmad Hisyam Tolle dari PSIM Yogyakarta karena melakukan tindakan kasar terhadap pemain Persis Solo dan mengintimidasi seorang wartawan, dengan dilarang beraktivitas sepak bola di lingkungan PSSI selama lima tahun.
Meski mendapatkan sumpah serapah hampir dari seluruh kalangan suporter Indonesia, PSS Sleman tetap berada di sisi Hamisi. Presiden Direktur PT Putra Sleman Sembada (PT PSS), Gusti Randa, mengungkapkan keprihatinan atas penyebaran video yang mengaburkan fakta terkait peristiwa yang terjadi. Menurutnya, hanya dengan menonton video lengkap, orang dapat memahami secara jelas kronologi kejadian tersebut.
"Kami sangat menyayangkan adanya potongan-potongan video yang beredar saat kejadian tersebut, yang tidak memperlihatkan video secara utuh sebelum peristiwa terjadi. Dalam video lengkap, terlihat jelas bahwa Bruno sudah terjatuh akibat dilanggar oleh pemain PSS sebelumnya. Meskipun demikian, permainan terus dilanjutkan dan Persebaya bahkan sempat menyerang lebih dulu. Setelah bola ditepis oleh kiper PSS, bola langsung diambil oleh pemain Persebaya," ungkap Gusti dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (5/3/2024).
Gusti Randa menjelaskan bahwa seharusnya pemain Persebaya segera membuang bola saat melihat Bruno terjatuh dengan sakit di lapangan. Namun, mereka justru terus membawa bola, yang kemudian menyebabkan insiden tersebut.
"Dari video, terlihat jelas bahwa pemain Persebaya terus membawa bola dan mendekatinya ke Bruno. Tindakan Hamisi untuk merebut bola, menurut saya, dilakukan untuk menghalangi pergerakan lawan, mengingat kami kebobolan gol pertama karena kurang waspada terhadap gerakan lawan. Ternyata, tendangan Hamisi mengenai kepala Bruno.
"Saat itu, Bruno langsung bangkit dan bahkan ingin menyerang Hamisi. Bagi saya, tindakan yang dilakukan oleh Tim Persebaya terlalu berlebihan, terbukti dengan fakta bahwa Bruno dapat bangkit kembali dan bermain hingga akhir pertandingan," tambah Gusti Randa.
Meskipun demikian, PT PSS tetap menyampaikan permintaan maaf kepada Persebaya atas kejadian tersebut. Gusti Randa menegaskan bahwa PT PSS tidak ingin insiden serupa terulang di dunia sepakbola Indonesia.
“Meskipun berat untuk tim, tapi kami dari PSS Sleman sangat menerima keputusan yang diberikan oleh Komdis. Maka dari itu kami tidak akan mengajukan banding dan menghormati keputusan dari Komdis. Semoga ini menjadi yang terakhir dan Hamisi bisa belajar dari kejadian kemarin,” pungkasnya.
Secara terpisah, Hamisi juga melontarkan permintaan maaf, serta membantah anggapan pelanggaran tersebut dilakukan dengan sengaja.
“Saya Wahyudi Hamisi, pemain PSS Sleman ingin menyampaikan permintaan maaf saya kepada pemain Persebaya, Bruno Moreira atas apa yang terjadi di pertandingan kemarin. Saya sudah berpesan kepada Bruno untuk permintaan maaf saya,” kata dia, sebagaimana ditulis situs resmi klub, Selasa (5/3/2024).
“Tidak ada unsur kesengajaan dari saya untuk mencederai atau bahkan melukai Bruno. Sebagai sesama pesepakbola, tentu saya tidak ingin melukai lawan saya dengan sengaja,” terangnya.
“Apapun itu, saya tahu hal tersebut salah dan dapat membahayakan Bruno sebagai pemain. Maka dari itu saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Bruno dan tim Persebaya atas tindakan yang saya lakukan,” pungkasnya.
“Sepak bola olahraga keras, tanpa pemain barbar pun, risiko terburuk yaitu kematian selalu mengintai. Risiko itu akan berlipat ketika ada pemain seperti Hamisi,” tulis Persebaya, menutup kritikannya terhadap perbuatan Hamisi.
Sejatinya, pemidanaan terhadap pemain sepakbola yang berperilaku mencelakai orang di lapangan ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi di beberapa negara. Pemain sepakbola, dan atlet pada umumnya, memang tidak boleh kebal dari hukum atas tindakan berlebihan mereka saat berlaga.
Hinca Panjaitan, dalam bukunya berjudul "Kedaulatan Negara vs Kedaulatan FIFA" (2011), menyoroti dua pandangan berbeda mengenai pemberlakuan hukum pidana terhadap pemain sepak bola.
Kelompok pertama mengikuti mazhab domestic sports law dan global sports law, atau yang dikenal sebagai lex sportiva, sementara kelompok kedua cenderung mengikuti mazhab national sports law dan international sports law.
Salah satu perbedaan utama adalah dalam akses pengadilan nasional untuk penyelesaian sengketa olahraga. FIFA, dengan keberdaulatan penuhnya, menegaskan bahwa dirinya tidak boleh diintervensi oleh negara, sesuai dengan Statuta FIFA, yang disebut sebagai Lex sportiva.
Namun, PSSI juga mengklaim memiliki yurisdiksi hukum sendiri dengan Badan Peradilan khusus untuk menyelesaikan sengketa internalnya. Meskipun demikian, prinsip teritorialitas dari KUHP juga berlaku di Indonesia, yang mengharuskan setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut.
Dengan status PSSI sebagai Badan Hukum yang diakui oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia (Menteri Hukum dan HAM), klub sepak bola yang terdaftar sebagai anggota PSSI diwajibkan memiliki badan hukum agar bertanggung jawab secara hukum atas tindakan mereka. Oleh karena itu, ketika terjadi pelanggaran yang melibatkan unsur Tindak Pidana, hukum pidana yang diatur oleh KUHP dapat diterapkan terhadap semua pihak yang berada di bawah naungan PSSI.
Hal ini yang membuat, kasus tiga pemain PSAP Sigli berinisial Muhammad Causar bin Zakaria Yasin (M), Nurmahdi bin Nuwardi (N) dan Fajar Munandar bin Syamsuddin (FM) sempat ditahan, akibat mengeroyok Wasit Aidil di lapangan saat bertanding melawan Aceh United pada tahun 2017 silam.
Pengadilan Negeri Banda Aceh dalam putusannya Nomor 69/Pid.B/2018/PN Bna, menyatakan bahwa MC, N, dan FM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pengeroyokan, menjatuhkan pidana terhadap MC, N, dan FM oleh karena itu dengan pidana masing-masing selama enam bulan tanpa harus menjalani masa tahanan dengan masa percobaan selama satu tahun.
Sepak bola selama ini digodok menjadi olahraga pemersatu seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia. Walaupun tidak sedikit juga pelanggaran tercipta yang disengaja, dan sayangnya disaksikan oleh khalayak banyak. Apalagi, PSSI di bawah komando Erick Thohir telah sejak awal menggaungkan transformasi sepak bola di Indonesia, yang saat ini masih dibayang-bayangi oleh kelamnya Tragedi Kanjuruhan.
Kekerasan di dalam, kerusuhan di luar lapangan, manajemen klub yang borok hingga kualitas perangkat pertandingan tampaknya masih jadi pekerjaan yang berat untuk PSSI, setidaknya dalam beberapa waktu ke depan. (Rahma Dhoni)
Warga Tanjung Bunga Makassar Keluhkan Sampah Menum...
Jembatan Pacongkang Bukti Kerja Nyata Andi Sudirma...
Cagub Sulsel 01 Danny Pomanto Dilaporkan ke Bawasl...
Warga Akui Pembangunan Andi Sudirman di Lejja Sopp...
Founder AAS Foundation Andi Amran Sulaiman Serahka...