CARITAU JAKARTA – Kebakaran hebat Depo Pertamina Plumpang pada Jumat malam awal Maret 2023 telah membuat 19 warga Tanah Merah kehilangan nyawa, puluhan luka-luka, hingga kerugian yang ditaksir puluhan miliar rupiah, meski tampaknya bom waktu masih terus berdetak karena persoalan pemukiman padat penduduk yang berimpitan dengan Depo yang juga pernah terbakar pada 2009 silam itu belum terpecahkan.
Kini, persoalan ledakan dan kebakaran Depo Pertamina Plumpang memang tak sekedar menunggu hasil investigasi penyebab ledakan atau soal santunan dan ganti rugi bagi para korban dan keluarganya yang merupakan warga Kampung Tanah Merah, Kelurahan Rawabadak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, tapi lebih pada menyelesaikan problem mendasar, yakni mengantisipasi agar tak muncul lagi korban sia-sia di masa mendatang jika sewaktu-waktu muncul petaka kebakaran seperti 2009 dan 2023.
Baca Juga: Pertamina Patra Niaga Jamin Ketersediaan Energi Jelang Pemilu 2024
Pascakebakaran, Menteri BUMN Erick Thohir, selaku induk dari Pertamina, mengatakan bahwa semua Depo BBM di tanah air akan dibuat buffer zone atau zona aman dengan pemukiman warga, sementara khusus di Tanah Merah Plumpang akan dibatasi sejauh 50 meter dari pagar area depo. Maklum saja, saat ini rumah-rumah warga hanya terpisah jalan satu arah dengan pagar Depo Pertamina.
Penetapan buffer zone ini, menurut Menteri Erick, sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo untuk melindungi masyarakat.
"Tidak hanya di Plumpang, tapi juga di Balongan Semarang. Tetapi khususnya di Plumpang jaraknya 50 meter dari tutup pagar. Tentu ini menjadi solusi bersama yang kita harapkan dukungan pemerintah daerah dan masyarakat. Keamanan jadi prioritas kita," kata Erick usai rapat dengan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Senin (6/3/2023).
.
Solusi yang disampaikan Menteri Erick tampaknya tak semudah membalik telapak tangan karena artinya harus merelokasi sebagian warga, di mana sengketa lahan antara Pertamina dan warga Kampung Tanah Merah justru telah terjadi puluhan tahun.
Permasalahan pemukiman warga Kampung Tanah Merah yang menempel Depo Pertamina Plumpang terlacak sejak 1974, saat Pertamina mulai memagari lahan.
Berdasarkan SK Mendagri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976, wilayah Tanah Merah merupakan milik negara dengan status hak guna bangunan atas nama Pertamina, di mana luas total tanah negara mencapai 153 hektare dengan area yang digunakan sekitar 70 hektare termasuk buat Depo Plumpang.
Kemudian sekitar 1980-an, warga mulai menghuni areal yang belum dimanfaatkan Pertamina sekitar 83 hektare.
Persoalan muncul pada 1992 saat Pertamina berencana membangun kompleks Industri & Litbang Pertamina di atas lahan yang telah terlanjur dipadati penduduk. Pertamina pun berniat melakukan penertiban dengan sejumlah ganti rugi yang rupanya tak diterima oleh warga.
Laporan Kompas pada 1992 menyebut, Asisten Sekretariat Wilayah Kota Adminstrasi Jakarta Utara Bidang Pemerintahan, A Cholid Ismail Balaw mengatakan bahwa Pertamina sudah mendapatkan izin penggunaan tanah yang dibelinya dari PT Mastraco sejak tahun 1968. Bukti atas tanah seluas kurang lebih 160 hektare itu, di antaranya SK Pemberian HGB oleh Mendagri pada 1976.
Sengketa pun sampai ke meja hijau dan dimenangkan warga. Majelis hakim yang dipimpin Sarwono menegaskan bahwa warga dan Pertamina sama-sama tidak punya hak atas tanah itu, karena apabila merupakan tanah milik negara, maka peruntukkannya harus berdasarkan pada Pasal 33 UUD 45, sehingga Pertamina tidak bisa secara sepihak mengklaim dan berencana membangun kompleks Industri & Litbang di atas lahan tersebut.
Sengketa berkepanjangan di Tanah Merah dibenarkan Bendahara Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB), Muktar, yang mengatakan bahwa sepanjang 1970-an hingga 1990-an, warga kerap mengalami penggusuran.
“Area lahan yang digusur ditimpa dengan tanah merah, sehingga kini kata 'Tanah Merah' dipakai sebagai nama kawasan tersebut,” kata Muktar pada Selasa (7/3/2023).
Menurut Muktar, saat itu Pertamina mengklaim kawasan tersebut berdasarkan surat keputusan pemerintah sementara yang tercatat sebagai Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah seluas 14 hektare yang terbangun menjadi Depo.
"Awalnya Depo Pertamina hanya 3,5 hektare. Tapi kini menjadi 14 hektare," tambahnya.
Faktor lain yang membuat sengketa tanah antara masyarakat dengan Pertamina di Tanah Merah berkepanjangan, tak lain akibat kebijakan para gubernur yang berbeda-beda.
Gubernur DKI Jakarta mulai dari periode Fauzi Bowo, Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, hingga Anies Baswedan menyikapinya berbeda.
Pada tahun 2012, misalnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo membentuk tim teknis penanganan masalah Tanah Merah yang tertuang dalam Keputusan Gubernur No.101/2023 pada 13 Januari 2012.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono mengatakan, Fauzi Bowo saat itu dengan tegas menyebut Tanah Merah merupakan milik Pertamina. Atas dasar itu, pemukiman yang berdiri di atas areal sengketa menjadi pemukiman yang tidak memiliki legalitas secara administrasi.
"Kita ingat dulu zaman Pak Fauzi Bowo. Waktu itu Pak Fauzi Bowo kan jadi bulan-bulanan Tanah Merah. Tapi Pak Fauzi Bowo sama sekali tidak bergeming terhadap pendiriannya, karena tahu persis bahwa lahan yang ditempati oleh masyarakat bertahun-tahun bukanlah aset negara. Artinya tanah milik BUMN, yaitu Pertamina," tandas Gembong.
Namun toh, hingga berakhirnya jabatan Fauzi Bowo, persoalan Tanah Merah belum juga tuntas.
Selanjutnya, saat kepemimpinan Ibu kota dipegang oleh Joko Widodo, Gubernur pada 13 Maret 2013 menerbitkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi 1.665 jiwa dan 715 Kartu Keluarga (KK) bagi warga di wilayah tersebut.
Menurut Ketua FKTMB Muhammad Huda, pemberian KTP dan pendirian RT/RW merupakan janji kampanye Jokowi pada 2012
Terbitnya KTP dan KK telah memberikan legitimasi bagi warga Tanah Merah menjadi penghuni.
Justru di saat kepemimpinan Gubernur Ahok, kebijakan mengosongkan lahan kembali bergulir. Ahok memberikan solusi untuk merelokasi warga KampungTanah Merah. Sayangnya, kebijakan mantan Bupati Belitung Timur ini mendapat penolakan dari warga.
Berbeda dengan Ahok, setali tiga uang dengan kebijakan Jokowi, Gubernur Anies Baswedan justru menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kawasan bagi warga Kampung Tanah Merah pada Oktober 2021.
Ketua KTMB Mohamad Huda, membenarkan adanya IMB sementara kawasan yang diterbitkan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Menurutnya, dasar hukum penerbitan IMB adalah Perda DKI Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung.
"Dasarnya dari Perda Nomor 7/2010. Perda itu kan produk politik yang di DPRD,” kata Huda saat dihubungi Caritau.com, Rabu (8/3/2024).
Namun, politisi PDIP Johnny Simanjuntak memaparkan, keluarnya IMB Kawasan untuk Kampung Tanah Merah merupakan bentuk kebingungan Anies, sebab saat kampanye menjelang Pilkada DKI 2017, Anies menjanjikan kepemilikan lahan secara resmi kepada warga Tanah Merah.
‘’Yang saya tahu, Pak Anies itu menjanjikan kepada warga, kepemilikan tanah pada waktu itu,’’ kata Jhonny.
Menurut Jhonny, Anies kemudian menandatangani pakta integritas untuk meyakinkan warga terhadap janjinya. Persoalan muncul ketika Anies yang kemudian menang sebagai gubernur, baru memahami bahwa lahan tersebut milik Pertamina. Jalan keluarnya, Anies pun mengeluarkan IMB Kawasan.
Pengamat Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut kebakaran Depo Pertamina Plumpang yang menewaskan 19 warga sebagai bom waktu yang ditinggalkan oleh para mantan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya.
"Seharusnya saat itu tidak ada janji apa pun. Keberadaan masyarakat di Plumpang yang berkaitan dengan depo itu harusnya tidak dipolitisasi," katanya.
Saat ini, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mendukung rencana relokasi warga Tanah Merah yang akan dilakukan Kementerian BUMN karena lahan yang saat ini mereka tempati merupakan tanah milik Pertamina.
"Ya seharusnya memang itu kan tempat yang seharusnya (tidak ditempati) oleh masyarakat," ujarnya.
Senada dengan Pras, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah mengusulkan beberapa tempat relokasi yang bisa ditempati warga, yakni Wisma atlet Kemayoran dan Rumah Susun (Rusun) Nagrak.
"Saya ada dua pilihan, Wisma Atlet Pademangan dan Rumah Susun Nagrak," kata Ida pada Selasa (7/3/2023).
Pemprov DKI pun disarankan berkoordinasi dengan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
"Kenapa (Pemprov) DKI tidak minta kepada Kemensetneg agar Wisma Atlet Pademangan dibuat saja (untuk) mereka (korban kebakaran)," tutur Ida.
Sebaliknya, Ketua FKTMB Mohamad Huda menyesalkan munculnya komentar sejumlah pihak yang justru membenturkan soal kebakaran dengan persoalan pemukiman di Tanah Merah.
Menurut Huda, banyak pihak yang secara sistematis justru menggiring opini seolah malah warga Tanah Merah yang menjadi kambing hitam musibah kebakaran tersebut.
"Jadi sekali lagi musibah ini murni adalah kelalaian pihak Pertamina dan jangan warga Tanah Merah dan warga korban yang dijadikan kambing hitam. Ibaratnya warga sudah jatuh tertimpa tangga," tegas Huda.
Kalau pun ada kabar baik buat warga Tanah Merah, Presiden Jokowi saat meninjau lokasi kebakaran pada Minggu (5/3/2023), sempat menyodorkan dua opsi, yakni Depo Pertamina digeser ke daerah reklamasi atau penduduk di sekitar depo yang direlokasi.
"Karena ini zona yang bahaya, tidak bisa lagi ditinggali, tetapi harus ada solusinya. Bisa saja Plumpang-nya digeser ke reklamasi atau penduduknya yang digeser ke relokasi. Nanti akan diputuskan oleh Pertamina dan Gubernur DKI," kata Presiden Jokowi.
Jadi kita tunggu saja, semoga bakal ada penyelesaian terbaik bagi warga Tanah Merah dan Pertamina agar Depo Plumpang tak lagi menjadi bom waktu. (RAHMA DHONI, NEGUS GIBRAN MAYARDHI dan WAHYU PRADITYA PURNOMO)
Baca Juga: Harga BBM Pertamax Naik Per 1 Oktober 2023 Jadi Rp14.000 per Liter
depo pertamina plumpang terbakar depo pertamina plumpang pertamina tanah merah
Cawagub 02 Fatmawati Dua Bulan Keliling 24 Kabupat...
Kampanye Akbar 02 Andalan Hati, Panglima Dozer: Su...
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...