CARITAU MAKASSAR – AKBP M, oknum perwira Dit Polairud Polda Sulsel yang diduga melakukan pencabulan terhadap gadis 13 tahun direkomendasikan sanksi administratif pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Menanggapi putusan tersebut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina menilai kasus hukum yang menimpa AKBP M yang telah mendapatkan sanksi rekomendasi PTDH harus dinilai sebagai keseriusan Polri untuk melakukan pembersihan dalam jajarannya terhadap anggota Polri yang nakal dan tidak patuh pada aturan.
"Secara pribadi selaku akademisi sekaligus praktisi hukum, saya sangat memberikan apresiasi dan pujian yang sangat istimewa kepada Pimpinan Polda Sulsel, teramat itu di tujukan kepada tim sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang menyidangkan kasus a quo," ungkapnya, Sabtu (13/2/2022).
Dalam pengamatannya, selama hampir dua bulan ini Komisi Kode Etik Polri (KKEP) telah menghasilkan beberapa putusan, termasuk putusan PTDH kepada oknum anggota Polri pada jajaran Polda Sulsel, yakni Dit Polairud, sesuai tingkat kesalahan.
"Itu menunjukan bahwa institusi Polri dalam jajarannya secara keseluruhan sedang berupaya untuk menjadikan dirinya bersih dari praktek prilaku polisi yang tidak patuh pada aturan dan nakal," katanya,
Menurut Jermias, dia tidak mencampuri soal cara penilaian pembuktian dan pemberian putusan yang telah dinilai oleh Majelis sidang KKEP. Hal itu merupakan wewenang mereka dan tentunya telah mempertimbangkan berbagai fakta dalam persidangan untuk menjatuhkan kesalahan dalam bentuk sanksi PDTH kepada pelaku/terlapor anggota Polri.
"Ada sisi lain yang harus dilihat, khususnya dalam kasus pencabulan anak gadis berumur 13 tahun oleh oknum perwira Dit Polairud Polda Sulsel, dari segi ilmu kriminologi. Kasus semacam ini umumnya pihak korban dan keluarga enggan untuk menuntut secara hukum, karena ada banyak variabel untuk dijadikan pertimbangan," ujarnya.
Pertimbangan yang paling dominan adalah perasaan malu untuk diketahui oleh publik, psikologis (kejiwaan) anak dan perkembangannya serta soal masa depan anak.
Sebenarnya kejahatan model tersebut dalam pendekatan ilmu kejahatan (kriminologi) telah ada sejak lama. Ada teori kejahatan yang disebut Victimologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang korban dan pelaku dalam segala aspek, termasuk tidak terlepas dengan interaksinya dalam penegakan hukum.
"Saya sangat sedih terhadap keadaan psikologis anak gadis berumur 13 tahun yang mengalami korban pencabulan, namun di sisi lain saya juga memberi apresiasi kepada korban dan keluarganya yang telah berani membongkar dan mengungkapkan kejahatan pencabulan yang dilakukan oleh oknum perwira
Polri tersebut untuk diproses secara hukum, dan telah diketahui publik," tukasnya.
Dalam kasus tersebut, ia menyarankan kepada keluarga untuk sedianya dapat melakukan pemulihan terhadap psikis (kejiwaan) dan pikiran anak melalui lembaga konseling untuk dapat kembali memulihkan jiwa, pikiran dan perilaku anak untuk perkembanganya ke depan.
"Yang teramat penting lagi, sekalipun kasus hukum tersebut telah diputus secara internal Polri melalui sidang KKEP dan dinyatakan sanksi administrasi berupa PTDH, namun perbuatan oknum perwira polisi tersebut dapat pula diproses secara pidana umum tanpa harus menunggu putusan komisi banding atas upaya banding terhadap hasil putusan sidang KKEP Polda Sulsel," jelasnya.
Upaya hukum banding itu, kata Jermias, adalah haknya teradu/pelaku sebagai bentuk keberatan atas putusan sidang KKEP, tetapi tidak menghalangi perbuatan pelaku dalam tindak pidana umum yang diadili pada peradilan umum.
Kewenangan mengadili perkara dalam lingkup internal polri dan peradilan umum untuk mengkaji jenis kesalahan prilaku dan pelanggaran kode etik serta kejahatan yang dianggap sebagai delik atau tindak pidana itu memiliki wewenang (kompetensi) masing-masing.
"Dalam praktek sudah banyak terjadi dua kepentingan hukum tersebut dan tidak menimbukan disparitas putusan yang berakibat kegaduhan hukum," bebernya.
Menurutnya, ada beberapa contoh kasus dua kepentingan hukum antara putusan internal Polri dalam sidang KKEP dengan putusan pidana umum bersifat menghukum anggota Polri yang melakukan tindak pidana yang disidangkan pada peradilan umum, dan itu sudah dilakukan di Pengadilan Negeri Makassar sejak lama.
"Hanya saja masyarakat atau publik rendah kepeduliannya dalam mengakses persoalan-persoalan hukum semacam itu, apalagi dianggap berurusan dengan Polri," ujar dia.
Menurutnya, kalau mau lebih serius lagi ketegasan dalam penegakan hukum untuk menjadi perhatian terhadap fungsi kontrol dan mengawasi prilaku anggota Polri yang tidak taat aturan dan nakal, maka sebaiknya kasus ini diproses secara tindak pidana umum untuk segera disidangkan di peradilan umum.
Hal ini juga sebagai tindakan pimpinan polisi di tingkat daerah (Kapolda Sulsel) yang sifatnya arif dan bijak, yaitu menerapkan perlakuan yang sama atau tidak diskriminasi terhadap anggota Polri yang pernah diseret ke meja hijau di Pengadilan Negeri Makassar sebagai peradilan umum.
"Penyidik Polri terutama di Ditreskrimum Polda Sulsel segera memberi petunjuk dan mengawal secara jujur dan obyektif kepada pihak korban untuk membuat proses hukum berupa laporan/pengaduan tentang kejahatan dalam tindak pidana umum, agar secepatnya diproses ke peradilan umum sesuai prosedur hukum yang berlaku," tandasnya. (KEK)
Konsisten Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Milenial M...
Siap Menangkan Andalan Hati di Pilgub Sulsel, Andi...
Demo Boikot Produk Terafiliasi Israel
Cabup Enrekang 02 Yusuf Ritangnga: Program Besar S...
La Tinro La Tunrung Sebut Andi Sudirman Sudah Bukt...